Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Siklus Berulang Pada Kejahatan Keuangan
2 jam lalu
Kejahatan keuangan (financial crime) memiliki ciri khas yang membedakannya dari tindak pidana lain: ia selalu bergerak dalam siklus berulang
Ahmad Wansa Al-faiz
Kejahatan keuangan (financial crime) memiliki ciri khas yang membedakannya dari tindak pidana lain: ia selalu bergerak dalam siklus yang berulang. Pola-pola kejahatan ini terus berulang karena melibatkan kombinasi tiga faktor utama, yakni kelemahan regulasi, rasionalisasi moral pelaku, dan insentif ekonomi yang besar.
Meskipun sistem hukum mengalami reformasi, siklus itu tidak pernah sepenuhnya terputus, melainkan hanya bergeser bentuk dan modusnya. Dalam sejarah Indonesia, kita dapat melihat repetisi pola ini. Kasus BLBI pada akhir 1990-an menunjukkan bagaimana krisis ekonomi membuka celah untuk manipulasi dana talangan perbankan.
Dua dekade kemudian, muncul skandal Jiwasraya dan Asabri yang menampilkan modus berbeda, tetapi dengan pola serupa: penyalahgunaan kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan, eksploitasi celah regulasi, dan kolusi dengan pihak internal. Inilah contoh nyata bahwa financial crime selalu mencari ruang baru ketika ruang lama ditutup.
Siklus berulang ini dipertegas oleh faktor psikologis berupa kepercayaan yang salah. Pelaku meyakini bahwa praktik manipulatif adalah bagian dari strategi bisnis atau kompromi politik-ekonomi. Keyakinan ini menjadikan financial crime tidak hanya sebagai tindakan kriminal, melainkan juga sebagai praktik yang dinormalisasi dalam sistem. Dengan kata lain, kejahatan keuangan terus muncul karena pelaku percaya bahwa mereka sekadar menjalankan mekanisme wajar dari sistem ekonomi.
Dalam perspektif internasional, pola serupa juga tampak. Skandal Enron di Amerika Serikat (2001) dan Wirecard di Jerman (2020) menunjukkan pola repetisi global: manipulasi laporan keuangan, pengaburan transparansi, dan kolaborasi internal-eksternal. Sama seperti di Indonesia, skandal ini selalu muncul setelah ada upaya reformasi akuntansi atau regulasi pasar. Pola repetitif ini membuktikan bahwa financial crime tidak dapat diputus hanya dengan perangkat hukum, melainkan membutuhkan pembaruan sistemik pada budaya integritas.
Siklus berulang pada financial crime menegaskan bahwa problem utamanya bukan sekadar modus operandi, melainkan kegagalan kolektif dalam menutup celah kepercayaan dan regulasi. Negara membuat aturan baru, pelaku menemukan celah baru; hukum memperketat, kejahatan memperhalus. Siklus ini hanya bisa diputus jika hukum tidak hanya mengatur teknis, tetapi juga mengubah ekosistem sosial-ekonomi yang memungkinkan normalisasi penyimpangan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Antropologi Indonesia dan Manusia Jawa
2 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler