x

Seorang pria melihat bagian dalam Kastil Ali Pasha Tepelena di Porto Palermo, sekitar 235 km di sebelah selatan Tirana, Albania, Rabu 28 Mei 2014. Porto Palermo kembali dibuka beberapa tahun setelah kekuasaan komunis berakhir pada 1991 dan Albania mu

Iklan

Muhammad Husein Heikal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manusia Serakah

Memperoleh ketenangan jiwa –dalam keadaan sejahtera– merupakan kemungkinan ultim manusia selama hidupnya dan makna seluruh keberadaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia itu serakah. Pernyataan ini jelas tak tepungkiri dan sejak lama telah teridentifikasi. Keserakahan sebagai bentuk perilaku tidak pernah merasa cukup atas segala nikmat yang telah didapatkan. Keserakahan dalam diri manusia tidak akan pernah hilang, sampai ia terbaring disebelah ajal. Bila tidak ditopang oleh iman yang teguh, sepanjang hidupnya manusia akan dikuasai oleh nafsu yang pada akhirnya menjerumuskan diri kepada nilai-nilai semu, membuat penderitaannya sendiri dan juga penderitaan bagi orang lain. Serakah dilakukan demi kebahagiaan, pandangan ini berlaku secara universal. Kekayaan selalu identik dengan kebahagiaan.

Sastrawan Kurnia Jr pernah menuliskan bahwa orang zaman sekarang senang menggunakan eufemisme sukses, padahal yang mereka maksud adalah kaya raya. Menjadi kaya raya adalah pencapaian yang patut dan sudah seharusnya ditempatkan setelah sukses. Sukses adalah pencapaian seseorang sebagai citra gemilang pribadinya, sedangkan kaya raya adalah ganjaran material bagi segenap prestasi.

Epicurus (341-270 SM) seorang materialis tulen yang memusuhi nasib serta keniscayaan, memandang bahwa kesenangan adalah prinsip serta tujuan dari hidup bahagia. Kesenangan menurutnya berorientasi pada “asas dan akar segala sesuatu yang baik adalah kesenangan perut, semua hal rohani serta nilai lebih tinggi dapat diasalkan kepadanya”. Secara simpulan bermakna, ketenangan jiwa akan tercapai setelah kepuasan raga terpenuhi. Namun anehnya, Epicurus tidak mengakui jalan yang diambil Lucullus senator yang setelah masa pensiun menimbun kekayaan besar dan menikmati hidup penuh kemewahan yang berlebih-lebihan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diksi serakah diperhalus oleh Adam Smith dengan padanan individualis. Smith beranggapan sifat individualis manusia harus dipertahankan. Itulah yang justru akan memacu dirinya untuk merasa harus maju dan menjadi pemenang dalam persaingan. Individualis tidak sama dengan egois, meski keduanya sama-sama mementingkan diri sendiri. Implikasi egois tanpa memerhatikan orang lain, sedangka individualis memaksa memerhatikan kepentingan orang lain. Smith sendiri terlalu mencurigai bahwa the road to hell is paved with good intensions.

Kelahiran mazhab Kyrene yang didirikan Aristippus (435-355 SM) mengantut ajaran hedonisme sebagai tujuan kehidupan etis, tujuan hidup yang paling mulia dari setiap manusia. Semua tindakan manusia akan dianggap baik apabila seandainya tindakan tersebut mendatangkan kenikmatan yang berpangkal pada kesenangan. Manusia yang bijaksana, ialah manusia yang mencari kenikmatan sebesar-sebesarnya didunia ini.

Ironisnya, demi pencapaian ini, manusia harus rela melepaskan segala norma, susila dan etika bahkan bila perlu agama yang membelenggu. Hedonisme dapat dikatakan sebagai cikal paham materialisme yang merebak di Eropa pada abad 17-18M. Hedonisme merupakan paham materialisme mekanistik, yang menganggap kenikmatan egoistis sebagai tujuan akhir kehidupan manusia.

Paham seperti ini begitu sukar dibendung, bahkan Deklarasi Amerika Serikat (1776) mencantumkan tujuan mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya sebagai salah satu hak asasi manusia, sejalan dengan pentingnya kehidupan dan kebebasan. Dalam buku klasik The Fable of the Bees (1714) Bernard de Mandellive menganggap sifat rakus manusia yang selalu lebih mementingkan diri sendiri, akan memberi dampak sosial bagi masyarakat. Inilah yang dikhawatirkan filsuf tersohor Plato, yang sangat mengecam kekayaan dan kemewahan.

Plato berpandangan setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata, maka manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran. Sejalan dengan pandangan gurunya ini, Aristoteles menganggap bahwa kebutuhan manusia itu tidak terlalu banyak, tetapi keinginannyalah yang relatif tidak terbatas. Kebutuhan dan keinginan adalah dua sisi yang berbeda. Dan dewasa ini, industri modern bekerja keras hingga sukses mengubah keinginan menjadi motif kebutuhan. Padahal bila kita hendak merenungkan, cukup sebentar saja, keinginan itu adalah ketidakwajaran yang tiba-tiba menjadi urgen yang harus segera dipuaskan.

Pandangan Plato serta muridnya ini pun disimpulkan budayawan Indonesia Radhar Panca Dahana (2015) melalui gagasan “ekonomi cukup”. Dimana seharusnya manusia tidak lagi mengeksploitasi diri dan nafsunya sendiri, juga lingkungan sekitarnya, sekadar untuk menimbun pundi-pundi kekayaannya. Akan tetapi, ia harus mengeksplorasi potensi atau kemungkinan terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia, sebatasnya saja. Ukuran kebutuhan manusia masih bisa diberi batasan. Namun tidak begitu dengan keinginan yang bersifat tidak terbatas. Walaupun pada akhirnya, kepuasan maksimum dapat juga dicapai dengan hasil produksi yang terbatas. Dengan demikian manusia harus mencukupkan diri dan nafsunya.

Manusia harus mampu mengikhlaskan kekayaan lebih untuk tidak diperolehnya, sekalipun ia mampu meraihnya. Inilah yang akan menjadi rezeki bagi orang lain. Inilah sudah sebuah tindak sosial, proses langsung yang menciptakan pemerataan demi kesejahteraan bersama. Kesempatan meraih hidup yang baik dapat dirasakan semua pihak dan kalangan. Meski sayangnya, defenisi cukup sungguh sangatlah absurd. Tidak ada pengukurnya sama sekali. Pada impulsnya, memperoleh ketenangan jiwa –dalam keadaan sejahtera– merupakan kemungkinan ultim manusia selama hidupnya dan makna seluruh keberadaannya. Untuk kebahagiaan sedemikian itu, sebetulnya kita tidak perlu memiliki harta benda berlimpah-ruah. Karena batiniah (jiwa) manusia itu sendiri sudah dapat menentukan rasa cukup sampai pada batas ketentuannya.

Semestinya kita berkaca pada ayat: Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? (QS. 55:13). Para ulama menganalogi sikap manusia identik dengan unggas. Dalam diri manusia berisikan oleh empat unggas. Ayam mewakili hawa nafsu. Bebek mewakili sifat rakus. Merak mewakili sikap angkuh. Gagak mewakili keinginan. Dari keempat analogi ini yang paling dominan ialah bebek. Tak pelak, keserakahanlah yang mendominasi sepanjang jalan kehidupan tiap manusia. Sebagaimana homo economicus menjadi kodrat bagi manusia. Setiap orang atas nama persaingan selalu berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin. Pendapat ini telah menjadi spirit universal dan tidak ada daya tolak koreksinya.

Terlebih saat ini, dikala progresifitas melahirkan kompleksitas yang kian meruyak atas nama praksis kemajuan, pertumbuhan dan pembangunan. Tujuan manusia hidup didunia, semata bukanlah untuk berlomba mengumpulkan harta hingga melimpah ruah belaka. Dunia hanyalah sementara, perantara kita menuju alam kekekalan: surga atau neraka. Dunia adalah ladang manusia menentukan pilihan tersebut. Marilah kita hidup dengan kesederhanaan. Hidup dengan penuh keikhlasan, kepasrahan dan rasa syukur, agar hidup yang kita lalui terasa indah dan bertebar berkah.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Husein Heikal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler