x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Trauma Lombok, Rasa Takut Palu dan Kehilangan Donggala Bagian Tiga

TRAUMA LOMBOK, RASA TAKUT PALU & KEHILANGAN DONGGALA, BERSUSULAN ENTAH SAMPAI KAPAN? (3)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ada yang Janggal dengan Rasa Empati Kita

Bukan berarti penulis adalah orang yang patut menempatkan diri sebagai si pemberi wejangan dan refleksi kritis semacam ini. Paling tidak, penulis akan menempatkan diri sama sebagai terdakwa yang sedang duduk di kursi pesakitan mengikuti jalannya persidangan dengan tema tuntutan “pernyataan tak  patut yang menyebut para korban di Palu, Sigi dan Donggala sebagai orang berdosa, musyrik, kafir, sesat,bid’ah, kurafat, penyembah jin yang sedang dihukum dengan bencara tsunami dan gempa bumi oleh Tuhan

Persidangan dimulai. Hakim Yang Mulia Membuka. Para Jaksa Penuntut Umum membacakan daftar tuntutan. Lalu giliran kami dipandu para kuasa hukum membacakan pledoi pembelaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan berarti kita tak punya rasa empati pada saudara-saudara kita di Sulawesi Tengah yang sedang berduka skala nasional dan internasional. Justru perasaan iba, miris, hancur dan empati memenuhi sistem homronal kita, setelah mendengar kabar duka yang menggoncangkan seisi dunia. Namun pertanyaanya, ada dimana posisi si korban dalam konsep empati kita selama ini? Jika masih saja muncul berkelebatan dipikiran kita yang menganggap bencana itu adalah hukuman bagi mereka  karena perilaku buruk dan dosa-dosa yang melukai Tuhan.

Ada di posisi mana mereka (para korban) selama ini?

Pertama, Mereka berada dalam rumah? Ataukah berada di luar rumah empati kita? Kalau toh demikian, rasa-rasanya mustahil kalau mereka menjadi orang yang berada “di dalam rumah empati kita”, sedangkan mulut kita masih saja tanpa sadar begitu lamis menghardik, menuduh kafir, sesat, musyrik, penyembah jin, dan memfitnah mereka sedang dalam status vonis penerima hukuman Tuhan karena dosa -dosa dimasa lalu. Apakah memang demikian?

Kedua, Jangan-jangan posisi mereka selama ini memang sudah tinggal di dalam rumah empati kita, namun kita belum menganggapnya sebagai; saudara, teman, orang tua, tetangga, keluarga, darah daging? Bilamana seisi kepala kita masih mengganggap mereka sebagai orang berdosa yang sedang diazab Tuhan, jangan-jangan kita tidak pernah menganggap mereka (sebagai saudara, teman, orang tua, tetangga, keluarga, darah daging), mungkin hanya orang yang kebetulan lewat, tanpa perlu kita kenal namanya, sosoknya, kepribadiannya. Sehingga kita hanya sekedarnya saja berempati dengan dalih, “saya gak terlalu kenal mereka”. Yang oleh karena itu tak perlu ada tanggung jawab lebih, selain memberi santunan sekedarnya saja, shodaqoh seadanya uang kecil dan koin recehan saja, diberi bantuan seformalnya saja, kirimi doa selonggarnya aktivitas kita saja.

Kalau memang demikian adanya. Lalu empati kita dalam bentuk bakti sosial penggalangan dana di pinggir jalan, kantor-kantor, sekolah-sekolah, pertokoan selama ini dalam rangka apa? apakah untuk pencitraan media sosial, eksistensi diri, perasaan sungkan dengan tetangga kalau tidak menyumbang, takut dianggap pelit orang, dipaksa demi kepentingan, bekal pencitraan untuk pesta politik tahun depan.

Kalau memang demikian kondisi psikologis kita yang menjadi energi saat memberi sumbangan dana bakti sosial pada korban bencana, rasanya seperti seorang pria hidung belang yang menunaikan syahwat dengan seorang pelacur yang ditiduri semalam. Setelah menuai nikmatnya penetrasi singkat, lantas berhenti memungkasi persetubuhan, membayar lunas jasa panggilan, lalu pergi. Rasa empati betapapun bentuk ekspresinya, bukankah mirip seperti menyewa jasa pelacur; disewa hanya untuk dipakai seperlunya, sepuasnya, dan dipenuhi hanya dalam rangka temporal semata.

Empati itu, layaknya memperistri seorang perempuan, yang dipinang bukan karena persoalan ranjang atau dalam rangka mencicipi nikmatnya persetubuhan. Namuna ada upaya pemenuhan rasa emansipasi antar pribadi, saling berbagi pengertian, saling berkabar tanya dalam percakapan, saling bertukar pikiran dalam perdebatan, menelanjangi dan memahami batin masing-masing diri. Kesemua ini dalam rangka mencapai tujuan kemenyatuan diri antara aku, kau, dirimu, mereka, untuk menjadi “kita”.

Empati semacam ini akan menempatkan posisi mereka yang selama ini tanpa sadar kita usir keluar rumah empati kita, menjadi berpindah di dalam rumah, tapi bukan untuk menjadi orang lain yang tak kita kenal. Sekaligus menjadikan mereka saudara, keluarga, dan darah daging dalam diri kita. Empati macam ini tentu menampilkan ekspresi yang lebih intim dan mesra dalam balutan cinta. Bukan cuma sekedar memberi santunan dari sisa uang receh yang nyaris tak memiliki makna karena begitu sedikit jumlahnya, atau sekedar memposting ucapan belasungkawa di media sosial mengikuti gaung hastag yang sedang menjadi trending and hot topic, atau kesediaan berdoa selama tak mengganggu aktivitas keseharian semata. Atau masih menganggap bencana alam kemarin sebagai azab Tuhan untuk para korban yang selalu berbuat maksiat.

Namun lebih dari itu. Munculnya perasaan sama sakitnya yang membuat  diri kita merasakan betul penderitaan, lalu bersama-sama memintakan maaf untuk saudara dan keluarga kita yang menjadi korban bencana, terutama meminta maaf untuk diri sendiri dan menganggap bencana di Palu Sulawesi Tengah termasuk hukuman bagi diri kita sendiri yang masih berkalang dosa, kelaliman, dan kemaksiatan.

Cukup sekian pledoi yang bisa penulis sekaligus terdakwa bisa bacakan. Kami mengaku salah memfitnah saudara-saudara yang tengah berduka, terluka, terlunta-lunta karena musibah air bah yang tiba diujung senja jumat (28/9) lalu. Hakim Yang Mulia, kami siap dihukum setimpalnya.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler