Siasat Kaum Oligark: Setelah GBHN, lalu Presiden Dipilih MPR?

Selasa, 8 Oktober 2019 09:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Amandemen ke-5 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang sedang menggebu direncanakan para wakil rakyat di DPR tampaknya akan memicu naiknya suhu politik di masa depan.

Amandemen ke-5 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang sedang menggebu direncanakan para wakil rakyat di DPR tampaknya akan memicu naiknya suhu politik di masa depan. Amandemen ini menyasar topik pengaktifkan lagi GBHN oleh MPR, dan sejumlah kalangan menilai itu hanya pintu masuk agar kelak Presiden dipilih oleh majelis.

Koran Tempo edisi 8 Oktober menulis laporan bahwa sejumlah fraksi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan setuju terhadap wacana amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Mereka mengklaim Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu dihidupkan kembali untuk menyelaraskan rencana kerja pemerintah dengan keinginan parlemen. Cara satu-satunya menghidupkan kembali GBHN adalah lewat amendemen UUD 1945.

Fraksi-fraksi yang menyatakan setuju itu, antara lain, dari PDIP, PAN, Gerindra, NasDem, dan lain-lain. Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional, Yandri Susanto, mengatakan keberadaan GBHN bisa menyelaraskan seluruh arah pembangunan dari pusat hingga daerah. "Sehingga ada kesinambungan dan cara pandang tentang kenegaraan," ujarnya.

Tetapi sejumlah pakar hukum tata negara tak sepakat dengan rencana itu. Menurut mereka kehadiran GBHN berpotensi menimbulkan gejolak politik sekaligus kekacauan sistem ketatanegaraan. Ahli hukum tata negara, Refly Harun mengatakan GBHN berpotensi menimbulkan rivalitas antara pemerintah dan MPR. Pemerintah, kaat dia, telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai acuan kerja. Maka, jika GBHN dibentuk, potensi benturan rencana kerja tidak akan bisa dihindari.

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan tidak ada urgensi MPR untuk melakukan amendemen UUD 1945. Selain cenderung bersifat politis, semangat rencana amendemen UUD 1945 itu berbeda dengan semangat amendemen konstitusi pada awal masa reformasi yang didasari keinginan masyarakat. “Keinginan untuk amendemen UUD 1945 kali ini sama sekali tidak menyentuh kepentingan masyarakat,” ujar dia.

Bivitri juga memperkirakan amendemen ini membuka peluang bagi MPR kembali pada fungsinya sebagai lembaga tertinggi negara. “Ini mengkhawatirkan karena presiden nanti bisa dipilih kembali oleh MPR,” kata Bivitri.

Hal ini diakui Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Dia mengatakan amandemen bisa menjadi bola liar dan melebar ke mana-mana, termasuk pada presiden kembali dipilih oleh MPR. "Itu mungkin terjadi," kata Muzani, Senin, 7 Oktober 2019.

Dia mewanti-wanti ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan jika GBHN kembali berlaku. Muzani mencontohkan, apakah GBHN berdiri sendiri dan bagaimana ukuran presiden telah melaksanakan GBHN itu.

Toh, Ahmad Muzani mengatakan partainya menyetujui amendemen, dengan catatan tanpa ada perubahan masa jabatan presiden dari ketentuan yang sudah berlaku saat ini. “Masa jabatan presiden harus dipatok maksimal dua periode. Itu enggak bisa (berubah).”

Kata kucinya adalah bola liar. Jika agenda ini sudah masuk ke ruang sidang, siapa yang dapat mencegah rencana berikutnya, yakni mengubah sistem pemilihan presiden? Lonceng tanda bahaya sudah mulai terdengar: Jika hal itu terwujud, maka semangat reformasi telah dikhianati kaum oligark--golongen elite politik yang karena kekuasaannya bisa mengarahkan agenda kehidupan berbangsa.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indonesiana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler