"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGreen Book adalah film apik yang menghangatkan hati dan membuat benak pikir kita berkecamuk ketika keluar bioskop.Ada haru,getir dan manis di tiap adegan.
“So if I’m not black enough and if I’m not white enough, then tell me, Tony, what am I?
Sebagian besar manusia, sadar atau tidak pasti pernah memiliki prasangka dengan manusia lain yang kebetulan ‘berbeda’ dengan ‘golongan’ mereka. Beda golongan ini bisa macam-macam rupanya, salah satu perbedaan yang seringkali berujung pada ketidaknyamanan berkepanjangan adalah soal rasialisme.
Prasangka berdasar keturunan bangsa dan menganggap manusia lain berderajat lebih rendah karena tidak sama dengan dirinya. Meski ini masalah kuno yang sangat ketinggalan zaman, namun nyatanya masih saja banyak kita temui di era sekarang, bahkan terkadang dalam wujud yang lebih buruk.
Jurang perbedaan akan bertambah lebar apabila manusia yang bermukim dalam satu bumi yang sama ini tidak mau belajar untuk saling memahami dan menerima satu sama lain.
Berangkat dengan isu perbedaan ras di era tahun 60-an ketika segregasi rasial di wilayah selatan Amerika masih sangat kental , sebuah film apik berjudul Green Book yang dibesut sutradara Peter Farrelly berhasil membuat publik merespon positif.
***
Adalah Tony ‘Lip’ Vallelonga (Viggo Mortensen), seorang penjaga kelab malam yang harus menganggur sementara karena tempat kerjanya ditutup selama 2 bulan untuk direnovasi. Sementara itu kehidupan harus tetap berjalan karena Tony harus menghidupi keluarganya selama masa rehat terpaksa tersebut.
Di tengah kegalauan tersebut, datanglah tawaran pekerjaan dari Dr. Don Shirley (Mahershala Ali), seorang pianis jazz klasik sukses yang akan mengadakan tur keliling Amerika.
Tony yang hanya tahu bahwa dirinya akan menjalani pekerjaan sopir pribadi tak terlalu merisaukan dengan siapa dan bagaimana nantinya dia akan menjalani pekerjaaannya, toh semua pekerjaan yang dipercayakan kepadanya selalu dapat dijalani dengan baik. Bagi Tony, keluarga adalah prioritas utama. Maka iming-iming bayaran yang memadai membuat ia bersemangat mendapat pekerjaan ini.
Namun segala keyakinan itu berubah menjadi keraguan ketika Tony bertemu sang calon majikan yang ternyata adalah pria berkulit hitam. Tony yang dilahirkan sebagai manusia kulit putih berkebangsaan Amerika berdarah Italia merasa tidak seharusnya bekerja untuk manusia kulit berwarna. Apalagi konsekuensi pekerjaan sebagai sopir dan ajudan Don Shirley mengharuskan ia meninggalkan keluarganya mengikuti tur keliling selama 8 minggu.
Tapi bukankah dalam hidup semua adalah tentang kebutuhan dan bukan keinginan. Berbekal bayaran tinggi dan deskripsi pekerjaan yang terlihat mudah, Tony pun menyingkirkan segala gengsi dan ketidaknyamanan untuk memulai ‘petualangan’ bersama Don Shirley menyusuri dataran Amerika bagian selatan.
***
Dari perjalanan panjang inilah Tony pun akhirnya mengerti tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak terhadap manusia lainnya meskipun mereka terlihat tidak sama.
Dalam benak pikir masyarakat kebanyakan, duet Tony dan Don Shirley pada masa tahun 1960-an merupakan hal yang tak lazim. Bagaimana ada seorang kulit putih menjadi sopir sekaligus ajudan seorang kulit berwarna.
Tak hanya fisik yang berbeda, sifat mereka pun bertolak belakang. Tony yang urakan bermulut besar dan selalu siap sedia berkelahi dengan siapapun harus berhadapan dengan Don Shirley, manusia intelektual yang selalu menjaga sikap dan tutur kata dengan aturan baku yang terasa mencekik bagi Tony.
Hari demi hari dijalani, kota demi kota terlalui. Pada tiap persinggahan selalu saja ada masalah yang harus mereka dapatkan dan hampir semuanya bermuara pada ‘kesalahan’ Don Shirley yang berkulit hitam.
Segregasi rasial yang sangat tajam bahkan hingga masalah remeh seperti penggunaan toilet, mencoba baju di sebuah toko pakaian hingga larangan makan di restoran membuat Tony yang awalnya juga tidak nyaman dengan perbedaan itu pun menjadi muak terhadap komunitas masyarakat kulit putih atas semua perlakuan tidak masuk akal tersebut.
Pada akhirnya Tony pun menyadari bahwa segala perbedaan yang ada di hadapannya adalah hal yang harus dirangkul bersama, karena pada prinsipnya semua adalah sama, semua adalah manusia.
***
Saya sengaja tidak akan banyak mengulas dan memberi spoiler terhadap film ini. Mumpung masih ditayangkan di bioskop, jadi monggo buat yang berkenan untuk segera mampir ke layar tancap terdekat. Saya jamin njenengan semua tidak akan menyesal menontonnya.
Film ini sudah diganjar banyak penghargaan di Golden Globes, Critic Choice Awards dan rentetan nominasi di Oscar 2019. Skenario film yang diangkat berdasar kisah nyata ditulis dengan rapi oleh Nick Vallelonga dan Brian Curie.
Selain alur cerita yang menawan, tentu saja kepiawaian dari departemen akting juga layak diacungi jempol. Viggo Mortensen dan Mahershala Ali memainkan tokoh Tony dan Don Shirley dengan akting yang cemerlang. Chemistry manis yang mereka hadirkan serta perkembangan perubahan karakter yang halus sangat dirasakan penonton dari awal hingga ending film.
Tentu saja keandalan Peter Farrelly sang sutradara yang mampu mengaduk adegan demi adegan dengan ramuan yang pas juga mesti diapresiasi. Drama penuh haru yang sarat pesan kemanusiaan berpadu serasi dengan selipan humor cerdas membuat kita senantiasa betah meski durasi film 130 menit-an.
Bukan itu saja, sinematografi cantic nan ciamik juga ditampilkan sepanjang film berjalan. Pemilihan lokasi yang merepresentasikan Amerika tahun 60-an, permainan tone dengan warna hangat dan pengambilan gambar yang detail mampu membuat adegan yang simpel menjadi begitu menawan. Wardrobe kece dan pemilihan soundtrack yang bagus juga turut memperkaya keberhasilan Green Book.
***
Sebagai reviewer abal-abal, seperti biasa tak lengkap kiranya jika tidak menyampaikan pesan moral yang dimiliki film ini. Green Book benar-benar saya sarankan untuk ditonton oleh masyarakat Indonesia. Banyak sekali pesan kemanusiaan yang disampaikan, bagaimana seharusnya kita tak pernah melupakan kodrat sebagai manusia yang harus memanusiakan manusia lainnya, bagaimana kita belajar menghargai perbedaan yang memang dianugerahkan sebagai hadiah oleh Sang Pencipta, bagaimana kita bisa berkawan dengan siapapun terlepas dengan segala identitas latar belakang yang melabelinya.
Karena toh kita sejatinya adalah sama, kita adalah sama-sama manusia …
------------
gambar dari www.imdb.com
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGalaumu itu Lebay Dék
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler