Para Pahlawan Adalah 'Mujahid'
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPara pahlawan adalah pribadi-pribadi yang memiliki jiwa tulus, ikhlas dan penuh kejujuran memberikan kemanfaatan kepada banyak orang,
Siapa bilang yang selalu disebut sebagai pahlawan adalah mereka yang sudah mati? Pahlawan itu “hidup” sampai kapanpun, karena tak pernah ada istilah mati bagi pahlawan. Mereka telah memberikan jasa dan manfaat besar dalam seluruh kehidupan manusia, sehingga seakan-akan mereka tetap hidup dan tak pernah mati. Bung Karno, Bung Hatta, KH Hasyim Asy’ari, KH Wachid Hasyim, WR Supratman, RA Kartini, dan beberapa nama lain lebih dari ratusan orang yang disebut pahlawan selalu abadi dalam benak seluruh rakyat Indonesia. Mereka tidak sekadar diabadikan menjadi nama jalan protokol di berbagai penjuru negeri ini, tetapi lebih dari itu, bahkan foto-foto mereka-pun masih tetap diminati masyarakat dan tak jarang menjadi simbol penarik massa untuk beragam kepentingan.
Para pahlawan adalah pribadi-pribadi yang memiliki jiwa tulus, ikhlas dan penuh kejujuran memberikan kemanfaatan kepada banyak orang, justru setelah mereka secara fisik tak lagi hadir bersama-sama kita saat ini. Memang, secara fisik mereka “tak hadir”, tetapi dalam dunia metafisik mereka hidup dan tetap masih memberikan kemanfaatan kepada generasi berikutnya. “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki” (QS. Al-An’am: 196). Dalam ajaran Islam, mereka yang telah gugur dengan memperjuangkan kebenaran, disebut sebagai para “mujahid” yang tetap hidup, dan bahkan “menghidupi” orang lain melalui rezeki yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka.
Pahlawan, bagi saya adalah para “mujahid” yang senantiasa membela dan menegakkan kebenaran yang tak perlu sanjungan, bahkan pujaan yang saat ini selalu disimbolkan oleh para pecundang yang sok menjadi pahlawan. Jika para pahlawan rela gugur demi memperjuangkan kebenaran, maka para pecundang seringkali bermain “playing victim” dimana seakan-akan mereka ingin disebut “pahlawan” tetapi untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Para pecundang selalu berlindung dibalik “jubah kebenaran” mereka sendiri, demi segelintir nafsu kekuasaan yang mereka ciptakan demi memenuhi kepentingannya. Para pahlawan sadar yang mereka perjuangkan, kebenaran bersama, bukan kebenaran sektarian yang hanya diperjuangkan demi kepentingan politiknya.
Sejauh ini, para pahlawan selalu dikonotasikan kepada mereka para pejuang yang gagah berani menegakkan kebenaran, membela nusa dan bangsa yang telah gugur di medan pertempuran. Padahal, mereka yang telah gugur, tidak dalam medan pertempuran tetapi memberikan kemanfaatan kepada khalayak, sudah seharusnya disebut pahlawan. Pahlawan jelas bukan para pecundang, tetapi mereka yang bersikap tulus ikhlas memperjuangkan bangsa dan negaranya. Pahlawan—kata Jenderal Gatot—tak pernah mempertanyakan agamamu apa, warna rambutmu apa, warna kulitmu apa, dan sukumu apa (detik.com, 10/11/2017).
Menarik ketika membaca pesan Nabi Muhammad, “Sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan manfaat kepada yang lainnya” (khairunnaas ‘anfa’uhum linnaas). Pahlawan pasti memberikan manfaat yang tak pernah habis kemanfataannya, walaupun mereka tak mampu hadir mewujud dalam bentuk fisiknya. Maka, dalam pandangan fiksi Barat, pahlawan dipersonifikasikan dalam wujud “super hero” yang senantiasa membela kebenaran, menolong kelompok lemah, dan tentu saja selalu mendatangkan kemanfaatan bagi sesamanya. Super hero bahkan digambarkan tak pernah mati, hidup dalam keabadian demi memberikan kemanfaatan.
Jika manusia terbaik adalah yang mampu memberikan kemanfaatan kepada khalayak, maka berlomba-lombalah menjadi “pahlawan”, karena kebaikan itu harus dilombakan bukan untuk dimusuhi terlebih ditanggalkan. “Fastabiqul khairat” atau “berlomba-lombalah dalam hal kebajikan” (QS. Al-Baqarah: 148). Kebajikan jelas menebar manfaat, bukan menebar kebencian, menyemai kedamaian bukan memicu perselisihan atau permusuhan, inilah sesungguhnya makna kepahlawanan yang siapa saja bisa mendapatkannya. Keterbatasan ruang dan waktu yang memenjarakan manusia, tidaklah menjadi alasan bagi terkuncinya ruang kepahlawanan, karena menjadi pahlawan adalah bagaimana “menghidupkan” seluruh potensi yang bermanfaat dalam diri kita untuk orang lain, sehingga kematian dalam arti fisik tak akan serta merta “mematikan” kemanfaatan tersebut.
Seharusnya kita-pun tak perlu mempersoalkan, bahwa seseorang perlu atau tidak dinobatkan sebagai pahlawan, karena kemanfaatan akan tetap dirasakan, tanpa atau dengan seseorang itu dinobatkan menjadi pahlawan. Pahlawan sejati, jelas tak butuh sanjungan atau pujian orang lain, karena seluruh apa yang mereka persembahkan semata-mata demi kemajuan bangsa dan negara ini, tak ada kepentingan apapun dalam benak setiap garis perjuangan mereka. Oleh karena itu, pantas Tuhan memberikan gelar “mujahid” kepada mereka, karena makna “jihad” adalah “kesungguhan atau keteguhan hati seseorang yang bersungguh-sungguh mencurahkan segala kemampuan mereka” demi sesuatu yang dapat bermanfaat untuk umat.
Maka, sudah sepatutnya kita bangga, menjunjung tinggi dan menghormati setiap “ijtihad” mereka demi memperjuangkan kebenaran yang disepakati secara bersama-sama. Bagi saya, tak ada istilah “pahlawan kafir” yang pernah diperdebatkan hanya karena foto mereka tertempel pada uang pecahan rupiah. Pahlawan adalah “mujahid” yang gugur demi memperjuangkan kebenaran dan kemanfaatan yang tak pernah lekang dimakan zaman, atau lapuk dilindas waktu. Tuhan jelas akan menghargai setiap kebaikan walaupun hanya sekecil atom (wa man ya’mal mitsqala dzarrotin khairon yarohu), sebaliknya perbuatan buruk sekecil apapun, suatu saat seseorang akan mendapatkan balasan yang serupa (wa man ya’mal mitsqola dzarratin syarron yarohu)—lihat QS Al-Zalzalah, ayat 7 dan 8.
Menjadi pahlawan adalah menjadi pribadi yang bermanfaat untuk orang lain, sehingga kepahlawanan akan tetap hidup sampai kapanpun, karena setiap kemanfaatan akan selalu dirasakan oleh setiap generasi ke generasi. Tuhan-pun memberikan gelar kepada mereka sebagai para “mujahid” yang tak pernah “mati” dan selalu menurunkan rezeki kepada manusia lainnya yang masih hidup. Maka, benar ketika Nabi Muhammad besabda, “manusia jika mati terputus seluruh amalnya, kecuali tiga hal: kebaikan yang tak terputus, ilmu yang bermanfaat (kebajikan dan kemanfaatan), serta anak keturunan mereka yang selalu mendoakaannya”. Kepahlawanan pasti tak pernah mati, ia senantiasa “hidup” dan “menghidupi” karena kemanfataan yang begitu besar untuk orang lain dan lingkungannya.
Menulis, Mengajar dan Mengaji
0 Pengikut
Ramai Makelar Doa di Tengah Politisasi Ulama
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBagimu Capresmu, Bagiku Capresku, Baginya Golputnya
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler