x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masih adakah Harga Kemanusiaan?

Kita sampai pada titik di mana humaniora tidak dipandang sebagai bidang ilmu. Entah siapa yang memulai gagasan yang sangat salah dan menyusun skenario ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita sampai pada titik di mana humaniora tidak dipandang sebagai bidang ilmu. Entah siapa yang memulai gagasan yang sangat salah dan menyusun skenario ini. Tapi yang benar-benar menyedihkan adalah reaksi orang-orang humaniora terhadap serangan ini, terhadap apa yang mereka lihat sebagai hak asasi mereka, terhadap relevansi budaya dan pendanaan keilmuan. Mereka merasa tersinggung ketika diminta untuk membenarkan keberadaan mereka. Tapi faktanya adalah bahwa nilai humaniora tidak bisa diukur.

Tidak ada yang salah dengan itu. Sesuatu yang aku percaya bisa ditangani. Masalahnya adalah bahwa orang-orang humaniora adalah satu-satunya yang percaya bahwa kemanusiaan punya nilai tinggi. Dan kini tiba-tiba kita tersadarkan di dunia yang punya masalah dengan ingatan, dunia yang tidak bisa mengingat mengapa dulu kemanusiaan punya harga. Alih-alih mengakui keterpinggiran dan mengatur strategi yang bagus untuk memastikan kelangsungan hidup, manusia membuang-buang waktu untuk merawat harga diri yang terluka.

Lagi dan lagi, aku mendengar orang mengatakan bahwa kemanusiaan tidak memiliki tujuan apa pun. Terbukti tidak cukup jaminan bahwa swasembada semisal garam cukup tersedia agar masyarakat tak merasa cecap lidahnya hambar dan mengimpor kristal asin tersebut dari Australia sementara petani garam lokal berteriak-teriak harga garam produk dalam negeri tak kunjung membuat mereka hidup layak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka hanya bersikap setengah jujur. Mereka tidak tahu bahwa dalam kancah politik manusia diajarkan untuk menjunjung tinggi kepentingan, bukan swasembada pangan, konon pula garam. Di pesta-pesta karangan bunga atau roti buaya, kita menjadi nyinyir mempertanyakan definisi yang tak hendak kita pahami makna, partai berpura-pura berkonfrontasi, saling mengejek tentang apa yang BENAR-BENAR telah dilakukan. Terlepas dari massa yang kurang informasi, ada sekumpulan dewan pakar, komisi ad hoc, yang menganggap humaniora lebih dari sekadar pelindung manusia terhadap berkurangnya investasi atau pemotongan anggaran.

Untuk membenarkan apa yang kita lakukan, kita membengkokkan nilai-nilai kemanusiaan, membuang inti dari pendidikan yang penting untuk menghasilkan manusia yang menyuarakan kebenaran, baik dalam pergulatan pemikiran maupun olah tubuh. Pil stamina untuk argumen jiwa masyarakat. Tapi sudah terlambat bicara untuk itu. Tidak ada yang akan jatuh untuk itu.

Dan meskipun banyak orang di kalangan humaniora masih percaya di hati mereka, mereka tidak akan berani membuat klaim semacam itu di depan umum. Klaim seperti itu cenderung membuka masalah baru. Suatu pembenaran yang sering aku temukan adalah hal tentang pemikiran kritis dan analitis. Kita mengaku sebagai orang yang berpikir kritis. Kita mengajar dan belajar bagaimana untuk skeptis dan kritis tentang segala hal. Kita menanamkan ketegasan berpikir yang ‘fokus, logis, mandiri, dan kreatif’.

Bagus, bukan? Bukan hanya bagus, bahkan terdengar menyenangkan. Tapi hanya kilau di permukaan kulit. Seperti menyuruh anak kecil untuk mencari kredit alat berpikir kritis. Sepertinya ketidak adilan dan nenek yang dihukum karena mencuri kayu miliknya sendiri.

Ujung-ujungnya semua tergantung pada perencanaan keuangan dengan memanggil pulang Penjagal Anggaran. Ini bukan sesuatu yang kita harapkan. Karena dengan alasan apa pun, masyarakat sedang berjuang menegakkan rasa kemanusiaan dan jika kita tidak memikirkannya, kita akan terus menjadi penista rasa keadilan.

Kehilangan asumsi-asumsi konyol bahwa nilai dari apa yang kita lakukan sudah jelas. Atau bahwa alasan dunia mempertanyakan nilai intrinsik kemanusiaan kita karena salah arah secara budaya dan bukan karena kita kehilangan visi dan misi. Jika rakyat bertanya kepada penyelenggara kuasa mengapa mereka harus membayar untuk kegagalan memahami kemanusiaan, jawaban yang bagus adalah kekhawatiran bahwa kemanusiaan perlahan-lahan menjadi barang mewah sebagai bisnis untuk semua orang. Dan kita perlu membuang semua perusahaan setan menurut Joel Bakan, tarungkan dengan argumen humaniora malaikat yang lemah tanpa daya.

Aku tidak punya semua fakta. Tapi menurutku situasinya jauh lebih rumit daripada sekadar membangun infrastruktur yang tak jelas untuk manusia atau untuk mesin beroda. Apapun yang kita lakukan, kita tidak membuang waktu memikirkan diri kita sebagai korban. Jangan memanjakan diri sendiri, malas bergerak dan tidak produktif. Penjaga Anggaran bisa saja datang untuk memberi tendangan penalti. Tidak akan ada yang merasa kasihan pada kita, karena kita bukan anak-anak yang terbebani dengan pinjaman luar negeri atau pengangguran yang tidak dibayar.

Daripada menjadi sensitif saat diserang, daripada kampanye besar-besaran pemulihan citra, hilangkan kengerian pada kemiripan kata citra dan cinta. Adalah fakta bahwa kita harus menemukan kembali bukan hanya diri kita sendiri, tapi juga karangan cerita yang kita ceritakan kepada dunia tentang diri kita sendiri. Di era media sosial, kita harus menjual diri agar tetap hidup. Aku tidak setuju bahwa buang angin tak berbunyi tapi berbau yang dibuat oleh anggota dewan dan pikiran bahwa kemanusiaan akhirnya menjadi tidak ada harga. Aku hanya mengatakan bahwa kita sangat buruk dalam menawarkan nilai kita kepada dunia.

Nilai yang kita gunakan untuk membangkitkan sejarah semu masa lalu, dan sejujurnya, jauh dari cerdas.

 

Bandung, 30 April 2017

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu