x

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melakukan aksi unjuk rasa membawa poster bergambar Ketua DPR Setya Novanto, di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 14 September 2017. TEMPOImam Sukamto

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Drama Koruptor: Menyoal 'Tiang Listrik' Setya Novanto

Antara istilah “tiang Monas” dan “tiang listrik” seperti menjadi “kata keramat” yang digulirkan banyak pihak—terutama para netizen

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengikuti drama penangkapan seorang ketua umum partai politik (parpol), memang selalu menarik perhatian. Bukan kali ini saja, drama kasus korupsi yang disangkakan kepada petinggi parpol bukan hanya menimpa Ketua Umum Golkar Setya Novanto (Setnov) saja, sebelumnya pernah ada LHI (Presiden PKS), SDA (Ketua Umum PPP), dan AU (Ketua Umum Demokrat). Ketiganya memiliki sejarah “dramatik” sendiri-sendiri dan yang paling dramatis soal penangkapan ketua umum menimpa Ketua Umum Golkar, Setnov. Barangkali yang paling heboh soal drama penangkapan oleh KPK adalah pada kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setnov, karena sebelum tertangkap, dirinya justru terlebih dahulu mengalami kecelakaan karena menabrak tiang listrik.

Kasus korupsi yang pernah disangkakan kepada Anas Urbaningrum juga hampir mirip, karena sebelum ditangkap KPK, Anas sesumbar tidak melakukan korupsi dan jika terbukti dirinya siap digantung di tiang Monas. Kemiripan lainnya barangkali soal hari, karena Anas resmi ditahan KPK pada hari Jumat (10/1/2014) dan saya meyakini, status Setnov juga tak jauh berbeda, pada hari Jumat (17/11/2017) menjadi “hari keramat” bagi dirinya untuk segera digelandang ke markas “Merah Putih” KPK di Kuningan, Jakarta. Hari Jumat memang hari istimewa, karena hari ini dalam tradisi Islam merupakan “hari baik” untuk melakukan banyak hal, termasuk jika memang harus menahan seseorang karena terkait masalah hukum.

Antara istilah “tiang Monas” dan “tiang listrik” seperti menjadi “kata keramat” yang digulirkan banyak pihak—terutama para netizen—yang kemudian membuat “meme-meme” lucu yang semakin viral. Dulu, tiang Monas menjadi sangat populer dikalangan netizen, setelah Anas sesumbar rela dirinya digantung jika satu rupiah saja melakukan korupsi. Hari ini, istilah “tiang Monas” diganti oleh “tiang listrik” yang begitu populer menyerbu ranah media sosial (medsos) akibat kecelakaan yang konon menimpa Setnov karena mobil yang dikendarainya menabrak tiang listrik. Banyak pihak yang menyangsikan sandiwara yang sedang dijalani Setnov ini, mengingat justru tiang listrik yang “dituduh” sebagai penghambat penangkapan Setnov oleh KPK, tak mengalami kerusakan berarti. Pun, ketika Anas menyoal tiang Monas, hingga detik ini tiang kebanggaan rakyat Indonesia itu tetap kokoh berdiri dan dikunjungi ratusan orang setiap pekannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi saya, berbagai kasus korupsi yang menyeret nama-nama besar pemimpin parpol, seringkali kemudian dihubungkan dengan istilah-istilah tertentu yang tiba-tiba menjadi sangat populer. Sebut saja istilah “liqo” dan “juz” yang populer di ranah medsos karena diungkapkan oleh salah satu petinggi parpol yang terjerat kasus korupsi. Belum lagi istilah “apel washington” atau “apel malang” yang terungkap disebut oleh juga para petinggi parpol di DPR yang kemudian terseret kasus korupsi. Istilah-istilah ini tentu saja sebagai bentuk “pengkaburan” bahasa karena diharapkan dapat bebas dari jeratan korupsi, walaupun ternyata tidak juga. Mungkin sebagai bentuk dari euphimisme kebahasaan, juga diungkap oleh AU agar terhindar dari jeratan korupsi yang bersedia menggunakan tiang Monas untuk menggantung dirinya jika terbukti melakukan korupsi.

Drama penangkapan Setnov oleh KPK juga terkesan demikian, istilah “papa sakit” yang sempat tren di medsos yang sukses dijadikan meme-meme politik, kini mulai “bertaji” dengan memperkuat kesan “papa sakit parah” karena menabrak “tiang listrik”. Meme-meme seputar “sakitnya papa” yang dihubungkan dengan “tiang listrik” kian populer di tengah publik, bahkan beberapa media mainstream mengangkat tema “tiang listrik” yang dihubungkan dengan sakitnya Setnov tampak menjadi informasi yang membanjiri ranah publik. Memang ada-ada saja bentuk “perlawanan” para koruptor ini, selain mengungkapkan bahasa-bahasa euphimisme, mereka mencoba mengaburkan banyak istilah lain agar publik juga lupa dengan kasus korupsi yang menimpanya.

Berbicara soal korupsi, ada penelitian menarik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang beberapa waktu lalu telah dirilis ke publik. Korupsi memang sangat memprihatinkan di negeri ini, bahkan praktik ini dianggap “wajar” oleh sebagian masyarakat. LSI menyebut, 30,4% masyarakat berpendapat bahwa pemberian hadiah/gratifikasi untuk memperlancar urusan ketika berhubungan dengan instansi pemerintah merupakan hal yang wajar (rilis LSI tentang Korupsi, Religiusitas, dan Intoleransi 2017). Angka 30 persen saya kira menunjukkan hampir sepertiga masyarakat Indonesia menganggap korupsi adalah lumrah, demi kelancaran segala urusan yang sedang dihadapi mereka, terkait dengan kegiatan birokrasi di pemerintahan. Inilah kemudian kenapa, praktik ini memang lumrah terjadi, ketika para pemenang tender kemudian berkolusi dengan aparat agar segala urusannya lancar tanpa hambatan.

Hampir seluruh kasus korupsi yang terungkap KPK, tak lain selalu ada praktik “kongkalikong” antara pejabat, politisi dan pengusaha yang sama-sama mencari “kenyamanan” dan keuntungan. Kasus yang menimpa Setnov, bisa jadi mirip dengan kasus yang menimpa Anas, karena sama-sama berpotensi kerugian negara triliunan rupiah, sama-sama melibatkan ketua umum parpol, dan aparat pemerintahan yang diuntungkan oleh proyek-proyek bernilai besar ini. Kemiripan lain adalah sama-sama “berkelit” dengan terlebih dahulu mempromosikan istilah kebahasaan untuk “menggiring” publik tak lagi menyematkan kata “koruptor” terhadapnya, tetapi lebih dikenal dengan istilah-istilah lainnya yang lebih “euphimistik”.

Namun demikian, sebagai masyarakat yang agamis, sudah tentu kita dituntut untuk dapat lebih objektif dalam menilai orang lain, berdasarkan sikap dan nilai-nilai moralitas yang dianut. Kita sudah berada dalam era pasca-kebenaran, karena fakta emosional lebih banyak mendorong seseorang untuk melakukan penilaian kepada pihak lain daripada fakta objektif yang dilihatnya. Biarlah Anas dengan “tiang Monas”nya dan Setnov dengan “tiang listrik”nya, toh pada akhirnya mereka mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dihadapan hukum. Walaupun kita seringkali disuguhi soal “dagelan politik”, namun cara pandang kita haruslah tetap objektif. Jangan sampai Setnov kemudian “bermubahalah” seperti yang dilakukan Buni Yani karena mempertahankan “kesalahannya”, mari kita doakan dan jangan saling melaknat, karena itulah nilai-nilai abadi yang senantiasa disemai dalam pribadi bangsa ini.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu