Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Psikologi Angkot: Tentang Tujuan Terlewat dan Kesadaran yang Menyusul
1 jam lalu
Kadang kita tidak benar-benar kehilangan atensi, tapi karena perhatian kita sedang terserap pada kesementaraan.
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.
Ada sebuah pengalaman yang hampir semua orang pernah alami: kita naik angkot, duduk dengan tenang, lalu tenggelam dalam obrolan atau pikiran sendiri. Dari balik jendela, sebenarnya kita sudah melihat tanda-tanda bahwa tempat tujuan sebentar lagi tiba. Namun, entah mengapa, kita tidak segera memberi perhatian. Obrolan yang sedang hangat terasa lebih penting. Pikiran yang mengalir terasa lebih mendesak. Hingga akhirnya, angkot terus melaju, melewati titik yang seharusnya kita tuju. Baru setelah jarak cukup jauh, kesadaran itu muncul, “Tadi itu seharusnya aku sudah turun!”.
Fenomena sederhana ini tampak sepele, tetapi jika direnungkan lebih dalam, ia mengungkapkan sesuatu yang jauh lebih besar tentang cara kerja pikiran manusia. Terkadang kita tidak benar-benar kehilangan atensi, tetapi justru melewatkan sesuatu yang paling prioritas karena perhatian kita sedang terserap pada hal lain yang sifatnya sementara. Dengan kata lain, kita tidak buta, tetapi kita abai pada yang penting.
Psikologi modern menjelaskan bahwa atensi adalah sumber daya yang terbatas. Ia seperti senter yang hanya bisa menyorot sebagian kecil dari realitas pada satu waktu¹. Saat senter itu diarahkan pada percakapan, bagian lain dari dunia, betapapun pentingnya, tetap berada dalam kegelapan. Inilah sebabnya mengapa seseorang bisa saja melihat tujuannya lewat, tetapi tidak menyadarinya sebagai isyarat untuk segera bertindak. Pandangan mata dan kesadaran batin tidak selalu berjalan seiring.
Pada saat tujuan itu terlewat, otak bekerja seperti alarm yang tertunda. Informasi tentang “tadi ada tanda berhenti” sebenarnya tersimpan, hanya saja ia kalah prioritas dengan hal lain yang sedang menguasai perhatian. Fenomena ini dikenal dalam psikologi sebagai inattentional blindness, yaitu ketidakmampuan menyadari sesuatu yang jelas di depan mata karena perhatian sedang tertuju pada hal lain². Ketika kesadaran menyusul, yang tersisa hanyalah rasa terlambat. Kita menyadari bahwa tujuan sudah berlalu, dan kita hanya bisa tersenyum kecut atau menertawakan diri sendiri. Namun, keterlambatan ini memberi pelajaran yang sangat berharga: sering kali yang paling penting dalam hidup justru tidak kita beri bobot prioritas pada waktunya.
Di sini, pengalaman sederhana naik angkot berubah menjadi metafora tentang kehidupan. Kita semua punya tujuan, entah itu cita-cita, harapan, atau panggilan batin. Tanda-tanda menuju ke sana sering kali sudah jelas: kesempatan, peristiwa, bahkan suara hati yang samar. Namun, alih-alih berhenti tepat waktu, kita kerap sibuk dengan “obrolan lain” dalam hidup: distraksi sehari-hari, kesenangan sesaat, atau persoalan yang tampak mendesak tetapi sebenarnya hanya sementara. Akhirnya, kita baru sadar setelah kesempatan itu terlewat jauh.
Hidup dengan caranya sendiri memang sering memaksa kita belajar lewat keterlambatan. Tujuan yang terlewat mengingatkan kita bahwa atensi tidak boleh dibiarkan hanyut begitu saja. Ia harus dijaga agar mampu membedakan mana yang sekadar menyenangkan, mana yang betul-betul menentukan. Jika tidak, kita akan terus terbawa jauh, hanya untuk menyesal dan bertanya-tanya mengapa kita tidak turun di saat yang tepat.
Karena itu, psikologi angkot memberi kita sebuah pelajaran sederhana: berhentilah sesekali dari hiruk-pikuk percakapan hidup. Arahkan kembali atensi pada tanda-tanda tujuan yang lebih sejati. Jangan biarkan momen penting melaju begitu saja tanpa kita sadari. Sebab yang paling menyakitkan bukanlah kehilangan, melainkan melewatkan sesuatu yang sebenarnya sudah ada di depan mata.
Pada akhirnya, hidup selalu memberi kita pilihan. Kita boleh saja terus terbawa oleh laju angkot kehidupan, pasrah pada keterlambatan, dan membiarkan tujuan menjauh. Namun, kita juga bisa memilih untuk dengan rendah hati turun, meskipun agak terlambat, lalu berjalan kaki kembali ke arah yang benar. Sebab terkadang, kesadaran yang menyusul pun masih bisa menjadi kesempatan kedua — asal kita mau belajar lebih peka, lebih hadir, dan lebih setia pada prioritas yang sejati.
-------------------------------------------
Catatan Kaki.
1. Daniel Kahneman, Attention and Effort (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1973).
2. Arien Mack & Irvin Rock, Inattentional Blindness (Cambridge, MA: MIT Press, 1998).
---------------------------------------

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler