x

Kunto Aji saat menyanyikan lagu Rehat

Iklan

Harfie Aulia Rachman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 Desember 2019

Minggu, 9 Februari 2020 17:18 WIB

Ironi Lagu "Rehat" dan Problematika Quarter Life Crisis

Ironi Lagu "Rehat" dan Problematika Quarter Life Crisis adalah artikel yang menceritakan fenomena Quarter Life Crisis atau mudahnya anak-anak millenial mengalami krisis di usia mudanya, dan sebagian mencap dirinya depresi dan gejala isu kesehatan mental tanpa berani datang ke dokter jiwa maupun psikolog klinis. Dengan ini, saya akan ceritakan pengalaman saya berbincang dengan sahabat saya, Agus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Gue iri dengan orang-orang di dalam video tersebut. Mereka benar-benar hidup" ujarku. Teman saya, Agus lalu memandang aneh dan mengernyitkan dahi. "Bukannya yang bikin depresi itu lagu Pilu Membiru ya, Pir?" tanyanya. "Ya, gak juga, tergantung, orang lain punya persepsinya masing-masing gus," kataku.

"Gue udah dua-puluh tujuh gus, sudah memenuhi syarat gabung sama klub 27. Enak dong nanti gue bisa ketemu Kurt Cobain, Janis Joplin sama Amy Winehouse." Lalu tanpa aba-aba, Agus menampar pipi saya. "Jangan mentang-mentang nama IG lo ada psycho-psychonya, lo sok-sokan mau 'mokat' umur 27. Hidup masih panjang untuk diperjuangkan, nyet!"

Setelah mengelus pipi kananku yang habis digampar Agus, aku kembali berkata "Gue beneran iri gus sama mereka, iri dengan semua fragmen-fragmen kehidupan mereka, ya mereka benar-benar 'hidup' lo ngerti ga sih?" ujarku kembali, kali ini dengan sebuah penekanan. "Yah lo punya hak untuk iri, tapi jangan secemen itu, nyet." ujar Agus lalu menyalakan rokoknya. Lalu kami pun terdiam beberapa saat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Elu pernah nonton Tree of Life gak gus?" kataku. "Pernah, yang ada Brad Pitt-nya kan?" katanya. "Ya tapi gue ga terlalu suka film itu, banyak yang bilang Terrence Malik adalah penerus dari Kubrick, tapi gue lebih memilih diam dan tersenyum kecut ketika ada seseorang yang sok tau cari muka di diskusi film seminggu lalu."

"Ya, terus intinya lo nanya itu ke gue apa?" jawab Agus kesal. "Gini, gus. Satu-satunya yang gue suka di film itu cuma visualnya doang, Beberapa visual melambangkan kehidupan sejak kita lahir hingga tiada dan bermacam-macam fragmen kehidupan kaya video klip Rehat. Sinematografernya itu si Emmanuel Lubezki atau sering disebut Chivo, dia jenius parah, gus. Terbukti, kan beberapa tahun setelahnya dia menang di Piala Oscar sebanyak tiga kali, dan berturut-turut pula." aku menjelaskan.

"Lah terus lo ajak gue kemari, cuma mau ngomong ini aja?" seru Agus sambil menguap. "Kembali ke topik awal, lagu Rehat ini beneran magis, gus. Perasaan gue jadi kebelah dua, di satu sisi gue tenang, di sisi lain gue benar-benar iri."

Sebelum saya melanjutkan kata-kata, Agus coba memotong sebelum saya angkat jari telunjuk ke bibirku

"Lo tau kan usia gue udah sematang ini, tapi belum punya pekerjaan dan penghasilan. Gue merasa gak berguna jadi manusia." lanjutku sambil mengipas-ngipas asap rokok dari Agus yang ke arahku. Lalu kita berdua terdiam bersama. Lelaki berkumis tipis pun tak tau mau berkata apa-apa sampai dia menyadari abu rokoknya sudah memanjang. "Lo kena Quarter Life Crisis, Pir. Beberapa orang pernah merasakan itu. Lo gak sendirian."

"Gue pernah baca di artikel soal lagu 'Rehat'. Kunto Aji pernah bilang dia bersama Petra Sihombing selaku produser terinspirasi membuat lagu tersebut dari Solfeggio Frequencies. Dalam penelitian Solfeggio Frequencies dijelaskan ada enam macam frekuensi yang bisa memengaruhi perasaan manusia. Ada enam frekuensi yang semuanya saling menyembuhkan siapapun yang mendengarnya dan mampu menyembuhkan pikiran-pikiran kusut kaya lo."

"Apapun yang terjadi, jangan biarin pikiran lo ngehambat tujuan lo." lanjut Agus sambil bergetar tangan kanannya yang tengah memegang cerutu. Dan percakapan itu menjadi yang terakhir bertemu dengan Agus, beberapa hari kemudian Ibu Agus mengatakan sesuatu yang membuat bulu kuduk saya merinding. Agus telah tiada, meregang nyawa saat berada di jalanan. Namun pemikirannya adalah alasan saya untuk tetap hidup dan tidak mudah cengeng melawan dunia yang apatis ini.

Ikuti tulisan menarik Harfie Aulia Rachman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler