Sumber pembiayaan haji berasal dari 3 sumber utama, yakni setoran awal (down payment) jemaah haji sebesar Rp 25 juta per orang, setoran lunas jemaah haji pada waktu pelunasan, dengan besaran tergantung pada keputusan DPR - pemerintah. Contohnya tahun 2018 ditetapkan sekitar Rp 10 juta. Sumber ketiga adalah hasil penempatan dan investasi setoran awal calon jemaaah haji. Besarnya total nilai manfaat setoran awal satu tahun saat ini adalah sekitar Rp 6 triliun.
Kalau dihitung jemaah yang saat ini berangkat dengan asumsi waktu tunggu rata-rata 10 tahun, maka besaran nilai manfaat per calon jemaah berangkat kurang lebih adalah sekitar Rp 10 juta, dengan asumsi imbal hasil neto rata-rata 6% per tahun. Jadi secara matematis tersedia sumber dana sebesar Rp 25 juta (setoran awal) + Rp 10 juta (setoran lunas) + Rp 10 juta (nilai manfaat Jemaah ybs) atau total sebesar Rp 45 juta.
Jika dihitung dengan biaya haji total adalah Rp 70 juta, maka terdapat kekurangan pembiayaan sebesar sekitar paling tidak Rp 25 juta/jemaah (Rp 70 juta minus Rp 45 juta). Selisih kekurangan pembiayaan tersebut diambilkan dari nilai manfaat jamaah lain (tunda) yang belum berangkat. Tindakan tersebut tidak dilarang dalam UU 13 tahun 2008, namun tidak lagi diperbolehkan dalam ketentuan UU 34 tahun 2014. Dalam ketentuan UU 34, Jemaah tunggu sudah memperoleh nilai manfaat melalui virtual account.
Sejak terbentuknya BPKH sesuai dengan amanat UU tahun 34 tahun 2014, maka pemberlakuan system alokasi nilai manfaat bagi Jemaah tunda melalui virtual account sudah harus diberlakukan. Lepas dari ketentuan perudangan-undangan yang ada, total biaya penyelenggaraan ibadah haji terhitung cukup tinggi, dengan tingkat kenaikan setiap tahunnya lebih dari 6% pertahun, terutama dari biaya penerbangan, biaya Arafah-Mina dan akomodasi di Madinah. Kenaikan tersebut terjadi sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dan depresiasi nilai tukar, serta kebijakan akomodasi di Arab Saudi. Sayangnya keputusan politik terhadap BPIH, memaksakan biaya kenaikan itu dibebankan kepada nilai manfaat jemaah tunggu, bukan jemaah haji yang berangkat.
Ide untuk memiki hotel di Arab Saudi di Mekkah dan Madinah sejalan dengan program BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), namun demikian di kedua kota suci tersebut WNA dilarang memiiki aset tetap seperti properti dan hotel. Kepemilikan hotel di Arab Saudi juga tidak otomatis menurunkan biaya haji. Dengan pertumbahan jumlah hotel di Mekkah yang cukup masif, memiliki hotel di Mekkah belum tentu menguntungkan, meskipun ditempat yang strategis. Lain halnya dengan di Madinah, memiliki hotel di Madinah di lokasi markaziyah (ring pertama) yang cukup strategis dan menguntungkan karena permintaannya sangat tinggi baik untuk haji dan umrah.
Mekkah dan Madinah adalah merupakan kota dengan biaya hidupnya yang paling tinggi di dunia khsususnya apabila tinggal ditempat strategis.
Memiliki hotel (join bersama WN Arab Saudi) atau sewa hotel jangka panjang di Arab Saudi, khususnya di Mekkah dan Madinah akan memperbaiki pelayanan dan kepastian pelayanan bagi Jemaah haji dan umrah Indonesia, dan tentu kebanggan tersendiri.
Sisi komersialnya harus diperhitungkan secara cermat antara manfaat dan risiko.
Untuk menurunkan total biaya haji, memang sangat memungkinkan dengan berbagai upaya investasi di Arab Saudi dan efisiensi pelayanan haji. Namun yang lebih penting adalah adanya keputusan politik antara Pemerintah dan DPR, bahwa saatnya calon Jemaah haji secara gradual mulai membayar BPIH menuju kepada tingkat harga keekonomiannya. Saat ini total biaya penyelenggaraan ibadah haji memang relatif mahal dibandingkan dengan besaran setoran yang dibayar dari jemaah haji itu sendiri.
Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.