Humas Bapas Kelas I Jambi
Anak Usia 12 Tahun Kebawah Tidak Boleh Dipidana
1 jam lalu
Oleh: Ilham Kurniadi, S.Tr.PAS., S.A.P. Kasubsi Bimkemas BKA Balai Pemasyarakatan Kelas I Jambi
Perdebatan masyarakat Indonesia mengenai usia anak yang dapat dipidana masih menjadi topik penting dalam sistem hukum Indonesia. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah anak usia 12 tahun bisa dikenai hukuman jika melakukan tindak pidana? Menurut hukum Indonesia, anak yang belum berusia 12 tahun tidak boleh dikenai pidana.
Ketentuan ini tertulis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 21 ayat (1) menyatakan, jika anak yang belum genap 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional akan berdiskusi bersama. Mereka akan memutuskan apakah anak tersebut kembali ke orang tua atau wali, atau ditempatkan dalam program pembinaan di instansi pemerintah atau lembaga yang berwenang, dan waktu maksimal pembinaan terhadap anak tersebut yakni enam bulan. Keputusan ini harus diserahkan ke pengadilan dalam waktu paling lama tiga hari untuk diperkuat secara resmi.
Ketentuan ini juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berusia 12 Tahun. PP ini sebagai panduan bagi aparat penegak hukum, pekerja sosial, dan pembimbing kemasyarakatan dalam menangani anak berusia di bawah 12 tahun. Dalam PP tersebut jelas menyatakan bahwa anak yang belum mencapai usia pertanggungjawaban pidana harus dilindungi dengan pendekatan sosial, bukan dikenai hukuman pidana.
Hal ini didukung oleh berbagai peraturan hukum, baik nasional maupun internasional, yang menegaskan komitmen negara untuk melindungi anak, termasuk anak yang berkonflik dengan hukum. Di tingkat nasional, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang berfungsi sebagai aturan teknis. Lebih lanjut, hal ini berlandaskan pada amanat konstitusi dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, pertumbuhan, perlindungan, serta bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
Terbaru ini, dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru juga mengatur mengenai hal tersebut, dalam Pasal 40 dijelaskan bahwa anak yang pada saat melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Ketentuan ini merupakan suatu alasan pemaaf yang membebaskan pelaku dari sanksi pidana, dengan mempertimbangkan kematangan emosional, intelektual, dan mental anak yang belum cukup untuk memikul tanggung jawab pidana
Di tingkat internasional, komitmen Indonesia tercermin dalam ratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Ratifikasi ini secara resmi mengikat negara untuk menerapkan prinsip kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama dalam semua kebijakan dan pengambilan keputusan terkait anak.
Dari sudut pandang psikologis, anak usia 12 tahun masih dalam tahap perkembangan mental dan emosional. Mereka belum mampu sepenuhnya memahami akibat hukum dari tindakan mereka. Jadi, memberi hukuman pidana pada usia ini justru bisa menyebabkan trauma yang berdampak negatif pada masa depan mereka.
Dari sisi sosial, memberi hukuman pada anak lebih banyak membawa dampak buruk daripada manfaat. Anak yang pernah dipenjara sering kali mengalami stigma negatif di masyarakat. Mereka kesulitan melanjutkan sekolah, diterima di lingkungan sosial, dan bahkan berisiko melakukan tindakan kriminal lagi akibat pengaruh buruk dari pengalaman kriminal sejak kecil.
Sebaliknya, pendekatan keadilan restoratif seperti yang diatur dalam Pasal 5 UU SPPA, fokus pada pemulihan kondisi, bukan semata-mata pembalasan. Penyelesaian kasus anak dilakukan melalui dialog antara pelaku, korban, dan masyarakat. Tujuannya agar anak memahami kesalahan mereka, meminta maaf, serta memperbaiki kerugian. Pendekatan ini lebih efektif untuk meningkatkan kesadaran hukum dan mencegah tindakan kriminal yang berulang.
Beberapa orang berpendapat bahwa anak di bawah 12 tahun yang melakukan tindak pidana berat, seperti pembunuhan atau pencabulan, harus diberi hukuman tegas. Namun, dalam hal ini, peran PP 65 Tahun 2015 menjadi penting. PP tersebut menyediakan mekanisme “tindakan” (maatregel) sebagai alternatif. Bentuk tindakan ini antara lain menyerahkan anak ke orang tua atau wali, atau mengikutsertakan anak dalam program pendidikan, bimbingan, dan pembinaan di instansi pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial, dengan durasi maksimal enam bulan. Dengan cara ini, kepentingan korban tetap dijaga, tetapi hak anak untuk dibina dan dilindungi tetap terjaga.
Prinsipnya adalah bahwa tujuan hukum pidana bukan hanya menghukum, tetapi juga mencegah kejahatan dan membina pelaku. Jika anak usia dini dihukum langsung, negara gagal menjalankan fungsi pembinaan. Anak bukanlah ancaman, melainkan generasi yang bisa diarahkan ke jalan yang lebih baik.
Dengan demikian, larangan memberi hukuman pidana kepada anak di bawah usia 12 tahun bukanlah bentuk pembiaran, tetapi strategi perlindungan hukum yang bertujuan mengamankan masa depan bangsa. Perlindungan ini menjamin anak yang terlibat masalah hukum tetap bisa tumbuh, berkembang, dan memperbaiki diri.
Keberadaan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, UU SPPA, UU Perlindungan Anak, PP 65 Tahun 2015, serta ratifikasi Konvensi Hak Anak menunjukkan bahwa Indonesia konsisten menghargai hak anak. Mencegah pemidanaan anak usia 12 tahun bukan sekadar aturan hukum, melainkan bentuk komitmen bangsa untuk menciptakan generasi penerus yang lebih baik. Anak adalah aset bangsa, dan mereka tidak boleh kehilangan masa depan hanya karena satu kesalahan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Antara Demokrasi, Aspirasi dan Pelindungan si Buah Hati
Jumat, 29 Agustus 2025 23:14 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler