x

Iklan

Eddi Elison

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Herlina, Tokoh Perempuan Luar Biasa

Ia memperkenalkan dirinya, “Herlina!” ketika saya salami, sambil tersenyum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkenalan pertama saya dengan Herlina terjadi di kota Medan, saat saya masih menjadi reporter Harian “Waspada” sekitar awal tahun 1960-an. Hari itu kantor redaksi kedatangan seorang gadis mungil berusia 18 tahun (seperti yang diakuinya), berambut pendek, mudah tersenyum dan lincah.

Ia memperkenalkan dirinya; “Herlina!” ketika saya salami, sambil tersenyum. Ketika itu saya sudah tahu, bahwa ia adalah seorang gadis yang sedang melakukan keliling Indonesia, karena saat melapor ke redaksi, ia telah menyebutkan apa yang sedang dilakukannya! Saya wawancarai ia panjang lebar. Ia menjawab dengan lugas dan jawabannya sangat mengagumi saya. Tidak pernah saya bayangkan, ada seorang gadis remaja ayu, melakukan kegiatan keliling Tanah Air, seorang diri.

“Apa tujuanmu yang sebenarnya?” tanya saya. Langsung ia menjawab, bahwa ia ingin hidupnya punya arti, sambil menguraikan keinginannya untuk berkenalan dan mengenal suku-suku Indonesia sambil mendalami budayanya masing-masing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama tiga tahun 1959 s/d 1961 Herlina berkeliling Indonesia. Hampir seluruh kawasan Tanah Air ini sudah dikunjunginya, kecuali Irian Barat (sekarang “Papua”) yang saat itu dikuasai Belanda. Itu sebabnya sesuai prinsip dan tekadnya untuk hidup yang berarti (bukan saja untuk dirinya sendiri), tapi juga untuk bangsa dan Tanah Airnya, begitu selesai dari berkeliling Nusantara, Herlina merencanakan untuk menjejakkan kaki kepulauan Indonesia secara langkap yaitu dari Sabang sampai Merauke, seperti yang dicetuskan Bung Karno. Menjejakkan di bumi Irian Barat merupakan cita-cita yang terus menerus merangsang benaknya.

Terjun di Hutan

KEINGINAN Herlina untuk menjejakkan kami di bumi Irian Barat menjadi kenyataan setelah, Bung Karno mencetuskan “Trikora” (Tri Komando Rakyat) oyang dicetuskan Presiden Sukarno di Yogyakarta, 19 Desember 1961. Herlina yang baru saja menyelesaikan perjalanan keliling Bumi Pertiwi langsung membulatkan tekad untuk ikut menjadi Sukwan yang diselundupkan ke Irian Barat. Berbagai cara dilakukannya, agar dapat ikut menjadi sukwan. Namun selalu terhalang, karena berbagai pihak, terutama para pemimpin/petugas TNI yang tergabung dalam Operasi Mandala. Hal ini bisa disadari Herlina, mengingat selain ia seorang perempuan yang masih “tingting”, juga ia tentu belum punya apa-apa dalam bergerilya. Apalagi untuk masuk ke Irian Barat, sesuai dengan rencana strategis kemiliteran, harus dilakukan melalui penerjunan dari udara, karena sangat tidak efektif melalui laut. Meski jal itu tetap dilakukan, namun sudah tentu yang paling efektif adalah melalui penerjunan. Konon pula penerjunan harus dilakukan di malam hari.

Berbagai cara dilakukan Herlina untuk dapat melampiaskan tekadnya, di antaranya ia sempat menetap di Soasiu, di pulau Tidore Maluku Utara, yang merupakan kota khusus yang dijadikan tempat persiapan para sukwan yang akan diterjunkan ke Irbar. Sebelumnya ia sempat menghadap Panglima Mandala Mayjen Soeharto di Makassar dan beberapa perwira lainnya, Brigjen A. Tahir sebagai Kepala Staf Komando Mandala.

Akhirnya setelah berusaha tanpa lelah, Herlina memang mendapat kesempatan untuk melaksanakan tekad, menjejakkan kaki di bumi Irbar, melalui landasan Ambon bersama 19 orang lainnya, yang semuanya anggota militer berjenis laki-laki dan sudah terlatih melaksanakan terjun. Hanya Herlina yang belum punya pengalaman terjun, kecuali hanya latihan ala kadarnya saja. Namun karena tekadnya begitu membara, diperolehnya juga izin untuk terjun, meskipun sebenarnya ia sukwati selundupan. Tidak ada yang tahu, bahwa ia bukan penerjun. Ia pun diharus membawa senjata.

Herlina punya keyakinan penuh, bahwa Allah SWT akan memberkatinya. “Kupasrahkan hidupku ini padamu ya Allah! Berilah aku perlindungan,” begitu ia berucap di dalam hati, setelah pesawat yang berisi 19 sukwan dan 1 sukwati tinggal landas dari Ambon menuju Irbar. Herlina dan mungkin saja para penerjun lainnya tidak di daerah mana mereka akan diterjunkan.

Ternyata ke-20 sukwan tersebut diterjunkan di hutan di daerah kepala burung. Herlina yang diterjunkan terakhir, tidak sadar ketika tubuhnya terhenyak di tanah di dalam hutan rimba yang sepi dan gelap. Rupanya ia sempat pingsan. Baru sadar setelah beberapa lamanya. Tidak ada seorang sukwan lainnya yang berada di dekatnya. Ia tidak tahu, di mana jatuhnya para temannya. Yang pasti ia seorang diri di belantara lebat itu....

Akhirnya ia bertemu dengan orang-orang asli, setelah beberapa hari kemudian. Herlina sempat atas anugerahkan Allah SWT atas keselamatan dirinya, meskipun ia harus menderita, karena tidak ada makanan dan sempat harus telanjang, karena pakaiannya basah diguyur hajan. Ia menderita, tapi ia bangga, karena dapat memenuhi tekadnya menjejakkan kaki di bumi Irbar.

Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia tahun 1962, melalui perjuangan diplomatik dan operasi militer, Presiden Sukarno menganugerahkan “Pending Emas” seberat 500 gram dan uang Rp.10 juta kepada Herlina pada sebuah upacara khusus di Istana Negara pada 19 Februari 1963, sehingga ia mendapat gelar “Si Pending Emas”. Namun emas seberat ½ kg dan hadiah uang tersebut diserahkan Herlina kembali kepada Negara. Selain itu ia diberi kesempatan khusus mengikuti pendidikan militer dan 1964 ia tampil sebagai Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat).

Karena Herlina merasakan sendiri, bagaimana sulit dan beratnya memperjuangkan Irian Barat, ia menentang keputusan Presiden Abdurrahman Wahid mengganti nama Irian Barat menjadi Papua, dengan alasan “Papua” adalah nama asli pulau tersebut. Sementara Irian disebut sebagai kepanjangan “Ikut Republik Indonesia anti Nederland”. Padahal kepanjangan ini hanya permainan politik orang-orang OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang memberontak kepada NKRI.

Nama/kata “Irian” sebenarnya diusulkan oleh pejuang dan Pahlawan Nasional asal Irian Barat – Frans Kaisiepo, yang berarti “sinar yang menghalau kabut” berasal dari bahasa lokal salah satu suku yang berjumlah 244 dan 93 bahasa lokal.

Menyusup ke Malaysia

NAMUN belum sempat Herlina melaksanakan cita-citanya, terjadi pergolakan politik, dengan dicetuskannya”Dwikora” oleh Bung Karno, (dikenal rakyat Indonesia sebagai “Ganyang Malaysia”), setelah di tahun 1962 Inggris berusaha membentuk negara-negara bekas jajahannya; Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei menjadi Federasi Persekutuan Tanah Melayu dengan nama Malaysia.

Bung Karno Karno menentang kebijakan Inggris itu, karena dinilai akan membahayakan revolusi Indonesia. Apalagi “negara” Persekutuan Tanah Melayu yang dipimpin Tengku Abdul Rahman, sengaja mengkhianati kesepakatan pertemuan Maphilindo (Malaya, Philipina, Indonesia) di Manila antara PM Tengku Abdul Rachman, Presiden D. Macapagal dan Presiden Sukarno.

Sukararelawan (sukwan) Indonesia mulai melakukan penyusupan ke Malaya, Serawak, Sabah, Singpura, bahkan Brunei. Salah seorang sukwan yang ikut menyusup ke Malaya adalah – Herlina. Ia ditunjuk sebagai Komandan Sukarelawati.

Atas instruksi Opsus (Operasi Khusus), bersama Taguan Hardjo, seorang pelukis yang pernah bekerja di harian “Waspada” bersama saya, tahun 1965 Herlina mencetak koran “Berita Harian” di Medan. (“Berita Harian” adalah koran terbitan Malaysia). Kerja sama Herlina dan Taguan Hardjo yang memahami masalah percetakan, menerbitkan “Berita Harian” palsu. Sungguh mengagumkan, karena isinya dalam bahasa Melayu memberi dukungan terhadap Indonesia yang menentang pembentukan Malaysia. Koran ini diselundupkan dan diedarkan di Malaysia. Herlina sengaja menyamar sebagai nelayan, membawa koran tersebut dengan “tongkang” ke pelabuhan kecil Pontian di Perak. Edisi II tidak sempat dicetak, karena peristiwa “G30S” meletus....

Pada saat terjadi perundingan pemulihan hubungan antara Indonesia-Malaysia, setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden, Herlina masuk dalam delegasi Indonesia.

Fakta keluar-biasaan

DARI ketiga “events” yang saya kemukakan di atas (Keliling Indoesia, Dwikota dan Trikora), di mana Herlina terlibat jelas bisa dipastikan, bahwa “Herlina adalah perempuan luar biasa”, karena sampai saat ini belum ada wanita yang mampu berbuat seperti yang dilakukan Herlina.

Sebenarnya tiga peristiwa di atas hanya sekadar informasi fakta. Masih ada fakta lain yang bisa dikemukakan. Herlina juga adalah seorang sosiawan/dermawan sejati. Pada tahun 1992 ia membebaskan 40 nelayan Jatim yang terdampar di Republik Palau di kawasan Pasifik dari jerat hukum dengan membayar denda yang cukup besar.

Ia juga membikin pasti asuhan, mendidik/membiayai anak-anak yang tidak mampu di bidang pendidikan. Bahkan juga mengadopsi beberapa anak menjadi anaknya sendiri.

Di bidang olahraga, ia pernah menjadi Ketua Umum Persija Timur dan membina klub Caprina yang mengikuti Kompetisi Galatama PSSI di Era Ali Sadikin. Untuk Caprina ia membikin asrama khusus, membuat lapangan sendiri di Cibubur. Dari Caprina lahir beberapa pemain nasional seperti Ristimoyo (kini menetap di Malaysia), Syafruddin Fabanyo, Mulyadi, Bambang Sunarto dan lain-lain.

Ketika Gerakan Pramuka membangun perkampungan di Cibubur, Herlina menyerahkan lapangan bola miliknya kepada Pramuka. Inilah catatan pendek tentang Herlina yang kenal baik bertahun-tahun lamanya. ***

 

Eddi Elison

 

Ikuti tulisan menarik Eddi Elison lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB