x

Iklan

Maria Rita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Derita Puti, Tragedi Kemanusiaan Suku Korowai, Papua

Kisah balita Puti Hatil, suku Korowai, Papua yang pipi kanannya berlubang besar karena komplikasi penyakit akut dan perjuangan ayahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Untuk ketiga kali, saya menginjakkan kaki di Papua pada pertengahan Oktober lalu. Saya mendapat kesempatan membagikan pengalaman saya sebagai jurnalis kepada anak-anak muda Papua yang asalnya dari pedalaman Papua. 

Dari mereka saya mendengarkan informasi yang sedang diperbincangkan masyarakat Papua, yakni tentang  seorang anak usia 3 tahun bernama Puti Hatil yang menderita komplikasi penyakit kekurangan gizi akut, malaria, dan diare dan mungkin ada penyakit lain yang bercokol di tubuhnya yang lemah.

Saya tertegun menyaksikan foto Puti yang ditunjukkan mereka, adik-adik peserta pelatihan. Lubang menganga di pipi kiri Puti. Dia meringis menahan sakit dan tatapan kedua matanya tak berdaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Bagaimana saya bisa melihat Puti?" tanya saya. Betapa saya terharu ketika seorang peserta pelatihan ternyata salah satu sosok yang ikut membantu menyelamatkan nyawa Puti. "Puti sekarang dirawat di Rumah Sakit Dian Harapan, kakak. Saya antar Kakak ke sana," kata Soleman, seorang mahasiswa di satu perguruan tinggi di Jayapura yang saya sapa Sole.

Puti ternyata sudah menjadi bahan perbincangan masyarakat Papua seminggu terakhir dan dimuat di media lokal yang menjadi referensi saya mengenai isu-isu Papua, Tabloid Jubi. 

Kisah penderitaan Puti, balita suku Korowai yang kulitnya keriput dan dua bola matanya yang besar nyaris tak muncul di media-media di Jakarta, cetak maupun online. Saya tak terkejut karena memang sudah jadi pertanyaan lama saya betapa media di Jakarta tidak punya agenda setting yang jelas tentang Papua. 

"Hi Puti sayang, apa kabar?" ucapku bersama beberapa teman yang menemuinya di ruang perawatan khusus anak VIP, RS. Dian Harapan, Senin, 23 Oktober 2017. 

Puti yang baru keluar dari kamar toilet dibantu kakaknya, Thomas yang membawa botol infus dan perlahan-lahan dinaikkan ke tempat tidurnya. Puti seperti keheranan menyaksikan kami datang. Mungkin dia berpikir kenapa tidak ada anak-anak seusianya yang datang? Kenapa orang-orang dewasa?

Ah, Puti terlalu kecil memahami jawabannya. Saya hanya membisikkan kepadanya saya bersyukur bisa menemuinya dan menyaksikan langsung wajahnya yang polos tanpa dosa. Beberapa saat Puti tidak menunjukkan emosinya. Hanya kedua bola matanya mengikuti pergerakan kami. 

Seorang teman memainkan boneka Sinterklaus, mungkin hadiah pengunjung, Puti baru tersenyum. Indah sekali, terharu sekali. Tangan kanannya yang dibalut perban untuk menahan jarum infus mulai bergerak sedikit. Senyumnya tanpa suara.

Perban putih di pipi kanannya menutup luka. Puti hari itu mestinya menjalani operasi untuk menutup luka menganga di pipinya. Namun operasi ditunda karena tekanan darah Puti lemah. 

Ibu Puti memangku adiknya. Dia hanya tersenyum kepada kami. "Ibu tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali, namun dia paham maksudnya," kata Sole dan mendapat anggukan Thomas, anak sulungnya.

Ayahnya sedang keluar ruangan, kami tidak bertemu dengannya hingga kami pulang. Daniel Hatil, ayah Puti, berjuang menyelamatkan putranya dengan berjalan kaki dengan menggendong Puti selama 10 jam dari rumahnya di Kampung Afimabul, Korowai ke rumah Pendeta Trevor di Danowage. 

Daniel berjalan ke Danowage didampingi Dakinus Wanimbo, penginjil yang telah banyak membantu warga Korowai untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pendeta Trevor, warga Amerika yang sudah menghabiskan hidupnya selama 10 tahun di pedalaman Korowai. Ia bersama istrinya bahu membahu menyelamatkan kehidupan suku mungkin paling tak diperhatikan di Papua. Tak ada unsur negara hadir di sana. 

Daniel memilh menembus hutan belantara demi nyawa anaknya tercinta. Dan ini pertama kali ia keluar dari kampungnya, melihat dunia luar. Pendeta Trevor pun membawa Puti ke Jayapura dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Dian Harapan.

Penderitaan Puti merupakan puncak dari gunung es untuk masyarakat Korowai. Begitu banyak anak Korowai yang sangat menderita hidup di rumah-rumah tradisional mereka, di atas pohon-pohon. 

Dalam benak saya muncul rasa bersalah karena tidak bisa membantu penderitaan anak-anak itu dengan segera, setidaknya memberitakannya sejak dulu. Sehingga setidaknya ada harapan ada pengambil keputusan di Papua dan Jakarta membacanya lalu bergerak cepat. 

Namun, benak saya juga bertanya-tanya kenapa pemerintah, baik pemerintah kabupaten maupun provinsi Papua, tidak mengayomi warganya sekalipun hidup sangat terpencil. Apa salah mereka, sehingga keberadaan dan kehadiran mereka diabaikan? 

Sungguh tak bisa diterima akal sehat tragedi yang dialami Puti dan anak-anak serta penduduk suku Korowai. Sedemikian parah perlindungan terhadap mereka sehingga jatuh korban seorang balita bernama Puti. 

Saya hanya menghibur diri mengingat nasehat "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Saya tidak tahu kebijakan apa yang dilakukan pemerintah kabupaten maupun provinsi terhadap Puti dan seluruh penduduk Korowai.

Saya hanya berharap ada upaya yang segera dan berlanjut tanpa henti untuk segera menyelamatkan nyawa dan jiwa penduduk Korowai. Memanusiakan mereka tanpa memaksa mereka mengikuti cara hidup maupun perspektif kita tentang peradaban modern. Adalah hak mereka untuk mendapatkan  pelayanan kesehatan, pendidikan, dan rasa aman setara dengan seluruh warga Indonesia. 

Dan, kepada mereka yang terpanggil dan peduli dengan isu kemanusiaan, saya harap segeralah bergegas menyelamatkan hidup penduduk Korowai. Jangan tunda, bergandengan tangan menyelamatkan kehidupan mereka yang diasingkan dan diabaikan selama berpuluh tahun lamanya. Tentunya usaha ini tanpa melupakan daerah-daerah lain yang juga sangat menyedihkan situasinya di Papua. Kita sanggup bergandengan tangan dan bersatu padu tanpa peduli identitas suku, agama, ras, golongan, maupun level sosial-ekonomi.

May God bless us. Amin. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Maria Rita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB