Penulis lepas, seringnya berpuisi tapi juga suka bercerita. Memiliki koleksi delapan buku ber-ISBN, salah-satunya mendapatkan penghargaan dari Kemendikbudristekdikti. Sekarang masih menulis dan akan selalu begitu.

Sejarah Hanya Berganti Wajah

13 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Jokowi Prabowo di MRT
Iklan

Kita tetap hidup dalam penindasan dan penjajahan.

***

Sejarah hanya berganti wajah, tetapi tidak pernah benar-benar berubah. Hari ini kita dipaksa percaya bahwa bangsa ini merdeka, bahwa kita adalah tuan di rumah sendiri. Namun lihatlah lebih dekat: rakyat diperas keringatnya dengan upah minim, diikat dengan pajak yang melangit, dan dipaksa tunduk pada hukum yang hanya tajam ke bawah. Tidak ada yang baru di sini, kecuali topeng yang dipakai para penguasa. Kolonialisme tidak pernah mati, ia hanya beralih rupa menjadi kapitalisme yang merayakan penderitaan rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita diperbudak oleh mesin yang tidak mengenal manusia. Buruh bekerja belasan jam demi sepotong roti, sementara mereka yang duduk di kursi empuk menenggak anggur mahal dari hasil keringat orang miskin. Kepala kita seakan dipasung, kaki kita diborgol, dan mulut kita ditutup oleh propaganda murahan yang mereka sebut demokrasi. Inilah penjara terbesar di dunia: penjara yang dibangun di tanah air sendiri, di mana kita dikurung bukan dengan jeruji besi, melainkan dengan ketakutan.

Lalu siapa yang melawan? Suara-suara kecil yang berani menentang segera dibungkam. Polisi yang seharusnya melindungi, justru menjadi algojo. Mereka menembak rakyat yang bersuara, menindas ibu-ibu yang kehilangan anaknya, menculik siapa saja yang masih berani bersuara benar. Tentara yang konon berdiri menjaga kedaulatan negeri, kini berubah menjadi anjing penjaga kekuasaan. Mereka menembak tanpa ragu, mereka menindas dengan restu.

Di negeri ini, kebenaran adalah kejahatan, dan kejahatan adalah hukum yang sah. Orang dibunuh bukan karena salah, tetapi karena benar. Mereka yang mencuri uang rakyat diampuni, mereka yang menjarah hutan dipuja sebagai investor, tetapi mereka yang menolak tunduk dicap pengkhianat. Betapa ironisnya sebuah negeri yang katanya dibangun di atas darah pahlawan, kini justru meneteskan darah rakyatnya sendiri demi melanggengkan oligarki.

Mereka yang berkuasa tidak pernah cukup dengan kekayaan. Mereka haus validasi, ingin dipuja sebagai pahlawan, ingin disebut pemimpin besar. Padahal yang mereka lakukan hanyalah menindas dengan cara yang lebih canggih. Kolonialisme Belanda dan Jepang dulu begitu gamblang: kerja paksa, tanam paksa, romusha. Sekarang kolonialisme lebih licik, hadir dalam bentuk utang, pajak, dan undang-undang yang merampas. Bedanya, pelakunya kini adalah bangsa sendiri, yang tega menjual darah saudaranya demi kursi kekuasaan.

Kita—rakyat kecil—dipaksa menonton semua kebiadaban ini. Kita melihat ibu menangis kehilangan anaknya karena peluru polisi. Kita mendengar jeritan rakyat yang ditindas, sementara televisi menayangkan senyum pejabat yang berpesta. Kita tahu negara ini tidak lagi berpihak pada kita, dan semakin hari kian jelas: negeri ini bukan lagi milik rakyat, melainkan milik oligarki.

Jari tengah untukmu, rezim busuk yang menamakan diri pelayan bangsa. Kau bukan pelayan, kau bukan pemimpin, kau hanyalah parasit yang menghisap darah rakyat hingga kering. Sejarah akan mencatat bahwa engkau tidak lebih baik daripada kolonialis yang dulu kita usir. Engkau hanyalah wajah baru dari tragedi lama: pengkhianatan pada rakyat.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rama Kurnia Santosa

Rama Kurnia Santosa

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler