x

17_bisnis__GARAM

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lautnya Luas Kok Indonesia Krisis Garam

Sebenarnya, tanda-tanda bakal mengalami krisis garam itu sudah terlihat jauh-jauh hari dan semestinya bisa diantisipasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia krisis garam. Fakta ini tentu sangat aneh lantaran Indonesia memiliki matahari, laut, dan garis pantai  lebih banyak dibanding sebagian besar negara di dunia. Padahal, kita tahu, hanya dengan menguapkan air laut yang tergantung tiga komponen itu, garam bisa dibuat. Kenapa bisa begini?

Sebelumnya, pemerintah memutuskan izin impor garam tak lagi membutuhkan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.  Solusi ini diambil sebagai jalan keluar dari menipisnya garam industri dalam beberapa bulan terakhir. Ini artinya, perusahaan yang sudah kehabisan garam bisa mengimpor lagi untuk kebutuhan produksi mereka.

Sebenarnya, tanda-tanda bakal darurat garam itu sudah terlihat jauh-jauh hari dan semestinya bisa diantisipasi. Sebagai contoh, sejak Lebaran harga garam nyaris tidak pernah turun lagi seperti biasanya. Harganya malah terus melambung dan kini sudah naik empat kali lipat. Atau, lihat saja tanda-tandanya dari angka kebutuhan dan produksi garam nasional. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Per tahun, Indonesia membutuhkan garam sebanyak 4,3 juta ton, mencakup garam industri dengan kadar Natrium Klorida (NaCl) di atas 97 persen atau garam konsumsi yang kadar NaCl-nya di bawahnya. Sebanyak 1,8 juta ton di antaranya dipasok dari dalam negeri, kebanyakan untuk garam konsumsi yang kini langka. Nah, sejak awal tahun pasokan dari ladang dalam negeri sudah seret. Di tambak milik PT Garam di Sumenep, misalnya, produksi garam Mei-Juni hanya 50 ton, sementara biasanya bisa mencapai 2.500 ton.

Cuaca selalu menjadi alasan mengapa Indonesia yang wilayahnya dua pertiga lautan ini mengalami krisis garam. Sinar matahari sepanjang tahun ini tidak sebanyak biasanya, padahal industri garam dalam negeri mengandalkan matahari untuk menguapkan air laut.  Tapi, sungguh tak elok kita menyalahkan cuaca jika kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan bisa mengantisipasi keadaan. Pemerintah seharusnya bisa belajar dari krisis garam konsumsi pada 2010. Akibat cuaca ketika itu, produksi garam nasional hanya 30.600 ton. Ini tentu tak sebanding dengan produksi garam tahunan rata-rata 1,2 juta ton.

Masalahnya impor garam konsumsi memang tidak bisa serta merta. Peraturan pemerintah mensyaratkan kandungan NaCl garam beryodium ini harus di bawah 97 persen. Spesifikasi ini diketahui menyulitkan PT Garam, karena di pasar dunia jarang ada garam dengan kualifikasi ini.

Pemerintah sudah waktunya membuat terobosan aturan dalam impor garam, sebagai langkah darurat mengatasi krisis. Upaya ini penting, karena kelangkaan garam bukan sekadar urusan makanan, tapi juga mempengaruhi banyak industri. Di Maluku gara-gara kesulitan garam banyak usaha pengolahan ikan asin tutup atau terpaksa mengalihkan bisnisnya ke ikan asap. Sementara itu, di pasar harga ikan asin yang merupakan sumber protein murah masyarakat menjadi lebih mahal 10-30 persen. 

Agar krisis ini tidak terulang di kemudian hari, pemerintah juga harus membereskan sengkarut aturan dalam impor jerut ini. Upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tengah menyusun peraturan pengendalian impor komoditas garam harus didorong agar lebih cepat rampung. Jangan lupa untuk mensejahterakan petambak garam .

Disarikan dari Editorial Koran Tempo edisi Jumat, 28 Juli 2017

TIM TEMPO | ISTI

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler