x

Menunggu penerbitan Perppu KPK

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 6 Oktober 2019 09:46 WIB

Terbitkan Perpu KPK, Jokowi Tidak Melanggar Pasal Pemakzulan

Jokowi tidak melanggar pasal pemakzulan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hingga detik ini, tanda-tanda Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang (Perpu) KPK belum terlihat akan diturunkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, tokoh-tokoh partai kolasi pemerintah begitu gencar menyerukan, membisiki, memberi masukan, hingga yang terkesan menakut-nakuti agar Presiden Jokowi tidak menerbitkan Perpu KPK.

Berbagai cara dan upaya telah dilakukan oleh elite politik khususnya partai koalisi pendukung pemerintah dengan terus menahan Presiden agar tidak menerbitkan Perpu hingga pada ujungnya muncullah kata "pemakzulan".

Kata ini apakah memang diapungkan sebagai bagian dari skenario bahwa pengesahan revisi UU KPK pada 17 September benar-benar karena inisiatif DPR atau memang Presiden juga turut andil atau jangan-jangan pengesahan justru ide presiden sendiri karena "sesuatu hal". Maka, para elite partai politik ini mau menyelamatkan Jokowi agar tidak salah langkah dan jalan, hingga muncullah kata pemakzulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Entah upaya apalagi yang akan dilakukan oleh para elite partai politik ini, demi menghadang Jokowi tidak menerbitkan Perpu.

Berbagai upaya elite partai politik juga termasuk oleh para anggota dewan dalam mencegah Jokowi menerbitkan Perpu jelas-jelas hanya akal-akalan saja. Tujuannya agar mereka dan koleganya, khususnya orang-orang partai baik yang duduk di DPRD, DPR, pejabat pemerintahan, hingga pemimpin daerah selamat dari kejaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena faktanya, mereka-mereka inilah biang dari pelaku korupsi di Indonesia.

Sudah menerima gaji besar dengan tunjangan wah, mereka tetap rakus mengendus dan menilep uang rakyat dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Lebih ironis, ada juga sandiwara pejabat pemerintah daerah yang sengaja memviralkan slip gajinya, karena kecil. Namun, rakyat tahu, bahwa meski gaji di slip kecil, namun pendapatan sampingan pejabat ini berlipat-lipat.

Saat slip gajinya viral tersebar di media sosial dan media massa, pejabat ini justru berujar bahwa, hal itu tidak masalah, karena ia ingin Presiden tahu bahwa gajinya memang kecil. Atas fakta dan kenyataan ini, gaji kecil atau gaji besar, lalu juga ada pendapatan sampingan, mereka juga tetap melakukan praktik KKN, tidak pernah ada kapoknya, karena mereka juga dituntut oleh keadaan. Misalnya, harus mengembalikan modal kampanye, setoran ke partai yang mengusungnya, dan setoran hutang lainnya yang wajib ada.

Sehingga, saat revisi UU KPK belum disahkan, dan sudah banyak mendapat penolakan dari kalangan akademisi dan pengamat, DPR dengan persetujuan Presiden, tetap memaksakan mengetuk palu pengesahan.

Sejatinya, kongkalikong DPR (Legislatif) dengan Presiden (Eksekutif), sudah sangat jelas terbaca dan telah pula dicegah oleh segenap rakyat Indonesia. Namun, mereka tetap pura-pura tak menganggap ada dan terus melakukan aksinya, seperti negeri ini milik mereka sendiri.

Pada akhirnya, mereka juga kelimpungan ketika gelombang demonstran turun ke jalan. Tetapi bukannya menyadari, mereka malah mengedepankan polisi sebagai tameng yang pada akhirnya jatuh korban.

Buntutnya, atas segala kegelisahan mereka, terus dicari celah agar Perpu tetap tidak terbit. Sebab, bila terbit maka celakalah mereka semua.

Rakyat perlu tahu dan memahami, bahwa pemakzulan atau impeachment adalah sebuah proses dari sebuah badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan juga bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan.

Bila ada pejabat akan dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan kejatuhan.

Sementara, brdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7A, pemakzulan presiden terdiri atas enam syarat. Diantaranya, Presiden hanya dapat dilengserkan jika terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, tindak pidana berat lainnya, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Nah, mengeluarkan Perpu demi menyelamatkan uang rakyat dan membela kepentingan rakyat apakah ada dalam syarat tersebut? Justru sebenarnyalah para elite partai yang menjadi anggota dewan atau pejabat negara yang malah sering melakukan pelanggaran sesuai pasal 7A UUD 45.

Segeralah Bapak Presiden, terbitkan Perppu, jangan sampai menunggu rakyat demonstrasi dan anarkis karena ada yang memanfaatkan situasi.

Penumpang gelap demonstrasi bukan tak mungkin justru skenario pihak oposisi, bukan mustahil ini juga permainan mereka agar rakyat percaya bahwa rusuh dan anarkis selalu dari pihak yang menentang pemerintah dan DPR. Gampang ditebak, tidak repot.

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler