x

Iklan

Sulardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

DPD Aksesoris Demokrasi ~ Sulardi

Kewenangan DPD, yang dikonstruksi sebagai lembaga perwakilan daerah, sesungguhnya telah diambil habis oleh DPR.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sulardi

Dosen hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Malang

Kabar tak sedap beredar beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa saat ini beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masuk partai politik. Informasi terakhir, terdapat 27 anggota DPD yang terdaftar sebagai pengurus Partai Hanura. Jika ini benar, dapat diasumsikan ada anggota DPD lain yang terdaftar di partai politik juga. Ini mengacaukan sistem perwakilan bikameral yang sedang dibangun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konsekuensi dari amendemen UUD 1945 pada 1999-2002 menjadikan badan perwakilan di Indonesia mengalami perubahan, yang semula menganut monokameral menjadi bikameral, yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili partai politik dan DPD yang mewakili kepentingan daerah.

Ternyata terdapat ke-senjangan yang mencolok antara peran DPR dan DPD. Peran DPR sangat besar, yang meliputi penyusunan undang-undang, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang oleh presiden, dan penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bahkan, dalam hal pemberhentian presiden, DPR sangat berperan, dari pengajuan ke Mahkamah Konstitusi hingga pengambilan keputusan dalam pemberhentian presiden di sidang MPR. Ini karena jumlah anggota DPR yang melebihi 3/4 dari keseluruhan anggota MPR. Sedangkan DPD hanya mempunyai peran pelengkap, baik dalam penyusunan undang-undang, pengawasan terhadap pemerintah, maupun penyusunan APBN. Karena itu, checks and balances di lembaga legislatif tidak terjadi. Justru dominasi DPR atas presiden dalam ruang legislasi semakin kuat secara konstitusional.

Ketidaksetaraan kewenangan dan kedudukan antara DPR dan DPD se-sungguhnya dimulai sejak awal perubahan UUD. Pada perubahan pertama tahun 1999, peran legislasi dan politik lembaga legislatif sudah sepenuhnya diserahkan kepada DPR. Di awal pelaksanaan kewenangan DPR yang sangat kuat itu, dirasakan DPR mendominasi kekuasaan presiden. Dengan demikian, pada awal perubahan UUD ketiga tahun 2001, muncul wacana perlunya lembaga penyeimbang atas kewenangan DPR tersebut. Maka, hadirlah DPD.

Kewenangan DPD, yang dikonstruksi sebagai lembaga perwakilan daerah, sesungguhnya telah diambil habis oleh DPR, dari penyusunan undang-undang dan anggaran hingga proses seleksi atas pimpinan lembaga negara dan lembaga independen, seperti Komisi Pemberantasan korupsi. Pengaturan kewenangan DPD pun dipaksakan masuk dalam UUD, tapi tidak secara optimal. Misalnya, Pasal 22D ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat mengajukan ke DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hal kedaerahan lainnya.

Dengan kewenangan yang tidak optimal itu, pada 2008, semua anggota DPD menginisiasi usul perubahan UUD, tapi kandas karena tidak dipenuhinya persyaratan pengajuan usul perubahan UUD, yakni diusulkan sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR. Kegagalan itu juga terjadi karena substansi usulan yang lebih memfokuskan optimalisasi wewenang, tugas, dan kedudukan DPD.

Pada 2013, DPD menempuh cara lain: melalui campur tangan Mahkamah Konstitusi. Pada 28 Maret 2013, Mahkamah melalui putusan nomor 92/PUU-X/2012 mengabulkan permohonan DPD untuk sebagian atas pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang bertentangan dengan UUD 1945. Pada intinya, DPD kini mempunyai kewenangan yang sederajat dengan DPR dan presiden dalam penyusunan undang-un-dang, khususnya yang berkaitan de-ngan otonomi daerah dan hal kedaerahan lainnya.

Namun tetap saja mekanisme persetujuan atas rancangan undang-undang itu dilakukan bersama DPR dan presiden. Artinya, walaupun melalui keputusan MK, kedudukan dan kewenangan DPD dalam menyusun undang-undang naik kelas, tapi kedudukannya masih di bawah DPR dan presiden.

Bergabungnya anggota DPD ke partai politik tertentu itu sesungguhnya merupakan cara anggota DPD untuk mendapat perhatian masyarakat maupun pengamatan ketatanegaraan dan politik serta politikus. Ini mengingatkan bahwa sejak awal DPD hanyalah aksesori demokrasi di Indonesia.

Perlu perombakan besar-besaran untuk menunjukkan bahwa DPD bukanlah aksesori demokrasi. Pertama, jumlah anggota DPD ditambah sesuai jumlah kabupaten dan kota yang berada di provinsi yang diwakilinya. Kelak jumlah DPD sama dengan jumlah kota dan kabupaten di Indonesia. Kedua, peran dan wewenang DPD di tingkat hingga setara dengan DPR. Ketiga, salah satu tugas anggota DPD adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah di kota atau kabupaten asalnya. Keempat, segera mengagendakan perubahan kelima UUD 1945 untuk merealisasikan gagasan ini.

Ikuti tulisan menarik Sulardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler