Santri, Pemberantasan Korupsi dan Masa Depan Demokrasi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBKorupsi dan biaya demokrasi seolah menjadi lingkaran setan yang tak terputus.
Santri dan komunitas pesantren merupakan akar rumput yang dapat dikatakan mayoritas di republik ini. Di bawah asuhan dan kendali para kyai yang mengasuh pesantrannya, peran santri selalu ditunggu dalam isyu-isyu yang krusial. Termasuk dalam isyu tentang korupsi dan demokrasi murah dan berpihak kepada kepentingan Umat. Peran Kyai dan Santri dalam memberantas korupsi dalam tataran gerakan sosial bukanlah utopis, sebab sudah ada beberapa praktik yang telah dilaksanakan.
Di Situbondo, gerakan santri melawan korupsi bahkan berdampak langsung pada biaya demokrasi yang murah. Gerakan sosial yang mestinya bisa menjadi cetak biru bagi daerah lain yang bisa untuk dilakukan secara terus menerus bukan saja oleh santri tetapi kekuatan sipil terorganisir lain.
Korupsi dan biaya demokrasi seolah menjadi lingkaran setan yang tak terputus. Biaya demokrasi yang mahal terutama dalam kaitan biaya mahar sebagai calon kepala daerah maupun sebagai calon anggota legistlatif menjadi apologi(permafaan) bagi praktik korupsi setelah yang bersangkutan memenangi kontestasi tersebut. Publik bahkan seolah memaklumi kalau pejabat kepala daera, anggota DPRD dan Birokrasi yang korupsi untuk mengembalikan uang mahar.
Sementara maraknya praktik korupsi, ternyata juga menjadi alasan oknum partai dan tim sukses untuk mengenakan biaya operasional yang tinggi dengan alasan akan mudah mencari kembalian dari biaya politik yang mahal. Hal ini membuat keduanya menjadi bersimbiose. Di titik ini, jelas rakyat dan kepentingan umat yang dirugikan.
Peran pesantren, terutama di Jawa Timur sebagai kekuatan sosial alternatif di luar partai politik dan pemerintah, memiliki peran yang signifikan untuk mengubah keadaan tersebut. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah lama ada. Eksistensinya mendahului pendidikan formal dan mengiringi sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara. Dalam Ensiklopedia Islam karangan Harun Nasution disebutkan bahwa asal usul pesantren dimulai dari organisasi tarekat yang dipimpin kiai. Mereka sering tinggal bersama di masjid untuk mempelajari ilmu agama Islam. Lambat laun kegiatan itu berkembang menjadi lembaga pendidikan yang disebut pesantren.
Abdul Ghofur dalam jurnal DIMAS (Volume 16, Mei 2016) menulis bahwa meski telah terjadi perkembangan yang bervariasi, secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai; lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama dan nilai-nilai Islam; lembaga agama yang melakukan kontrol sosial; dan lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial. Pesantren juga dipandang mampu menggerakkan masyarakat dalam melakukan pembinaan lingkungan dan perubahan masyarakat.
Sebagai pemimpin pesantren, kyai memiliki karisma yang luar biasa di mata santri dan masyarakat sekitar. Hal ini merupakan keuntungan besar dalam dunia politik praktis. Dan memang, sebagian kyai memilih terlibat dalam partai politik. Seperti yang terjadi di Situbondo.
Menurut Ra Malung (salah satu Kyai muda di Situbondo), politik dalam konteks pesantren itu sesuatu niscaya. “Jadi ngomong politik dengan santri itu nyaris seperti bunga dengan manisnya,” katanya. Dia menganggap pemisahan dua kutub tersebut merupakan hal yang mustahil. Sebab, jika merujuk sejarah penyebaran Islam, lanjutnya, partisipasi kiai cukup dominan dalam menjawab persoalan-persoalan masyarakat.
Namun, Ra Malung menambahkan bahwa para ulama tidak harus turun langsung dalam struktur pemerintahan. Tetapi mengajukan representasinya. Contohnya, Kiai Fawaid yang mendukung Ismunarso dalam pencalonan bupati. Ketika terpilih dan ternyata orang tersebut tidak menjalankan peran moral, malah melanggar hukum, maka kyai melakukan koreksi keras. Jadi ada tanggung jawab yang dipikul ulama dalam membangun iklim demokrasi.
Mengawal Demokrasi, Menjaga Umat
Pada 2007 terungkap kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Situbondo. Pihak kepolisian telah menetapkan sembilan tersangka atas kasus tersebut, termasuk Ismunarso, Bupati Situbondo yang menjabat kala itu. Namun, pemeriksaan terhadap Ismunarso tidak dapat dilakukan.
Pasalnya, UU tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan izin tertulis dari presiden untuk memeriksa kepala daerah. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lamban merespon. Akhirnya, sejumlah masyarakat Situbondo mulai menyusun gerakan untuk mengawal kasus tersebut.
Seperti yang dilakukan Mashudi dan kawan-kawannya. Mereka mendirikan Aliansi Penyelamat Uang Negara (AMPUN). Aliansi itu terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat dan kelompok santri. Yang belakangan sangat penting karena cukup gigih dalam mengawal kasus. Mashudi mengatakan tradisi patronasi masih kuat di Situbondo. Sehingga mereka mengandalkan dukungan para kyai.
Menurut dia, umumnya kyai tidak terlalu mengikuti perkembangan isu. “Kenapa kyai lebih tahu persoalan masyarakat karena masyarakat itu datang sendiri ke kyai,” ucapnya. Makanya, mereka rutin mendatangi pondok pesantren dan berdiskusi dengan para kyai, terutama mengenai isu korupsi.
Beruntung tokoh-tokoh agama itu menyambut antusias gerakan mereka. Salah satunya ialah Kiai Haji Ahmad Fawaid As’ad, pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Dia adalah merupakan keturunan KHR. As’ad Syamsul Arifin yang belum lama ini diangkat sebagai pahlawan nasional.
Selain memimpin pesantren, Kyai Fawaid juga aktif dalam Partai Persatuan Pembangunan(PPP). Dia juga mendukung Ismunarso saat mencalonkan diri menjadi bupati. Tapi, Kiai Fawaid bukan tipikal pendukung politik yang fanatik. Kata Mashudi, hal itu merupakan komitmennya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
“Memang komitmen Kiai Fawaid terhadap gerakan anti-korupsi itu luar biasa,” kenangnya. Bahkan kiai bersama pengurus AMPUN datang ke Jakarta ketika diputuskan untuk mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus Ismunarso. Sebab, mereka menilai kasus tersebut dibiarkan berlarut di tangan kepolisian. Selain KPK, kiai juga meminta dukungan pada sejumlah tokoh politik nasional seperti Megawati dan Gus Dur.
Namun, KPK tidak langsung mengambil tindakan. Sehingga, pada 28 Oktober 2008 AMPUN memblokade jalur pantai utara (pantura) di Banyuputih. Ribuan santri bergabung dalam aksi tersebut, termasuk Kiai Fawaid. Selama tiga hari
Kasus itu pun telah sampai ke pengadilan. Ismunarso terbukti bersalah atas korupsi yang telah merugikan negara sebesar Rp 43,7 miliar. Karena perbuatannya, hakim memutuskan Ismunarso dihukum sembilan tahun penjara, kasus ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama Kasdagate.
Selain Kiai Fawaid, keteladanan pembangunan demokrasi juga ditularkan oleh Kiai Haji Achmad Sufyan Miftahul Arifin, pendiri Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Dia pun terlibat dalam politik praktis, terutama dalam pilkada Situbondo 2010. Saat itu Kiai Sufyan mendukung calon bupati Dadang Wigiarto. “Di saat kabupaten lain punya asumsi bahwa suara itu identik dengan duit, di sini justru masyarakat nyumbang,” kisah Ra Malung seputar pilkada 2010.
Dia mengatakan hal itu terjadi karena upaya tokoh kultur (kyai) yang mengajarkan kepada masyarakat betapa kedaulatan itu merupakan sebuah anugerah. Sehingga wajib bagi masyarakat untuk mempertahankannya. Caranya adalah dengan memanfaatkan kesempatannya untuk memilih langsung calon pemimpin. Hal itu dianggap akan menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat atas daerahnya. “Beda kalau mentalnya sudah dibeli,” pungkasnya.
Bukan hanya berceramah, Kiai Sufyan juga memberikan keteladanan. Misalnya, beliau menyumbangkan dananya sendiri untuk membiayai kampanye. Langkah tersebut merupakan bagian dari komitmennya demi menghapus politik uang yang lazim dalam pemilihan umum.
Hal itu diakui sendiri oleh Dadang. Menurutnya salah satu alasan Kiai Sufyan memilih dirinya maju sebagai calon bupati karena dia dinilai tidak mempunyai uang untuk membiayai ongkos pilkada. Kekurangan tersebut disulap menjadi keuntungan agar si kandidat tidak mampu untuk mengiming-imingi pemilihnya dengan uang. Kiai juga menolak partai manapun yang memberlakukan mahar bagi kandidatnya. Sebab, praktik semacam itu dianggap sebagai salah satu faktor yang memicu korupsi.
Bahkan
Kiai Sufyan melarang Dadang hadir dalam kampanye kecuali yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum. Kiai malah menyuruhnya berziarah ke makam-makam Aulia dan Solihin. “Meskipun saya tidak hadir di dalam kampanye-kampanye seperti itu bukan berarti sosialisasi yang berhubungan dengan saya tidak jalan,” paparnya.
Semasa kampanye, para kiai yang mendukung Dadang rutin mengadakan shalawat nariyah. Seusai membaca shalawat biasanya kiai memberikan sosialisasi mengenai kandidat dukungannya. Kegiatan itu sekaligus menjadi ajang pencerdasan politik. Hasilnya di luar dugaan, masyarakat bahkan rela menyumbangkan uang untuk kegaitan pilkada.
Dadang mengaku dirinya sampai terharu mendengar hal itu. Dan benar saja, pasangannya menang dalam pilkada 2010, bahkan di pilkada berikutnya yang diselenggarakan pada 2015. Sejak menjadi bupati, Dadang tetap meneruskan tradisi shalawat nariyah. Kegiatan itu pun menjadi kebiasaan bagi masyarakat Situbondo saat ini.
Dadang kagum atas upaya Kiai Sufyan. Dia merasa telah menemukan sosok yang murni berkomitmen untuk kepentingan umat, termasuk ketika berurusan dengan politik praktis. “Enggak ada yang namanya nanti kepentingan minta program, kepentingan pribadi. Itu enggak ada,” katanya.
Seperti Kiai Fawaid, Kiai Sufyan telah wafat pada 2012. Kini Ponpes Mambaul Hikam, Panji Kidul diasuh oleh Kiai Haji Zakki Abdullah. Dia mengaku sempat pesimis dengan politik praktis, apalagi di masa orde baru. Dia bahkan bertanya pada Kiai Sufyan yang terus bergelut dalam PPP. “Kenapa udah tahu seperti ini kok panjenengan masih ngotot,” tanya Kiai Zakki heran karena menilai upaya tersebut akan sia-sia. Dalam benaknya PPP pasti kalah.
Namun bukan persoalan menang atau kalah, jawab Kiai Sufyan. Melainkan sebagai wujud penghormatan terhadap umat Islam. “Kalau enggak saya jaga umat ini, enggak saya temani umat ini, terus politik saya biarkan, orang luar akan gampang masuk bawa ideologi yang aneh-aneh itu,” kenang Kiai Zakki menirukan ucapan ayahnya.
Kiai Zakki akhirnya menyimpulkan bahwa politik praktis hanya merupakan alat. Tapi, baginya, ada yang patut diperhitungkan dari dampak kegiatan tersebut. Misalnya, mengenai pembangunan karakter, kebersamaan dan nilai-nilai demokrasi.
Di samping itu, Kiai Zakki juga mengharapkan sekalipun terlibat dalam politik praktis, pesantren tetap harus mengambil jarak dengan birokrasi. “Saya selalu bilang sama teman-teman, kita ini enggak anti sama pemerintah. Tapi, kalau soal minta sumbangan sama pemerintah, ya berat,” pesannya.
Apa yang terjadi di Situbondo ini menunjukkan betapa ampuhnya peran santri dan pesantren dalam memutus rantai lingkaran setan korupsi dan demokrasi berbiaya tinggi. Inspirasi yang terjadi di Situbondo ini bisa diserap oleh kelompok masyarakat sipil di mana pun, baik berbasis pesantran atau pun bukan untuk bisa mengkonsolidasi gerakan anti korupsi yang berdampak pada demokrasi berbiaya rendah.
Kyai yang mempunyai modal sosial dan menjadi panutan ummat bisa dilibatkan oleh aktivis anti korupsi, demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan isu sosial lainnya untuk membangun satu peta jalan (road map) dalam mengawal kebijakan pemerintah baik di level nasional maupun daerah. Sinergi gerakan ini sebagai salah satu momentum untuk memperkuat gerakan masyarakat sipil yang mengalami kebuntuan dalam mendobrak sistem ekonomi, hukum, dan politik yang korup.
Dengan demikian, ini menjadi peluang bagi para aktivis dan pegiat sosial untuk tidak hanya melibatkan kelompok-kelompok warga, akan tetapi penting pula untuk melibatkan para kiai dan pesantren-nya dalam mempercepat rencana aksi gerakan.
Sebaliknya ini pula menjadi tantangan bagi para kiai sebagai salah satu tulang punggung gerakan masyarakat sipil di Indonesia, untuk tidak menjadi bagian dari perilaku politik koruptif yang tidak membebaskan bagi ummat-nya.
Gerakan Situbondo ini sendiri di kalangan internal pesantren sudah berdampak. Bahkan, Dalam Halaqah Pesantran tahun 2015 secara khusus mengangkat tema Pesantren dan Pemberantasan Korupsi. Acara yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dengan peserta para pengasuh pondok pesantren –Kiai– se Jawa Timur membangkitkan rasa optimisme bagi gerakan masyarakat sipil di Indonesia bahwa para kiai masih tetap mengambil bagian dalam mengawal konslidasi demokrasi di daerah maupun nasional. Dalam acara tersebut dihadiri oleh KH. Sholahudin Wahid, Johan Budi SP (Plt. Pimpinan KPK), Bambang Widjojanto (Pimpinan KPK Non Aktif), Jimly Assidiqie (Tim 9), Robithoh Ma’had Islamiyah (RMI Jawa Timur), dan Pimpinan Pondok Pesentren di Jawa Timur
Ada lima catatan hasil Halaqoh Kebangsaan di Tebuireng tersebut yang patut untuk dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintah dan juga komunitas masyarakat sipil dan madani. Pertama, seluruh penyelenggara negara di semua tingkatan harus menunjukkan komitmennya sebagai pelopor pemberantasan korupsi. Kedua, presiden harus bersikap tegas dalam penanganan urusan korupsi dengan melakukan upaya-upaya politik nyata yang mengarah pada penyamaan persepsi dan penguatan institusi-institusi hukum seperti Polri, KPK, MA, Kejaksaan, dan penegak hukum lain-nya. Ketiga, presiden harus menolak segala bentuk intervensi politik pihak manapun yang mengarah pada pelemahan dan kriminalisasi (mencari-cari kesalahan) terhadap lembaga maupun pegiat anti korupsi yang berpihak dan memperhatikan aspirasi rakyat. Keempat, mengusulkan hukuman seberat-beratnya, pemiskinan, sanksi sosial bagi koruptor serta menolak pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi mereka. Kelima, mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan lembaga anti korupsi. Lima poin hasil Halaqoh di atas, yang telah dirumuskan oleh para kiai, tentu tidak berangkat dari realitas sosial yang semu. Rumusan rekomendasi di atas muncul atas dasar bahwa oligarki politik dan ekonomi tengah menguat dan memperluas dominasi baik di level daerah maupun nasional. Akibatnya, ummat tidak menjadi prioritas dalam menentukan kebijakan dan hukum hanya menjadi alat untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. ***
Kredit foto: santrimuda.id
Penulis :
Ardhian Sumadhijo S.H
Wakil Ketua Umum, Dewan Pimpinan Nasional Rumah Gerakan 98,
Koordinator Senat Mahasiswa Se-Surabaya, 1997-1999
Ketua
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Santri, Pemberantasan Korupsi dan Masa Depan Demokrasi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler