x

Iklan

Manasse Nainggolan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Oktober 2019

Kamis, 17 Oktober 2019 15:10 WIB

Intoleransi, Bentuk Penghinaan Terhadap Konstitusi

Kehidupan beragama di negeri ini dijamin oleh Undang – Undang, sehingga tidak boleh seorang pun yang dilarang untuk mengungkapkan imannya yang begitu personal kepada Tuhan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehidupan beragama di negeri ini dijamin oleh Undang – Undang, sehingga tidak boleh seorang pun yang dilarang untuk mengungkapkan imannya yang begitu personal kepada Tuhan yang diyakininya. Itu adalah hak asasi terdalam yang melekat pada diri setiap orang.

Di Indonesia, kebebasan beragama mempunyai jaminan konstitusional. Konstitusi Republik Indonesia yakni UUD NRI 1945 menjamin kebebasan beragama dalam Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.”

Kemudian Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Jaminan tersebut diperkuat oleh Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Meskipun kerap kali di berbagai kesempatan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sudah mendeklarasikan bahwa tidak ada tempat bagi kelompok intoleran di Indonesia, bukan berarti tindakan tindakan intoleran sudah tidak ada lagi kita jumpai.

Sampai saat ini masih marak kita temukan berbagai bentuk tindakan intoleransi yang bertentangan dengan konstitusi.

Mulai dari ujaran kebencian, pelarangan mendirikan rumah ibadah, hingga kegiatan ibadah yang dibubarkan secara paksa oleh kelompok kelompok Intoleran.

Tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang berbeda keyakinan, bahkan yang satu keyakinanpun bisa melakukan tindakan yang melawan konstitusi tersebut.

Kasus-kasus yang berkenaan dengan intoleransi seperti yang sudah disebutkan di atas adalah suatu bentuk pelanggaran yang jelas terhadap konstitusi Indonesia. Suatu bentuk penghinaan dan pengkhianatan terhadap konstitusi negara.

Seorang tokoh muda dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Medan, Samuel Marpaung mengaku sedih dan kecewa melihat masih maraknya tindakan tindakan intoleran yang menciderai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketua DPC PSI Medan Baru ini menjelaskan salah satu contoh kejadian di kotanya yang menimpa Gereja Indonesia Kegerakan (GIK) dimana salah satu oknum PNS melakukan penggembokan dan perusakan sehingga jemaat gereja tersebut tidak dapat beribadah.

 
Dalam proses menuju Indonesia maju ia berharap tidak ada lagi tindakan – tindakan intoleransi, pelarangan ibadah, penutupan gereja, perusakan tembok gereja seperti yang dialami oleh Gereja Indonesia Kegerakan (GIK) di kota Medan yang sudah 2 tahun jemaatnya tidak bisa menggunakan rumah ibadah tersebut.

 

“Fiat Justitia Ruat Coelum yang berarti keadilan harus kita tegakkan meskipun langit runtuh, perusakan tembok dan penggembokan gereja tersebut terjadi pada saat proses hukum sedang berlangsung, dimana hati nurani para pelaku tersebut ?” ujar kader partai PSI ini.

Kasus ini kini masih sedang berproses di pengadilan, ia berharap pemerintah dan aparat bisa tegas menegakkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan, kebhinekaan, dan kesetaraan.

Penegakan hukum ditujukan kepada siapa pun yang melakukan pelanggaran, apapun agama dan keyakinannya.

Persekusi yang dilakukan untuk menghalangi seseorang atau sekelompok orang dalam beribadah jelas merupakan sebuah pelanggaran yang serius. Untuk itu harus ditangani dengan serius pula, terutama oleh pihak yang berwajib.

Menurut Kathlyn Gay dalam makalah Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide, lahirnya mental bigot dan intoleransi biasanya berawal dari sikap pribadi orang tersebut. Orang dengan harga diri rendah dan merasa terancam oleh perbedaan, atau yang membutuhkan rasa aman dan penerimaan kelompok, kemungkinan akan sulit menghargai perbedaan.

Sedangkan di Indonesia sendiri yang heterogen, terdiri dari banyak suku dan perbedaan, perdamaian sering digambarkan dengan cara toleransi antar-sesama. Saling mengetahui dan memahami perbedaan orang lain,  untuk menciptakan kehidupan yang aman dan damai.

Untuk menghalau mental negatif tersebut, harus dilakukan secara menyeluruh antara masyarakat dan pemerintah, dalam konteks pembangunan sumber daya manusia secara nasional, peran negara dan pemerintahan harus hadir sebagai fasilitator.

Semua lapisan masyarakat dan pemerintah harus bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia maju yang bebas dari segala bentuk intoleransi.

Semua ini bisa kita mulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, lingkungan pendidikan, maupun masyarakat sekitar. Karena pemahaman yang baik dan benar tersebut merupakan benteng pertahanan bagi seseorang untuk kemudian dapat mengambil sikap serta tindakan yang baik dan benar.

Penting sekali pemahaman terhadap toleransi ditumbuhkan semenjak dini guna kelangsungan hidup yang tenteram dan damai dalam balutan kebersamaan sebagai sebuah bangsa.

Atau dengan kata lain, kebebasan untuk beragama sungguh-sungguh harus diperjuangkan sebagaimana telah tertera dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Semoga di pemerintahan Jokowi periode kedua masalah ini bisa lebih tertangani dengan baik karena toleransi di Indonesia merupakan hal yang amat fundamental dan harus menjadi perhatian pemerintah.

Ikuti tulisan menarik Manasse Nainggolan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB