Manusia yang masih mencari jati diri karena ketertarikannya pada isu anak, keluarga, komunitas, dan pemberdayaan. Berhasil dalam perjuangan memperoleh pengalaman dan pengetahuan di jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Dalam proses belajar dan menjadi manusia yang utuh

Anak Dijadikan Strategi Bertahan Hidup di Tengah Ketiadaan Negara

1 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pekerja Anak Jalanan
Iklan

Tanpa jaring pengaman sosial, keluarga miskin terpaksa menjadikan anak sebagai aset dan strategi bertahan hidup.

***

Ketika pemerintah lebih memprioritaskan kepentingan politik dan ekonomi dibandingkan program sosial, keluarga terpaksa berjuang sendirian untuk membesarkan anak. Layanan publik—seperti kesehatan, pendidikan, dan program kesejahteraan—sering kali dikurangi atau bahkan diprivatisasi. Akibatnya, keluarga tidak lagi bisa mengandalkan negara sebagai penopang dasar.

Sebaliknya, mereka harus bertumpu pada kerabat, keluarga besar, dan jaringan komunitas untuk bertahan hidup. Dalam kondisi ini, anak-anak tidak bisa sekadar menjadi anak-anak. Mereka justru menjadi bagian penting dari strategi keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Semuanya Kembali ke Keluarga

Dalam ketiadaan jaring pengaman sosial, lahirlah prinsip tak tertulis: Semuanya kembali pada keluarga. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar wajar, tetapi realitasnya tidak sesederhana itu. Tanpa dana pensiun atau subsidi lansia, orang tua akhirnya bergantung pada anak untuk dukungan finansial maupun emosional.

Anak yang sudah dewasa mengambil peran yang seharusnya dipikul oleh sistem publik. Perlahan, ketergantungan ini berubah menjadi norma sosial: keluarga mengharapkannya, anak-anak tumbuh dengan keyakinan akan kewajiban tersebut, dan masyarakat ikut memperkuatnya. “Kembali ke keluarga” pun menjelma menjadi pola sosial yang terus-menerus diwariskan lintas generasi.

Anak Sebagai Pekerja Dini

Dalam keluarga miskin, situasinya lebih berat lagi. Anak sering kali dipaksa masuk dunia kerja lebih awal untuk menambah penghasilan rumah tangga. Pendapatan sekecil apa pun dari anak dianggap penting demi kelangsungan hidup keluarga. “Pilihan” ini bukan muncul dari keinginan, melainkan dari keterpaksaan akibat absennya program pemerintah yang seharusnya mengurangi kemiskinan atau melindungi lansia. Pada titik ini, pendidikan anak sering kali dikorbankan. Keluarga harus memilih kelangsungan hidup hari ini, meskipun harus membayar dengan masa depan anak.

Budaya Membalas Budi

Seiring waktu, praktik ini menumbuhkan budaya “membalas budi.” Anak-anak dibesarkan dengan keyakinan bahwa mereka wajib merawat orang tua di masa tua. Bagi keluarga miskin, hal ini bukan sekadar kesepakatan tidak resmi, melainkan naskah budaya yang disosialisasikan sejak dini. Anak dianggap sebagai bentuk jaminan sosial. Mereka yang pernah menanggung beban keluarga saat kecil, pada akhirnya menanggung beban lagi ketika dewasa. Inilah siklus ketergantungan yang terus direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Solidaritas yang Terpaksa

Kohesi keluarga lintas generasi memang penting. Namun, ketika negara tidak memenuhi perannya, solidaritas keluarga yang seharusnya dilandasi kasih sayang berubah menjadi tuntutan bertahan hidup. Orang tua yang dirawat anaknya menanamkan harapan agar kelak cucu mereka melakukan hal yang sama. Terbentuklah pola sosial yang kuat: “Aku membantumu, maka kamu harus membantuku.” Solidaritas ini memang menjaga keberlangsungan keluarga, tetapi sekaligus meneguhkan beban lintas generasi yang semakin sulit diputus.

Beban yang Disalahpahami

Tidak mengherankan bila sebagian masyarakat terus-menerus menyalahkan keluarga miskin karena memiliki banyak anak. Padahal, mereka tidak menyadari bahwa bagi keluarga miskin, anak bukan sekadar anggota keluarga, melainkan aset dan strategi bertahan hidup. Anak menjadi “investasi” bagi orang tua, sekaligus “asuransi” untuk menghadapi ketidakpastian. Situasi ini seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah hadir dengan kebijakan perlindungan sosial yang memadai.

Pada akhirnya, kegagalan pemerintah dalam menyediakan jaring pengaman sosial membuat keluarga menanggung beban jangka panjang. Inilah bukti bahwa politik dan kebijakan bukan hanya urusan elite, melainkan persoalan nyata bagi setiap warga. Apa yang diputuskan atau diabaikan oleh negara berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari, terutama mereka yang berada di lapisan paling rentan. Jika negara sungguh-sungguh ingin menekan lingkaran kemiskinan, maka anak-anak harus dilihat bukan sebagai “investasi pensiun,” melainkan sebagai manusia yang berhak atas masa depan yang lebih baik. #ResetIndonesia

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler