x

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apakah Kita Over Borrowing?

Persyaratan utang tersebut juga sering memberatkan Indonesia dan menguntungkan kreditor asing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Anggito Abimanyu

Dosen UGM, Yogyakarta

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perdebatan mengenai utang Indonesia dan kemampuan mengelola utang bukanlah hal yang baru. Bahkan sejak orde baru, utang luar negeri Indonesia sering dikritik bukan lagi sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan. Efektivitas utang luar negeri juga dipertanyakan. Persyaratan utang tersebut juga sering memberatkan Indonesia dan menguntungkan kreditor asing. Utang luar negeri juga sering menciptakan ketergantungan.

Perdebatan mengenai pengelolaan utang memuncak pada jaman krisis moneter 1998 karena tiba-tiba Indonesia memiliki utang dalam negeri dalam bentuk obligasi rekap perbankan dan surat utang BLBI sebesar Rp. 650 triliun akibat krisis. Rasio utang Indonesia dibagi dengan PDB telah mencapai 100%. Secara ilmu keuangan publik (public finance) , dengan rasio 100%, Indonesia sudah dinyarakan bangkrut atau default serta peringkat utang jatuh. Sejak itulah perdebatan masalah utang selalu memanas dan selalu menjadi topic dalam setiap debat calon Presiden RI.

Banyak yang mengatakan bahwa munculnya utang dalam negeri tahun 1998 dalam bentuk obligasi rekap dan BLBI tersebut merupakan kesalahan resep IMF dan warisan mafia Berkeley yang memimpin tim ekonomi kabinet pada waktu itu. Pokok obligasi jatuh tempo dan bunga obligasi rekap dan BLBI menjadi beban APBN yang memberatkan hingga saat ini.

Pada waktu itu IMF meminta dilakukan penutupan atas 16 bank di bulan November 1997 tanpa adanya jaring pengaman dan penjaminan perbankan. Advis itu dilaksanakan oleh pemerintah sebagai bagian dari komitmen Letter of Intent dengan IMF. Akibatnya terjadi rush di hampir semua bank oleh masyarakat karena khawatir banknya akan ditutup juga.  Kerugian ekonomi dan fiscal yang harus dibayar hingga saat ini menjadi beban pokok dan bunga utang dalam APBN.

Pasca program IMF 2009, pengelolaan ekonomi memang berangsur membaik. Rasio utang Indonesia menurun dari 100% ke 30% dalam waktu 10 tahun dan bergerak dikisaran tersebut sejak tahun 2008 hingga saat ini.

Utang luar negeri dijadwal dalam program penjadwalan utang Paris Club, obligasi Indonesia di reprofiling sehingga beban fiscal tersebut merata. Bunga utang menurun sejalan dengan perbaikan kepercayaan, perbaikan kondisi makro ekonomi dan reformasi sector keuangan. Risiko pengelolaan keuangan juga berangsur membaik dan menurun. Penurunan inflasi dan stabilitas ekonomi makro terus dilakukan dengan meningkatkan kecukupan cadangand devisa dan peningkatan kinerja dari sisi suppply. Pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di atas 5% dalam 10 tahun terakhir.

Peringkat utang Indonesia yang semula selective default (SD) pada tahun 1998 berangsur-angsur menjadi layak investasi di tahun 2017. Satu-satunya yang masih menjadi PR dalam pengelolaan utang Indonesia adalah pengendalian utang swasta, karena sebagian utang tersebut tidak dilakukan, indung nilai (hedging), meskipun demikian BI tetap melakukan monitoring utang luar negeri.

Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah (baik luar dan obligasi) per Juli 2018 sebesar Rp 4.253 triliun.

"Stok utang kita sampai saat ini per Juli capai Rp 4.253 triliun atau perbadingan dengan PDB (produk domestik bruto) 29,74 persen," ujar Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) mencapai US$358 miliar pada akhir Juli 2018 . Angka itu meningkat 4,1 persen dibanding periode sama 2017 (year on year/yoy). 

Jika dirupiahkan, utang luar negeri Indonesia itu setara Rp5.191 triliun dengan asumsi Rp14.500 per dolar AS.  

Utang luar negeri  (ULN) akhir Juli 2018 secara nasional, yaitu pemerintah dan bank sentral yang berutang sebesar US$180,8 miliar (Rp. 2.624 triliun) dan utang swasta (termasuk BUMN) sebesar US$177,1 miliar (atau Rp. 2.566 triliun). Utang Luar Negeri swasta Indonesia sudah hampir setara dengan utang luar negeri Pemerintah.

***

Apakah outsanding nilai utang tersebut tegolong tinggi? Jawabannya tidak jika diukur dari terhadap rasio utang pemerintah, yakni di bawah 30%.  Namun jika ditambah dengan utang swasta, rasio utang dengan PDB mencapai 45%. Meskpun utang swasta bukan tanggung jawab Pemerintah, pengalaman menunjukkan bahwa apabila utang swasta mengalami default dan tidak mempu mengembalikan pokok dan bunga utang akan menggucangkan stabilitas makro ekonomi.

Dijaman krisis 1998 (dan 2008) dahulu, Pemerintah melakukan talangan (bailout) utang swasta menjadi utang BI dan pemerintah. UU Pencegahan dan penanganan krisis keuangan melarang Pemerintah melalakukan bailout utang swasta.

Pertumbuhan outstanding utang yakni sekitar 5% pertahun juga masih dalam batas yang wajar dengan risiko depresiasi nilai tukar 3%, dibandingkan dengan pertumbuhan nominal PDB sekitar 8-9% maka rasio utang per PDB akan stabil dibawah 30%. Negara lain yang satu peers memiliki rasio utang diatas 30%, meskipun pada umumnya adalah utang dalam negeri dalam bentuk obligasi.

Yang memberatkan utang pemerintah adalah bebannya pada APBN, yakni pembayaran pokok dan bunga utang lebih dari Rp. 200 triliun setiap tahun (atau 20% dari belanja APBN).  Belanja Rp. 200 triliun itu sama dengan 4 nilai proyek MRT Jakarta atau proyek jalan tol lebih dari 3.000 km atau lebih dari 20 pembangkit tenaga listrik 500 MW untuk kepentingan pembangunan.

Pembayaran pokok utang dalam denominasi dolar dan utang swasta luar negeri juga berpotensi menggerus cadangan devisa dan kestabilian nilai tukar. Dan apabila suku bunga utang baik dalam negeri dan luar negeri meningkat akan memberikan beban pada deficit APBN. Obligasi pemerintah yang sudah dipegang oleh banyak investor juga sulit untuk dilakukan reprofiling untuk memeratakan beban secara signifikan.

Sementara utang luar negeri, melalui pemerintah atau multilateral meskipun jangka waktu lebih panjang dan suku bunga relatif lebih rendah, tetapi persyaratan pencairan yang ketat dan risiko valas tetap saja menjadikan utang luar negeri menjadi tidak murah dan mudah.

Pinjaman dari Lembaga multilateral lebih diarahkan pada proyek2 kemiskinan untuk negara terbelakang, sementara untuk proyek semi komersial pembiayaan pembangunan negara berkembang seperti Indonesia dilayani melalui anak perusahaan mereka seperti IFC (World Bank), PSDO (Asian Development Bank) atau ICD (Islamic Development Bank).

Pada saat ini Indonesia tidak mengalami kelebihan pinjaman/utang (atau over borrowing) dilihat dari sisi rasio utang atau kemampuan membayar. Yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya pinjaman swasta yang tidak melakukan lindung nilai dan biaya peminjaman.  Beban APBN terhadap pokok utang dapat dilakukan dengan refinancing dengan biaya pinjaman yang lebih murah. Biaya bunga atau imbal hasil bisa diturunkan apabila kondisi makro ekonomi dan iklim investasi membaik, inflasi menurun dan risiko utang menurun. Risiko utang menurun terjadi apabila pengelolaan makro ekonomi membaik. Meskpun kita sudah mencapai peringkat layak investasi tetapi masih di paling bawah, sementara negara lain seperti Filipina dan India sudah layak investasi yang lebih tinggi.

Yang tak kalah penting adalah memastikan agar pinjaman atau utang yang dilakukan memang benar-benar dimanfaatkan untuk proyek yang menghasilkan sehingga pengembalian utang tersebut berasal dari hasil utang itu sendiri.

 

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu