x

Iklan

Dony

Equilibrium State
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Nilai, Rumah Dekat dan Usia Tua Pasti Masuk SMP Negeri

Tidak Perlu Nilai Tinggi, Alamat Dekat Sekolah dan Umur Lebih Tua Menjamin Diterima SMP Negeri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini adalah pengalaman dan pengamatan saya saat mendaftarkan anak ke SMP Negeri tahun ajaran 2017/2018 di Banjarmasin.

 

Sistem Zonasi

 

“Ganti menteri berganti pula kebijakannya.”  Jargon tersebut sering kita dengar karena beredar dari mulut ke mulut.

Penerimaan siswa baru untuk SMP Negeri Tahun 2017 di Banjarmasin diwarnai oleh sistem zonasi jarak dari tempat tinggal yang tercatat di Kartu Keluarga (KK).

KK yang dijadikan acuan adalah KK maksimal 6 bulan sebelum waktu pendaftaran. Aturan ini baru saya ketahui satu bulan sebelum waktu pendaftaran.

 

Gambar 01

Sistem zonasi yang diberlakukan, Sumber pdf disini.

 

Dari daerah lain yang terlebih dahulu melaksanakan pendaftaran, saya telah melihat ada kegaduhan yang ditimbulkan dari aturan tersebut, Yang paling saya ingat dengan jelas adalah bagaimana seorang anak peraih nilai tertinggi di Salatiga bisa tersingkir tidak mendapat SMA yang diinginkan.

Sangat besar kemungkinan hal itu juga akan menimpa anak saya yang bukan peraih nilai tertinggi,

 

Gambar 02

Screen capture e-paper Harian Suara Merdeka tanggal 16 Juni 2017. Berita versi web-nya bisa diakses disini.

 

Dilema memilih zonasi atau kualitas sekolah

 

Dalam berita resminya di media cetak dan media online, kebijakan ini dilakukan agar kategori sekolah “favorit” yang terbentuk karena image lulusan rata-rata sebuah sekolah “favorit” yang lebih berkualitas daripada sekolah-sekolah yang lain bisa dihilangkan.

Sebuah alasan kebijakan yang dipaksakan sambil menutup mata terhadap kenyataan tidak meratanya kualitas kelulusan dan fasilitas fisik sekolah-sekolah yang ada.

Sebagai contoh ujian akhir SMP berbasis komputer saja hanya 3 SMP di Banjarmasin yang siap. Sisanya meminjam komputer atau istilah kerennya “tidak Mandiri”.

Namun dengan melihat kaitannya pada kebijakan “full days school” yang rencananya akan diberlakukan, namun kini pelaksanaannya masih menjadi tanda tanya. Saya melihat bahwa kaitan zonasi adalah agar siswa bisa lebih cepat dan dekat saat pulang ke rumahnya setelah seharian penuh bersekolah.

Reaksi orang tua-orang tua murid dari kebijakan tersebut umumnya terbelah menjadi :

1, Tidak peduli zonasi, tetap mencarikan sekolah negeri “favorit”, bersiap dengan konsekuensi berikutnya jika tidak berhasil lolos.

2. Terpaksa tunduk sebagian pada aturan zonasi, pilihan pertama tetap sekolah “favorit” pilihan kedua barulah sekolah di dalam zonasi-nya yang terdekat. Sadar kualitas sebuah sekolah namun keinginan harus bersekolah disekolah negeri biasanya adalah dorongan utama disini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

3. Tunduk seluruhnya pada aturan zonasi. Pilihan pertama dan kedua seluruhnya sekolah dalam zonasi. Bisa jadi sekolah yang ada dalam zonasi dianggap sudah cukup untuk kemampuan yang dimiliki anaknya.

4. Menyerah karena merasa pasti tidak diterima, langsung mendaftarkan anak ke SMP swasta atau Madrasah.

 

Karena sekolah “favorit” menjadi pertimbangan utama maka saya yang termasuk tidak mempedulikan zonasi.

Pada kenyataannya masalah bertambah karena lokasi tinggal juga tidak “mendukung” karena tidak terdapat sekolah yang tergolong “favorit” tersebut di dekat alamat rumah saya.

 

Gambar 03

Peta sebaran SMP di kotamadya Banjarmasin (Sumber: dokumentasi pribadi di Google Earth)

 

Pada gambar diatas, terlihat sebaran SMP Negeri yang tidak merata. Daerah sebelah kanan bawah peta (Mulai jalan Jend. A. Yani km 5,5 arah ke luar kota) hanya ada 2 SMP yaitu SMPN 19 dan SMPN 16 yang jarak keduanya sekitar 3 km.

 

Gambar 04

Jarak garis lurus SMPN 19 dan SMPN 16 (Sumber: dokumentasi pribadi di Google Earth)

 

Ini tentunya membuat warga disekitar kedua sekolah tidak punya pilihan SMPN lain yang bobot nilai “zona” seleksi PPDB-nya diatas 2.

Satu hal yang sebetulnya kurang tepat dari sistem zonasi ini adalah jarak sekolah ke rumah bukanlah jarak garis lurus di peta, namun rute jalan yang dilalui siswa.

Bisa jadi ada rintangan alam seperti sungai atau bukit, atau rintangan buatan misalnya gedung, jembatan, atau jalan satu arah yang perlu di hitung. Bandingkan dua gambar berikut.

 

Gambar 05

Rute perjalanan sebuah tempat di Jalan Jahri Saleh ke SMPN 6 (screen capture Google Maps)

 

Gambar 06

Jarak garis lurus tempat di Jalan Jahri Saleh tersebut ke SMPN 6 (screen capture Google Earth)

 

Masalah Kependudukan

 

Aturan zonasi ini juga bersinggungan dengan aturan tapal batas wilayah kotamadya Banjarmasin. Jika keluarga murid tinggal di wilayah Kabupaten Banjar atau Barito Kuala (tercatat pada KK) akan dianggap warga luar kota walaupun jarak ke sekolah cukup dekat sehingga diperhitungkan sebagai penerimaan murid dari luar kota yang jatah kursinya jauh lebih kecil.

Umumnya mereka yang tergolong disini adalah kaum urban: rumah berada didaerah satelit kabupaten berbatasan dengan Kotamadya Banjarmasin karena harga lebih murah.  Orang tua juga kemungkinan besar berkerja di Banjarmasin.

Persoalan kependudukan lain yang turut mempengaruhi zonasi "keberuntungan" murid adalah tempat tinggal yang pada kenyataannya tidak sama dengan yang tertera di KK .

Keluarga murid tinggal dengan mengontrak rumah dan berpindah-pindah. Bisa juga karena membeli dan mendiami rumah baru namun belum mengurus perubahan dalam KK.

Untuk pendatang yang baru pindah dari luar kota atau ber-KK luar kota sudah jelas mereka harus bersaing memperebutkan jatah bangku luar kota yang jatahnya sangat kecil.

 

Tidak Diterima SMP Negeri

 

Kembali kepada proses penerimaan SMP anak saya di Banjarmasin. Walaupun meraih Nilai Ujian Nasional diatas 260, saat pengumuman anak saya tidak diterima di SMP Negeri pilihannya.

 

Gambar 07

Tidak diterima. (Sumber : Screenshot situs PPDB Online)

 

Sebuah konsekuensi yang bisa dihitung dari bobot nilai zona yang diperoleh hanya 1 (Satu). Pemeringkatan dihitung diurutkan dari bobot zona (jarak sekolah), dilanjutkan usia anak, baru yang terakhir Nilai Ujian Nasional (NUN).

Semakin dekat rumah ke SMPN Pilihan dan semakin senior usia anak maka semakin mudah masuk SMP Negeri.

Pada gambar berikut terlihat bagaimana Nilai Ujian Nasional (NUN) "tidak berguna".

 

Gambar 08

Daftar mereka yang diterima disalah satu SMP Negeri di Banjarmasin. (Sumber : Screenshot situs PPDB Online)

 

Hebat! Calon murid dengan Nilai Ujian Nasional yang sangat rendah (Nilai Ujian Nasional 85,5 atau rata-rata per-mata pelajaran yang diujikan 28,5) bisa ada paling atas di daftar yang diterima di SMP Negeri. Menang jarak dan menang senioritas (lebih tua) nih.

Komentar kebanyakan orang tua dan anak mereka yang saya dengar, “Buat apa susah susah belajar untuk meraih nilai ujian akhir setinggi-tingginya jika tahu pada akhirnya nilai tidak dipakai!”

 

Gambar 09

Pengumuman untuk pendaftaran gelombang ke-2 (foto dari pesan di whatsapp)

 

Ternyata banyak juga orang tua yang mengambil pilihan “favorit” seperti yang saya ambil, terlihat banyak SMPN yang saat pengumuman hasil penerimaan masih kekurangan. Tidak tanggung-tanggung jumlah total sembilan ratusan bangku yang masih kosong.

Setelah tidak diterima di SMP Negeri pilihan, kini saya bersiap mendaftarkan anak di SMP swasta.

 

Kesimpulan

 

Duluan mana Ayam atau Telur? Sebuah pendebatan yang terus ada.

Menurut hemat saya, perbaikilah lebih dulu kualitas dan prasarana sekolah. Setelah tiap sekolah bisa dianggap setara oleh penilaian masyarakat (bukan oleh pemerintah) maka tanpa perlu bicara zonasi pun calon murid dan orang tuanya akan  mencari yang didekat rumah saja. Tidak bisa diwujudkan dengan cepat namun paling masuk logika.

Untuk menyudahi artikel ini saya ingin mengutip jargon iklan sebuah produk minyak telon : “Buat anak kok coba-coba?”

Dampak paling buruk yang kini harus diatasi adalah bagaimana mengembalikan semangat anak yang terpuruk karena perjuangan mereka meraih Nilai Ujian Nasional (NUN) tidak dihargai dengan pantas.

Semoga para pemimpin yang terkait terbuka hati, mata, dan telinganya untuk berhati-hati dengan kebijakan baru dan mengkaji ulang model penerimaan murid baru SMP Negeri seperti ini.

 

 

Salam.

 
 

Ikuti tulisan menarik Dony lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB