Maruarar Sirait dan Sikap Kesatria yang Patut Dipuja
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Esei pendek
Aku pernah mendengar kalimat bijaksana yang membuat hati tergugah untuk tak merasa malu mengungkapkan permintaan maaf. Ungkapan itu membuka kesadaran bahwa meminta maaf tak perlu selalu dilihat sebagai wujud dari kenyataan bahwa kita bersalah meskipun pada umumnya lontaran maaf selalu hadir dalam kecenderungan itu.
Kalimat bijaksana itu menyatakan: ‘apologizing does not always mean you are wrong and the other person is right. It just mean you value your relationship more than your ego’. Meminta maaf tak harus selalu berarti kamu bersalah dan orang lain benar. Meminta maaf adalah berarti kamu menilai persahabatanmu (dengan orang lain) jauh lebih tinggi dari sekedar egomu.
Sejenak ungkapan itu membawa pada sosok Maruarar Sirait yang dengan jiwa besar berani mengatakan ‘maaf’ kepada Gubernur DKI Anies Baswedan. Kronologi peristiwa itu: Anies Baswedan tercegat oleh Paspampres untuk turut menyertai Presiden Joko Widodo memberikan piala kepada Persija yang kemaren memenangkan piala presiden mengalahkan Bali United dengan skor telak 3-0 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Peristiwa itu tertangkap video dan diunggah ke media sosial. Selanjutnya video itu viral: satu sisi menuai simpati kepada Anies Baswedan dan sisi lain menuai protes kepada, pertama-tama, paspampres. Protes itu terus berkembang mengkambing-hitamkan Presiden Joko Widodo.
Bahkan netizen secara tidak bijaksana mengaitkan insiden teknis itu sebagai menyimpan unsur kesengajaan untuk mencegat Anies Baswedan. Kekeliruan ini dikaitkan dengan belum ‘move on’-nya pihak-pihak yang kalah di pilkada di DKI. Peristiwa ini bahkan telah mendapatkan komentar dari banyak politisi dengan menyalahkan penyelenggara. Dalam hal ini, kesalahan dialamatkan kepada Maruarar Sirait. Dia adalah steering commitee (SC) dari acara ini.
Menyikapi peristiwa ini, Maruarar Sirait tidak diam saja. Dengan sikap berani dan bijaksana, dia menyatakan ‘maaf’ terutama kepada Anies Baswedan atas peristiwa ini. Dia dengan tegas mengatakan bahwa sumber dari persoalan ini adalah kesalahannya. Dia meminta kepada publik agar tidak menyalahkan paspampres. Dia hanya menjalankan tugas. Dia juga menegaskan agar hal ini tidak dibaca dan ditafsir secara politis. Persoalan ini sekali lagi adalah bentuk kesalahannya.
Maruarar Sirait juga meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo yang telah turut mendapat hujatan dari publik netizen atas persoalan ini. Peristiwa ini telah mengakibatkan tafsir-tafsir politik yang liar.
Tetapi memang benar bahwa di balik setiap peristiwa, selalu terbentang hal-hal sederhana yang bisa ditarik pelajaran. Dalam peristiwa ini, Maruarar Sirait adalah sebuah pelajaran penting: sebuah sikap yang kesatria. Sebuah sikap yang berani menunjukkan kesediaan untuk meminta maaf. Kita tahu dalam insiden teknis ini, Maruarar berhadapan dengan kemarahan publik yang tak dapat dibendung. Kemarahan publik mengalir liar. Mengambil sikap pasang badan berarti adalah mengambil resiko sedia dihujat publik. Tapi Maruarar mengambil resiko itu. Sikapnya yang tegas dan berani tampil pasang badan di hadapan amarah publik seolah hendak mengatakan: “jangan salahkan orang-orang lain dalam insiden teknis ini. Jika ada satu orang yang patut dipersalahkan atas insiden, itulah aku saja”.
Tak ayal lagi, hujatan pun beralih kepadanya sebagai SC acara pemberian piala tersebut. Maruarar Sirait menjadi tempat atau saluran amarah dari publik. Dalam keadaan ini, kemarahan publik memang tidak perlu diladeni dengan amarah balik. Kemarahan tidak meminta apapun selain saluran amarah itu sendiri. Dan kemarahan publik mengalir liar tanpa terbendung untuk dihentikan.
Dalam peristiwa ini, kita pun mendapat hal penting lainnya dari sikap Maruarar Sirait: saat ia mengambil sikap pasang badan atau bertanggung jawab atas suatu kesalahan, maka ia harus memiliki kesediaan bersabar menghadapi berbagai macam hujatan. Sabar adalah suatu sikap yang berat. Tidak semua orang memiliki energi kesabaran yang baik. Tapi Maruarar Sirait telah menunjukkan itu.
Sekali lagi apa yang bisa dibaca dari ‘permintaan maaf’ Maruarar Sirait: bukanlah persoalan ia bersalah (semua orang memang punya potensi keliru). Tapi adalah persoalan keberanian untuk meminta maaf. Sebab meminta maaf – seperti kutipan di awal – bukan hanya soal seseorang bersalah dan orang lain benar. Lebih dari itu, meminta maaf adalah sebuah kesadaran untuk menghargai persahabatan dari sekedar ego.
Kepada Anies Baswedan yang dirugikan soal insiden teknis ini, Maruarar telah meminta maaf secara pribadi. Dia sadar, Anies adalah sahabatnya. Tidak penting wujud kesalahannya, tapi yang penting bagaimana Maruarar mengerti bagaimana memperlakukan Anies sebagai sahabatnya secara terhormat.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pentingnya Menggaet Milenial di Pilbup Jabar
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Menjadi Pemilih Jawa Barat yang Kritis
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler