x

Iklan

ahyar ros

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyemai Harmoni Lebaran Adat Bayan, Lombok

Sebuah perjalanan menemukan kesejatian fitrah manusia, ketika merebahkan diri dalam warna prosesi perayaan Idul Fitri, Lebaran Adat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebuah perjalanan menemukan kesejatian fitrah manusia, ketika merebahkan diri dalam warna prosesi perayaan Idul Fitri, Lebaran Adat. Inilah kisah pertautan komunitas masyarakat Adat Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) bertahan di tengah ujaran kebencian dan terbelit oleh stigma teologis dan agama yang kian berlanjut pada mereka.   

Satu malam, sebelum terbit lebaran, di masjid kuno Semokan, Bayan bergempita oleh nyala obor dan genderang beduk. Para kiai adat Wetu Telu (masyarakat adat asli suku Sasak) berbusana serba putih. Empat orang kiai kagungan atau ulama besar adat Sasak sedang duduk bersama 40 kiai santri lainnya. Dalam suasana takzim, mereka membaca Al-Quran dengan lantunan khas Wetu Telu. Kitab suci itu bertulis tangan leluhur mereka.

Masjid kuno itu sungguh bersahaja. Berdinding bedek (bambu susun), dan kerangka kayu. Ukuran lebar sekitar enam meter persegi. Selepas pembacaan ayat-ayat suci. Masyarakat bergantian masuk untuk menyerahkkan zakat fitrah. Rupa zakat bukan hannya beras dan uang, tapi juga hasil kebun dan ternak. Pembacaan kitab suci dan penyerahan zakat fitrah ini dilakukan hingga dini hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Desa Semokan, Kecamatan Bayan, tempat masjid ini berada, seolah menghuni sebuah ceruk antara lautan dan baris-baris bukit di kaki lereng Gunung Rinjani. Empat kiai kagungan menjadi panutan umat penjuru desa. Mereka adalah kiai penghulu selaku imam sholat, kiai ketib selaku katib, kiai lebei sebagai pengumandangn azan, dan kiai modem selaku merbot.

Tidak semua orang diperbolehkan memasuki masjid Semokan. Selain para kiai, para perwakilan masyarakat adat yang akan menyerahkan zakat yang diperbolehkan masuk. Bertelanjang dada dengan berikatkan kepala khas suku Sasak (sapuk). Busana bawahan berupa londong abang (kain merah), dan kain tenun dengan warna dasar merah muda, yang dipadukan dengan lempot (ikat pingang) berupa kain tenun panjang berwarna merah kecoklatan dengan dekorasi geometris berwarna putih kelabu. Mereka bertelanjangn dada dan tidak diperbolehkan mengunakan kain yang dijahit, termasuk celana dalam.

Malam itu, saya beruntung, karena saya ditemani Mahni peranakan Karang Bajo, Kecamatan Bayan. Dengan dia saya berkesempatan untuk mengikuti rangkaian prosesi upacara Idul Fitri, termasuk salah satunya memasuki masjid beleq Semokan.    

Angin malam menghembus dari lereng Gunung Rinjani. Suhu malam itu memang sungguh terasa dingin. Saya mengigil lantaran bertelanjang dada dan cuma mengenakan kain tanpa “pertahanan berlapis di dalamnya”. Setelan ini mengingatkan saya pada busana ihram, busana wajib saat berhaji. Kendati, kedinginan, saya bertahan mengikuti prosesinya, hingga selesai pada dini hari, tanpa masuk angin.

Esok harinya, saya mengikuti perayaan Idul Fitri secara adat. Sama seperti lebaran umumnya, masyarakat adat menegakkan salat Idul Fitri. Namun, imam dan jamaahnya, hannya para kiai adat yang berjumah 44 orang. Warga menyebutnya tradisi ini ngiring sareat lebaran tinggi atau upacara yang mengiringgi dan memperkuat perayaan Idul Fitri. Tujuannya, menciptakan kedamaian antara adat dan agama. Biasanya warga (jamaah) akan menunggu diluar masjid, hingga upacara salat usai. Baru setelah itu mereka akan berjabat tangan dengan para kiai.

Sejatinya perayaan Idul Fitri secara agama telah digelar empat hari sebelum Idul Fitri adat, sehingga masyarakat Adat Bayan salat berjamaah. Uniknya, kedua hari raya itu memiliki waktu penyerahan zakat masing-masing. Seorang tokoh muda Adat Bayan menceritakan pada saya, bahwa perayaan adat adalah penganut adat Wetu Telu sejak berabad-abad lampau.

Mereka menyakini apabila, tradisi turun temurun tidak dilaksanakan, akan menjadi “pemaliq” petaka bagi warga. Lebaran adat ini juga disebut dengan ngiring rebak jungkat yang dalam bahasa Sasak berarti merebahkan tombak. Dari warga saya mengetahui, jungkat atau benda tajam yang sering dimaknai sebagai kebencian. Jadi pada saat itulah kebencian dalam diri direbahkan dan prilaku saling memaafkan ditegakkan.

Perayaan syukuran lebaran adat digelar di kampu, sebuah lokasi yang dibatasi pagar bambu di dusun masing-masing. Kaum pria menyembelih kambing atau ayam, hingga menyiapkan ancak atau anyaman bambu berlapis daun pisang, sebagai tatakan hidangan. Sementara itu, kaum wanita menanak nasi, memasak sayur dan membuat jajanan dengan beras yang wajib dicuci di mata air bersih milik desa.

Acara mencuci ini disebut misoq beras (membasuh pagi), saya mengikuti perempuan yang yang berbaris yang jalan beriringan dengan bakul beras di kepala. Mereka berkain songket, dan selendang, namun tetap mematuhi aturan tanpa pakaian dalam. Sebuah mata air bernama lokoq Masan Segah, menjadi tujuan iringan-iringan itu, jaraknya hampir setengah kilometer dari lokasi syukuran perayaan lebaran adat. Mata air ini memang dikhususkan untuk mencuci beras. Bagi masyarakat Adat Bayan mata air ini merupakan harta karun yang paling berharga peninggalan nenek moyang masyarakat adat atas alasan ini mereka masih melestarikan dan menjaga lingkungan sekitarnya.

Prasyarat untuk mencuci beras adalah perempuan yang tidak dalam masa haid. Selain itu, mereka berpantang untuk berbicara sepanjang jalan, pun tidak boleh menoleh dan memotong jalan barisan. Para pria membawa hidangan dalam ancak ke dalam masjid. Para kiai siap untuk mendoakan ragam hidangan itu. Setelah di doakan, ancak-ancak itu kembali dibawa ke desa. Warga bersama-sama menikmatinya di berugak agung Semokan dan Bayan di kampu dengan cara makan bersama-sama, begibung istilah masyarakat Sasak dan Adat Bayan. Setiap ancak dimakan bersama-sama oleh empat, hingga enam orang.

“Masyarakat percaya kalau menyantap makanan ancak ini, apa yang diinginkan bisa terkabulkan (berhasil). Karena itu setiap tahun ada saja yang datang melaksanakan saur-sesange (membayar nazar),” Tutur Mahni tokoh muda masyarakat Adat Bayan di dusun Karang Bajo, Desa Bayan.

Malam harinya, para kiai berdoa di makam para leluhur disekitar masjid Semokan dan Bayan Beleq. Bersama mereka saya khusyuk dalam doa, hingga lewat tengah malam. Saya kagum denan tradisi lebaran di Bayan. Mereka melestarikan tradisi lebaran adat sekuat mereka mempertahankan tradisi adat Wetu Telu lainnya, semisal maulid adat, juga khitanan dan perkawinan adat. Semua merupakan bentuk penghormatan mereka bagi leluhur. Kekukuhan mereka dalam menggengam adat telah diganjar dengan kelestarian lingkungan. Hutan adat mandala dan bangket Bayan (sawah Bayan), misalnya, tetap utuh dirawat hingga kini.

Mereka menjaga hutan dengan awiq-awiq atau hukum adat, mencakup penggelolaan hutan adat, serta sumber mata air didalamnya. Di sini, tak satu pun warga boleh menebang pohon sembarangan. Bagi yang melanggar akan terkena sanksi adat, bisa berupa denda satu ekor kerbau sampai dikucilkan dan tidak diakui lagi sebagai bagian dari masyarakat Adat Bayan. Dipilih pula pemngku hutan, penjaga pengatur mata air.

Ikhtiar meluruskan stigma

Islam hadir di pulau Lombok sekitar abad ke 17. Kabarnya ajaran ini dibawa oleh wali songo dan berkembang di daerah pesisir Lombok Utara. Salah satu jejak peninggalannya adalah masjid kuno Bayan Beleq. Sang raja bergelar datu Bayan, adalah orang yang pertama kali beragama Islam di Lombok. Diikuti pemangku adat dan masyarakat adat setempat. Meskipun telah mengucap syahadat, masyarakat adat Bayan tetap menganut adat Wetu Telu.

Wetu, berarti perbatasan wilayah, sedangkan Telu berarti tiga. Intinya masyarakat adat diwajibkan menjaga kelestarian dan keseimbangan hidup melalui tiga jalan; memanak (beranak), menteluk (bertelur), dan mentiu (bertumbuh). Adat Wetu Telu sebuah tungku yang memasak ajaran Islam yang masuk, lalu disesuaikan dengan tradisi dan kearifan leluhur. Ada akultrasi yang menarik. Adat ini mengajarkan kita tentang hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesamanya.

Pranata sosialnya berkaitan dengan angka tiga. Mereka menghormati tiga unsur kepemimpinan pertama, pemerintah, kedua, pemuka adat, dan ketiga, pemuka agama. Mereka juga membagi keruangan menjadi tiga kawasan yang harus dijaga kelestariannya, wilayah gunung dan hutan untuk warga kaki lereng Gunung Rinjani, wilayah pertanian untuk warga di dataran tengah, wilayah laut untuk warga pesisir.

Saya menjumpai Raden Sanwinggih salah satu tokoh Adat Bayan Beleq. Dia menceritakan, setiap lebaran Idul Fitri, masyarakat Adat Bayan juga melaksanakan salat Id di masjid umum. Namun, demi alasan pelestarian adat, mereka merayakan lebaran adat. Mereka menolak pencampuradukan agama dengan adat, tuturnya pada waktu saya bertandang ke rumahnya.

“Banyak orang yang salah tangkap tentang Wetu Telu, Bayan,” Kata Raden Swinggih pada saya. Kesalahan utama pemahaman orang luar adalah anggapan bahwa penghayat Wetu Telu, hannya menunaikan salat tiga waktu dalam sehari.

“Banyak orang mengartikan wetu sebagai waktu, padahal bukan itu, itu anggapan yang salah,” Lanjutnya. Wetu Telu itu adalah filosofi dasar orang Bayan, ini pedomana hidup, bukan agama. Agama kami ya Islam, kami muslim, salat kami lima waktu,” Tambahnya menegaskan.

Selama ini, penilaian tentang Wetu Telu membuat stigma pengabungan adat dan agama, yang merugikan komunitas ini. Bukan lantaran tak paham ajaran Islam, melainkan kepercayaan terhadap hal eksoterislah pendorongnya. Di saat agama dirasa kaku, karena batasan halal dan haram, maka adatlah solusinya.

Saya memang ingin berlebaran bersama mereka, merayakan Idul Fitri dengan konsep menyepi. Dan, saya justru merasakan fitrahnya Idul Fitri saat berlebaran adat bersama komunitas masyarakat Adat Bayan.        

 

Ikuti tulisan menarik ahyar ros lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB