x

Hutan mangrove di Pantai Ayah, memiliki bentuk unik, tak sekadar rimbun. Pepohonan itu seperti pulau-pulau yang muncul dari laut. TEMPO/Shinta Maharani

Iklan

Muhamad Nour

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 18 Juni 2020 15:45 WIB

Ancaman Kerusakan Ekosistem Bakau di Kalimantan Utara

Tahun 1970an, ekosistem hutan bakau dan pesisir laut Kaltara merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Namun, akhir tahun 1980an dan puncaknya akhir 1999an, pembabatan hutan bakau hampir tak terkendali khususnya penebangan pohon bakau untuk kayu bakar, bahan bangunan, dan tambak. Sementara itu, hingga saat ini usaha untuk restorasi atau penanaman kembali hutan bakau, masih minim, kesadaran masyarakat masih rendah, dan pengalihan kewenangan pengawasan dari kabupaten/kota ke propinsi akibat UU Pemerintah Daerah memperlebar kesenjangan pengawasan perikanan di daerah. Dengan jangkauan geografis yang luas, minim jumlah pengawas perikanan, kelompok masyarakat pengawas kurang berperan, solusi nya harus segera dilakukan oleh Pemerintah Kalimantan Utara, bila tidak, dampaknya sangat besar seperti industri perikanan komersil akan mengalami penurunan produksi, nelayan kecil kehilangan mata pencaharian, dan kerusakan ekosistem bakau berlanjut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahukah kamu, berpuluh tahun lalu, luas hutan bakau Kalimantan Utara merupakan salah satu yang terluas di Indonesia. Akhir tahun 1980an dan puncaknya akhir 1999an, pembabatan hutan bakau hampir tak terkendali khususnya penebangan pohon bakau untuk kayu bakar, bahan bangunan, dan tambak. Sementara itu, hingga saat ini usaha untuk restorasi atau penanaman kembali hutan bakau, masih minim, kesadaran masyarakat masih rendah, dan pengalihan kewenangan pengawasan dari kabupaten/kota ke propinsi akibat UU Pemerintah Daerah memperlebar kesenjangan pengawasan perikanan di daerah.

Dengan jangkauan geografis yang luas, minim jumlah pengawas perikanan, kelompok masyarakat pengawas kurang berperan, solusi nya harus segera dilakukan oleh Pemerintah Kalimantan Utara, bila tidak, dampaknya sangat besar seperti industri perikanan komersil akan mengalami penurunan produksi, nelayan kecil kehilangan mata pencaharian, dan kerusakan ekosistem bakau berlanjut. Kini ekosistem hutan bakau yang masih alami sangat sedikit, sisanya hanya seperti etalase diantara ratusan ribu hektar kolam tambak. Jangan heran bila hasil tangkapan nelayan semakin sedikit, karena habitat alami pembiakan, pembenihan, dan pengasuhan ikan semakin sedikit bahkan hancur. 

Yang terjadi juga sekarang adalah penangkapan ikan yang berlebihan atau overfishing, ikan dewasa bertelur terus ditangkap, hingga ikan kecil tak sempat berkembang, dan penangkapan ikan yang merusak atau destructive fishing, seperti dalam konteks Kaltara, pukat harimau yang beroperasi hingga di sungai-sungai bakau kecil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kategori penangkapan ikan yang merusak adalah dengan menggunakan bom atau blast fishing, Kaltara, menurut Interpol dan Bareskrim merupakan salah satu jalur distribusi bahan baku peledak yang berasal dari Sabah, Malaysia. Biasanya pelaku menangkap ikan pelagis (pelagis kecil: kembung, teri, layang) dan ikan karang, umumnya untuk konsumsi pasar lokal.

Kemudian penggunaan racun Natrium atau Potassium Sianida (KCN) untuk melumpuhkan ikan, agar mudah ditangkap dalam keadaan masih hidup, seperti ikan karang dan ikan hias yang bernilai ekonomis tinggi, seperti ikan badut, Napoleon dan Kerapu.

Yang marak juga terjadi adalah penangkapan dengan menggunakan setrum atau aliran listrik untuk melumpuhkan atau mematikan ikan agar mudah dikumpulkan. Biasanya untuk menangkap ikan air tawar, umumnya untuk konsumsi pasar lokal.

Terakhir adalah penggunaan pukat harimau, walau dilegalkan namun secara terbatas karena harus ada izin dari Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Pemda setempat serta memenuhi empat syarat, yaitu: pertama, trawl yang dioperasikan hanya boleh dimiliki oleh nelayan tradisional, bukan nelayan modern. Kedua, hanya dioperasikan di daerah-daerah perbatasan. Ketiga, pengoperasiannya hanya pada zona empat mil dari pantai. Keempat, harus memperhatikan aspek konservasi. Artinya, harus ada closed season di mana trawl tidak boleh dioperasikan pada waktu ikan-ikan sedang bertelur.

Dampak buruk penangkapan ikan yang merusak atau destruktif fishing adalah: terumbu karang rusak, sumber daya ikan berkurang, hilang dan beberapa spesies malah punah, misalnya ikan hiu gergaji, belida, lumba-lumba, dan lain-lain. Dampak lain adalah membahayakan karena bisa menyebabkan melukai bahkan kematian karena strum, bom, ikan yang ditangkap beracun.

Bila menemukan pelanggaran perikanan seperti diatas, jangan ragu mengirimkan SMS ke 0858 8888 4171 atau langsung kontak dengan pengawas perikanan, PSDKP Tarakan, polisi perairan, TNI AL setempat. Informasi yang harus disebutkan dalam laporan SMS bisa mencakup:

  1. Bentuk tindak kejahatan dan/atau pelanggaran perikanan.
  2. Lokasi tindak kejahatan dan/atau pelanggaran.
  3. Waktu kejadian.
  4. Jenis kapal (kapal penangkap ikan, kapal pengangkut ikan dan/atau kapal penelitian).
  5. Tanda pengenal kapal (nomor kapal, bendera, nomor lambung, warna kapal).
  6. Kegiatan kapal (menarik jaring, membongkar dan memindahkan ikan, membuang limbah dan/atau menggunakan cara-cara penangkapan yang merusak ekosistem).
  7. Data lainnya, misalkan arah kapal.

 

Ikuti tulisan menarik Muhamad Nour lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler