Politik Praktis ASN di Propinsi Kalimantan Utara, Modus dan Pengawasan

Kamis, 27 Februari 2020 17:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah menjadi rahasia umum banyak oknum ASN di propinsi Kalimantan Utara terlibat dalam politik praktis, baik karena terpaksa dan dipaksa, diam-diam, maupun terang benderang. Walau kini aturan makin ketat dan tegas tentang pemberian sangsi ASN yang terlibat politik praktis, tak mengurangi aksi nekad para oknum ASN ini.

Sudah menjadi rahasia umum banyak oknum ASN di propinsi Kalimantan Utara terlibat dalam politik praktis, baik karena terpaksa dan dipaksa, diam-diam, maupun terang benderang. Walau kini aturan makin ketat dan tegas tentang pemberian sangsi ASN yang terlibat politik praktis, tak mengurangi aksi nekad para oknum ASN ini. ASN yang nekad-nekad ini terlibat dalam politik praktis ditenggarai karena berbagai motif dan motivasi:

  1. Sukarela karena motif naik jabatan, job security (jaminan jadi PNS, bila masih honor)
  2. Faktor psikologis kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana kepala daerah berhak mengangkat, memindahkan dan memberhentikan dari jabatan sebagai pejabat eselon dilingkungannya. Akibatnya, dengan wewenang ini, baik ada tekanan atau tidak pembina pegawai (baca: kepala daerah), ada rasa cemas, galau, karena posisi ASN ini serba salah, ibarat peribahasa makan buah simalakama.

Di Kaltara di level propinsi dan kabupaten/kota, ada beberapa modus yang sering dilakukan pada saat pra, saat musim kampanye, dan saat pemilihan, misalnya:

  1. Para oknum ASN yang mengkordinir para honorer menganjurkan mereka dan keluarga nya untuk memilih jago mereka dengan imbalan uang, janji perjalanan dinas, politik uang dalam ruang lingkup kantor pemerintahan
  2. Kalaupun ada ASN yang terlihat netral, gestur keberpihakan tidak bisa dibohongi, misal hadir event yang bernuansa politis seperti deklarasi tim pendukung, membuat status di media sosial. Walau secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar, namun secara etika kepegawaian, hal itu tetap bermasalah.
  3. Menumpang program pemerintah dan menggunakan fasilitas pemerintah dengan mempromosikan calon-calon tertentu. 
  4. Menggunakan anggaran pemda untuk memasang advertorial profil daerahnya di media massa dan baliho dengan foto dirinya sendiri. 

Larangan ASN berpolitik praktis

Pelarangan ASN berpolitik praktis telah diatur dalam beberapa instrumen kebijakan, diantaranya Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS), Peraturan Pemerintah Nomor 53 tentang Disiplin PNS dan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai. Bahkan sekedar me “like” sebuah status promosi calon, “pose dengan jari yang mengarah pada calon, membuat status/komentar “promosi calon” pun sudah merupakan pelanggaran kode etik. 

Badan Pengawas Pemilu propinsi dan kab/kota yang berwenang menerapkan aturan-aturan tentu sesuai kebijakan dan sistem untuk selalu terus mengingatkan aparatur sipil negara (ASN), agar bersikap netral pada perhelatan Pilkada 2020 nanti, khususnya pemilihan gubenur dan bupati. Tidak fokus pada aspek sangsi. Selama ini, aspek pemberian sangsi hampir tidak memiliki dampak efek jera pada ASN yang diduga melanggar karena merasa tidak bersalah, dan tak takut disangsi karena ada atasannya (inkumben) yang akan melindungi.

Dalam konteks Kaltara, institusi yang berkompeten dalam penegakan hukum dan pengawasan ASN berpolitik praktis khususnya Bawaslu diharapkan tidak terlalu fokus pada aspek sangsi, sekedar menghimbau, dan hukuman bagi ASN yang melanggar, karena bagaimanapun sesuai amanat undang-undang, ASN memiliki hak politik. Tentu kondisi ideal masih cukup sulit diwujudkan di Kaltara, karena struktur birokrasi yang dikuasai oleh pimpinan kantor dinas yang tidak netral yang notabene adalah kaki tangan sang calon kepala daerah.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh “pengadil” pilkada, pertama, pembuatan instrumen pengawasan beserta sistem pengawasannya perlu diperkuat, misalnya memastikan program-program pemerintah tidak ditunggangi oleh inkumben. Bawaslu pasti sudah memiliki banyak informasi tentang hal ini, potensi program yang bisa “dibajak” oleh inkumben atau oleh suami/istrinya, bisa dari informan, bisa dari sosial media.

Kedua, Bawaslu, KPU, dan institusi penegak hukum, perlu membuat edukasi proses politik agar ASN lebih profesional, memiliki harga diri, tidak mudah dimanipulasi oleh kepentingan atasannya, dan memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat, bukan pelayan atasannya. Ketiga, Bawaslu menciptakan instrumen saluran laporan informasi bagi masyarakat yang ingin melapor adanya pelanggaran dengan mudah, dengan mempertimbangkan sensitifitas, cepat tanggap, dan penanganan yang transparan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhamad Nour

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler