x

Iklan

maulidiana silmi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menelisik Mazhab Mainstream dalam Ekonomi Islam

artikel ini membahas tentang mazhab mainstream dan juga tooh tokohnya dalam ekonomi islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Madzhab Mainstream berbeda pendapat dengan madzhab Bagir. Madzhab ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik equilibrium. Namun, jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang sering terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh, misalnya, tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi, keterbatasan sumber daya memang ada, dan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai adalah QS. al-Baqarah (2) ayat 155: “Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.” Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dengan merujuk kepada Firman Allah swt surat al-Takatsur (102) ayat 1-5 “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”Dengan demikian, pandangan madzhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi.

Bila demikian, di manakah letak perbedaan madzhab Mainstream ini dengan ekonomi konvensional? Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya. Kemudian manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai kepada yang paling tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Hal demikian dalam bahasa al-Qur’an disebut: “pilihan dilakukan dengan mempertaruhkan hawa nafsunya”.

Tetapi dalam ekonomi Islam, keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Prilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya – termasuk ekonomi – selalu dipandu oleh Allah lewat al-Qur’an dan alSunnah.27 Di antara tokoh mazhab ini adalah M. Umer Chapra, yang mengatakan bahwa usaha mengembangkan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir. Mengadopsi hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan oleh bangsa dan budaya nonIslam sama sekali tidak dilarang oleh agama. Nabi bersabda bahwa hikmah/ilmu itu bagi umat Islam adalah ibarat barang yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka umat Muslimlah yang paling berhak mengambilnya. Catatan sejarah umat Muslim memperkuat hal ini, para ulama dan ilmuwan Muslim banyak mengadopsi dari peradaban lain seperti Yunani, India, Persia, Cina dan lain-lain. Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi transformasi ilmu dengan diterangi cahaya Islam meminjam istilah Naquib Al-Attas, Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Muhammad Abdul Mannan merupakan salah satu sosok pemikir ekonomi islam kontemporer. Mendapat gelar Master dan Doktornya di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Ia merupakan salah satu pengajar dan peneliti di universitas-universitas dunia termasuk Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Sososk Doktor Universitas Michigan ini mengartikan hakikat dan lingkup ilmu ekonomi islam dan memberikan analisis perbandingan dengan ilmu ekonomi sekuler yang diilhami oleh nilai-nilai islam. Pada dasarnya adalah sosok neo-klasik , pencerminan dari output pendidikan ekonomi konvensional yang ia terima. Mannan memilih metode elektik dalam pandangannya, dan bahkan “meminjam” gagasan dari mazhab-mazhab di dalam tradisi ekonomi barat yang lebih radikal dan terisolasi. Berbeda dengan pakar ekonomi islam lainnya, seperti Siddiqi dan Kahf yang terlihat lebih suka menggabungkan fiqih dengan pendekatan neo-klasik.

Pendekatan neo-klasik berbasis fiqih dapat digolongkan sebagai aliran mainstream dalam pemikiran ekonomi islam. Sentra pendekatan aksiomatik naqvi versus mannan, adalag pendekatan yang lebih inovatif bahkan cenderung radikal. Mannan dengan ulasan sopan tapi keras, mengkritik segala usaha untuk membersihkan kapitalisme dan ekonomi neo-klasik dengan cara yang bersifat kosmetik den dengan cara keras pula ia membela peranan pemerintah dalam perekonomian. Selanjutnya Mannan menegaskan ekonomi islam modern, Profesor Robbins dalam Halim menyatakan, ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Maka tidak diragukan lagi bahwa ilmu ekonomi islam adalah bagian dari sosiologi, tetapi ilmu pengetahuan sosial dalam arti yang terbatas. Karena dalam hal ini kita tidak mempelajari setipa individu dalam masyarakat.

Ilmu ekonomi islam adalah ilmu tentang manusia, bukan sebagai individu terisolasi, tetapi mengenai individu sosiao yang meyakini nilai-nilai hidup islam. Perbandingan ekonomi islam dan ekonomi modern dalam pandangan Abdul Mannan dapat dilihat pada beberapa komponen dasar ekonomi. Diantaranya yaitu :

  1. Konsumsi dan perilaku konsumen. Mannan melihat konsep pola konsumsi dalam islam ialah tugas utama ekonomi islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya kearah distribui yang lebih adil. Meliputi prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurah hati dan prinsip moralitas.
  2. Produksi dan konsep kepemilikan. Mannan menyatakan bahwa system produksi dalam suatu negara harus berpijak pada kriteria subyektif dan obyektif. Kriteria obyektif dapat diukur melalui kesejahteraan materi dan kriteria subyektif dapat diukur melalui kesejahteraan eonomi ddapat dicapai berdasarkan syariah islam. Pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di bumi dan langit adalah Allah.
  3. Distribusi pendapatan dan kekayaan dalam islam. Yaitu pembayaran sewa, tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat islam.

Semua pandangan ini masih harus dikaji ulang walaupun Mannan telah menyebutkan sejumlah ciri khusus system ekonomi islam, tetapi masih banyak tersedia ruang dan celah untuk menelaah lenih jauh.

 

 

Refrensi :

Abdurahman. 2010. Ekonomi Al Ghazali Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’ Ulum al-Din. Surabaya: Bina Ilmu.

Sadr, Muhammad Bagir al-. 1989. Islam dan Madzhab Ekonomi. Jakarta: Penerbit YAPI.

Nawawi, Ismail. 2001. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Surabaya: ITS Press.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=279897&val=7086&title=Mapping%20Pemikiran%20Akademisi%20dalam%20Madzhab%20Ekonomi%20Islam%20Kontemporer

http://oaji.net/articles/2015/1163-1425031744.pdf

 

Ikuti tulisan menarik maulidiana silmi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu