x

Iklan

tony rosyid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merajut "Koalisi Kebangsaan" Bukan "Kebangsatan"

politik, 2017

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Oleh umumnya kaum Nahdliyin, PKS dapat julukan "kaum takfiri" dan "wahabi". Tak jelas sanad dan asal usul istilah ini. Tapi PKB, partai orang Nahdliyin, justru di sejumlah daerah berkoalisi dengan partai kader ini. Begitu juga PAN, partai yang merepresentasikan warga Muhammadiyah ini sering berkoalisi dengan PKB-nya kaum Nahdliyin. Padahal, grassroot Muhammadiyah-NU susah menyatu. Apakah koalisi ini dibuat karena alasan agama? Jawabnya: pasti tidak. Sejumlah tokoh NU justru lebih lancar berkomunikasi dengan mereka yang beda agama dari pada dengan tokoh PKS dan ulama Muhammadiyah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Koalisi parpol tidak ada urusan dengan platform, ideologi, apalagi agama. Ini murni soal politik. Politik adalah praktek pertukaran kepentingan. "Do ut des", aku memberi agar kamu memberi.

Bukankah saat kampanye sejumlah politisi menggunakan ayat suci dan dalil agama? Itu iklan. Seperti tayangan di tv, numpang lewat dan hanya sesaat. Lebih lama program tayang sinetron. Apakah para politisi itu aktor sinetron? Mirip.

Di pilgub DKI PPP dukung Ahok, seorang Kristiani yang divonis sebagai penoda agama. Berkoalisi dengan PDIP sebagai pengusung utamanya. Platform jelas berbeda, tapi keduanya bisa bersama-sama. Sementara konstituen PPP ikut demo: menuntut Ahok dipenjara. Aneh dan lucu bukan?

Setiap wilayah, anggota koalisi selalu berbeda-beda. Di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Papua dan tempat lainnya berbeda. Ini terjadi di setiap musim pilkada dan juga pilpres. Siklus lima tahunan menjadi arena adu cerdas partai untuk "otak atik asal gatuk" koalisi.

Mengapa ini terjadi? Pertama, partai politik tidak memiliki platform perjuangan yang tegas. Sebuah platform pembeda dari partai yang lain. Faktor ini yang membuat setiap partai nyaris tak punya karakter. Publik hanya mengenal style dan branding politiknya. Itupun tidak pernah konsisten.

Kedua, miskin kader dan biaya. Celah ini kemudian dimanfaatkan pihak ketiga, baik itu kandidat atau para bohir, untuk membeli kursi dalam setiap pilkada. Orang sering menyebutnya "mahar". Apalagi bila jumlah kursi partai itu kecil, harga diobral. Koalisi dengan siapa saja jadi. Dalam situasi seperti ini, bukan lagi partai sebagai penentu koalisi, tapi kandidat, atau bohirnya kandidat.

Ketiga, tak ada tradisi sebagai oposisi, terutama di daerah. Hal ini beralasan karena jadi opisisi itu menyakitkan: tak dapat jatah dan bagian. 5 tahun terlalu lama untuk berpuasa. Sementara partai butuh dana konsolidasi dan kegiatan.

Koalisi antar partai seperti bunglon, menyesuaikan situasi dan keadaan. Longgar, fleksibel, dan mengikuti irama mana yang cocok dengan kepentingan. Di sinilah nilai dan platform menjadi asesoris dan pajangan. Ketika dipertanyakan, jawabnya: "dharurat". Lalu sampai kapan istilah "dharurat" ini menjadi alasan? "Klise".

Pola koalisi partai selama ini menunjukkan: pertama, main-main soal ideologi, platform, prinsip dan nilai-nilai kepartaian. *Kedua,*abai terhadap konstituen. Banyak konstituen fanatik di setiap partai. Mereka yang "die heart" kepada partai, karena alasan ideologis atau psikologis. Faktor yang membuat konstituen mengapa pilih partai ini dan bukan partai itu. Hanya sebagian kecil yang punya alasan sosiologis dan rasional. Perasaan dan rasio mereka sering sekali terabaikan. *Ketiga,*tak peduli kepada nasib dan kepentingan bangsa. Koruptor dan preman, asal punya uang dan bisa menang, koalisi dapat disajikan. Kapasitas dan integritas nomor sekian.

Koalisi partai-partai ini bersifat temporer, lokal dan pragmatis. Koalisi dibuat untuk memenuhi hasrat dan kepentingan sesaat. Di tempat dan lain waktu mereka berbeda formasi. Semua seolah terlupakan.

Di pilgub DKI 2017 yang lalu ada warna yang berbeda. Kasus penistaan agama membelah dua kelompok parpol berbasis platform dan prinsip-prinsip ideologis yang ada. Sebuah terobosan alternatif yang berani. Partai oposisi: Gerindra dan PKS mematenkan persekutuannya. Keduanya telah teruji, tak diragukan lagi perannya sebagai oposisi. Jika dalam susah bisa bersama, saat senang lebih mudah merajutnya. Belakangan PAN ikut bergabung. Demokrat? Lebih suka menyepi. Putra mahkota butuh perhatian dan energi tersendiri.

Persekutuan Gerindra dan PKS sukses mengantarkan Anies-Sandi di DKI dan juga Wahidin sebagai Gubernur di Banten. Apakah keduanya akan juga sukses di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur? Tiga wilayah ini menjadi kantong suara terbesar di Indonesia. Di tiga wilayah ini, pilpres 2019, tergambarkan.

Di Jawa Barat koalisi ini mengusung Dedy Mizwar-Syaikhu. Setelah diketahui Demiz calon istana, Gerindra menarik diri. PKS dan PAN pun memilih mundur. Keduanya lalu bergabung dengan sekutunya: Gerindra.

Apa yang diperankan ketiga partai ini menjadi terobosan baru. Koalisi permanen, bukan sesaat. Terencana dan tidak serampangan. Butuh komitmen, bukan sekedar nafsu untuk memenuhi kepentingan. Ini menjadi langkah alternatif. Bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan karena alasan pragmatis yang selama ini membunuh karakter hampir semua partai.

Ketiga partai ini telah mengajarkan tentang komitmen dan bagaimana membangun kepentingan jangka panjang. Sebuah kepentingan yang tidak saja akan menguntungkan mereka, tapi juga bangsa.

Jika Gerindra, PKS dan PAN sukses merawat dan membuktikan koalisi permanen ini, terutama di pilgub 2018, maka pertama akan menjadi kekuatan baru yang sangat diperhitungan tidak saja oleh parpol lain, tapi juga oleh setiap kandidat yang ingin maju di pilkada dan pilpres. Pepatah mengatakan: "bersatu semakin teguh, berpisah akan mudah dikalahkan".

*Kedua,*koalisi ini akan kuat perannya untuk menjadi penentu, bukan menyerahkan nasib dan masa depan bangsa ini kepada bohir, sebagaimana selama ini terjadi.

Ketiga, Koalisi ini akan mendorong kelompok lawan untuk membangun koalisi yang sama dan bersifat permanen. Jika ini terjadi, maka negeri ini akan berisi dua kelompok besar parpol koalisi.

Pembelahan dua kelompok parpol ini akan mempertegas perbedaan. Terutama perbedaan dalam visi dan misi. Perbedaan ini menguntungkan buat kejelasan masa depan bangsa ini. Ketidakjelasan visi dan misi partai karena kegaduhan proses politik selama ini bisa diakhiri. Masyarakat, terutama para pemilih, akan lebih mudah membedakan mana putih dan mana yang hitam.

Inilah hakekat "koalisi kebangsaan", Koalisi yang dibangun berbasis platform dan prinsip-prinsip ideologis dengan visi jangka panjang. Koalisi bersifat permanen untuk menatap masa depan dan merajut kepentingan bangsa. Bukan "koalisi kebangsatan" dengan proses kegaduhan dan tujuan hampa.

Terobosan Gerindra, PKS dan PAN ini pasti akan menghadapi banyak ujian. Manuver kekuasaan akan mengintip di balik kelengahan. "Sandera politik" bisa saja diberlakukan. Bubarnya KMP di 2015 cukup jadi pelajaran. Seperti pepatah mengatakan: "Getting lost will help you find yourself." Saatnya Gerindra, PKS dan PAN menemukan karakter koalisinya sendiri.

Ujian terberat manakala partai koalisi ini tidak cukup kursi untuk mengusung kandidat sendiri. Jika ketiga partai ini bisa "satu gerbong" dan "satu paket" dalam negosiasi, atau bahkan bersama-sama memilih jalan oposisi, tentu akan memberi pesan dan makna politik tersendiri.

Sebagai upaya merawat koalisi, kesepakatan ketiga partai mesti diperjelas, detil dan tegas, terutama menyangkut keterbukaan koalisi, syarat seleksi, hak pengambilan keputusan dan prinsip-prinsip kebangsaan.

Kecerdasan meracik kesepakatan dan ketahanan menjaga komitmen akan jadi ukuran sejauhmana ketiga partai ini mampu merajut "koalisi kebangsaan" jangka panjang, bukan "koalisi kebangsatan" berbasis pragmatisme jangka pendek yang selama ini menjadi ladang dan sumber pendapatan.

THE END

25/12/2017

Ikuti tulisan menarik tony rosyid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler