x

Pembubaran HTI, Menteri Agama Lukman Saifuddin Berikan Alasannya. TEMPO/Ryan Maulana

Iklan

Sulardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Peraturan Pemerintah dalam Sistem Presidensial ~ Sulardi

Pemerintah memang mempunyai kewenangan untuk mengizinkan atau tidak soal berdirinya sebuah organisasi, tapi tidak bisa sewenang-wenang mencabutnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sulardi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah memicu kontroversi. Sebagian pihak menilai langkah ini lebih menggunakan pendekatan kekuasaan daripada persuasi. Sebab, berdasarkan peraturan ini, pemerintah dengan mudah membubarkan organisasi masyarakat (ormas) hanya dengan memberikan sanksi administrasi, yakni pencabutan izin sebagai badan hukum, lalu bubarlah organisasi itu. Maka, peraturan ini akan mengancam keberadaan ormas di Indonesia, terutama yang kritis terhadap pemerintah.

Substansi peraturan ini lebih mengedepankan apa maunya pemerintah. Melalui peraturan ini, pemerintah telah menempatkan diri sebagai lembaga eksekutif sekaligus yudikatif, yang menjatuhkan vonis bubar pada suatu ormas. Hal ini menandai keruntuhan kebebasan berserikat.

Lazimnya, pemerintah sebagai penguasa negara memang mempunyai kewenangan untuk memberikan layanan administrasi, dalam hal ini mengizinkan atau tidak mengizinkan berdirinya sebuah organisasi. Namun, setelah izin itu diperoleh, pemerintah tidak bisa sewenang-wenang mencabut izin tersebut tanpa proses pengadilan.

Ada langkah hukum yang dapat kita lakukan untuk menolak peraturan ini. Pertama, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas surat keputusan pencabutan izin ormas yang telah diterbitkan pemerintah. Putusan pengadilan bisa saja menyatakan bahwa surat keputusan itu tidak mendasar dan pertimbangan pemerintah mencabut izin tidak terbukti dalam persidangan.

Kedua, mengajukan permohonan uji peraturan pemerintah itu ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa pasal-pasal yang menjadi dasar pencabutan izin ormas bertentangan dengan beberapa pasal yang ada di dalam UUD 1945, seperti pasal tentang kebebasan berserikat, kepastian hukum, dan mencederai negara hukum. Dengan petitumnya, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa pasal-pasal yang menjadi dasar pencabutan itu inkonstitusional.

Dasar hukum hadirnya peraturan pemerintah itu adalah Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi: "Dalam hal-ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang". Dalam hal undang-undang darurat, dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 139 Konstitusi Republik Indonesia Serikat danPasal 96Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia(UUDS 1950). Isinya: 1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur segera. 2. Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat yang sama dengan undang-undang.

Antara peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan undang-undang darurat mirip. Keduanya dibuat oleh pemerintah dan membutuhkan persetujuan DPR. Namun perlu digarisbawahi bahwa keduanya berada dalam zona sistem pemerintahan yang berbeda. Berdasarkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah parlementer. Pada sistem parlementer, undang-undang dibuat bersama-sama oleh pemerintah dan DPR sehingga menjadi lazim bila dalam situasi yang darurat pemerintah (bukan presiden) membuat undang-undang tanpa persetujuan DPR, sehingga dinamai undang-undang darurat.

Sedangkan UUD 1945, baik sebelum maupun setelah perubahan, cenderung menjalankan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu prinsip sistem presidensial adalah pembuatan undang-undang dilaksanakan oleh lembaga legislatif tanpa melibatkan eksekutif.

Tapi Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR". Ini merupakan ketentuan yang keliru jika dilihat dalam perspektif Triaspolitika karena presiden sebagai lembaga eksekutif tetapi memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekeliruan itu diperbaiki pada perubahan UUD 1945 yang pertama. Pasal itu berubah menjadi "Presiden berhak mengajukan rancangan-undang-undang kepada DPR".

Pergeseran pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dari presiden ke DPR ini tidak diikuti perubahan Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 yang menunjukkan bahwa presiden masih berkuasa di bidang legislatif. Semestinya presiden tidak lagi mempunyai hak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Apa gunanya telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang bila ternyata presiden masih berhak mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang nyatanya adalah undang-undang yang belum disetujui oleh DPR. Apalagi tidak adanya indikasi kegentingan yang memaksa yang dapat diukur secara obyektif. Dengan demikian, presiden telah memanfaatkan kelemahan UUD 1945 untuk memperkuat fungsi legislatifnya sekaligus memperkuat kedudukan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.

Ikuti tulisan menarik Sulardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler