x

Ilustrasi wartawan televisi. shutterstock.com

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 21 September 2020 16:58 WIB

Menimbang Permohonan Uji Materi UU Penyiaran oleh RCTI Group (Oleh Kemala Atmojo)

Maraknya layanan Over The Top (OTT) ini tidak saja menghantam media cetak, tetapi juga memukul industri televisi serta perusahaan telekomunikasi. Makin banyak orang  menggunakan WhatsApp atau Telegram. Konten di Youtube milik para Youtuber juga semakin menarik, termasuk munculnya aneka “televisi” berbasis internet. Dengan tidak masuknya OTT ke dalam ranah UU Penyairan, oleh RCTI Group dirasa menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan perlakuan yang berbeda (unequal treatment). Hal itu juga dianggap sebagai tidak adanya kepastian hukum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sidang permohonan uji materi atas Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh RCTI Group sedang belangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).  Bagaimana hasil akhirnya, belum ada yang tahu.  Tulisan ini bermaksud  mejelaskan dengan cara lebih mudah tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Agar menjadi jelas, saya kutipkan dulu bunyi Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang dimintakan untuk diuji itu: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Sedangkan dasar batu uji yang dipakai pemohon adalah Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kemudian Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.  Lalu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”  Sampai di situ, apakah menurut Anda Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa sebenarnya yang diminta oleh RCTI Group? Mereka ingin agar MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “… dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”

Maka, jika permohonan mereka dikabulkan, bunyi Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran akan berbunyi seperti ini: “Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”

Setiap gugatan atau permohonan ke MK sudah pasti ada alasan yang mendasarinya. Jadi apa latar belakang RCTI Group mengajukan permohonan uji materi itu? Jawabnya, tak lain adalah karena maraknya layanan Over the Top (OTT) yang makin hari makin diminati oleh masyarakat. Secara sederhana, OTT dapat dipahami sebagai layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator telekomunikasi. OTT ini setidaknya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori. Pertama, kelompok aplikasi seperti Zoom, WhatsApp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya. Kedua,  konten/video on demand / streaming seperti Youtube, HOOQ, Iflix, Viu, Netflix, dan lain sebagainya; dan Ketiga adalah jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber, Cari Parkir, dan lain sebagainya. Tidak semua layanan OTT itu gratis. Ada juga yang berbayar, sebut misalnya Netflix, iTunes, dan beberapa lainnya.

Saat ini, materi atau konten yang disiarkan melalui channel Youtube, misalnya, demikan banyak dan bervariasi, baik oleh pribadi atau institusi asing maupun lokal. Banyak selebriti, tokoh masyarakat, tokoh politik kita yang memiliki channel sendiri di Youtube. Demikian juga dengan Twitter dan Instagram. Semakin hari semakin banyak orang menggunakan Twitter atau Instagram sebagai sarana menyampaikan pendapat atau berbagi informasi. Saat ini,  Netflix -- meski berbayar -- juga makin mudah diakses oleh para penggemar film di Indonesia setelah Telkom (speedy) tidak memblokirnya lagi.

Maraknya OTT ini tidak saja menghantam media cetak, tetapi juga memukul industri televisi serta perusahaan telekomunikasi pada umumnya. Makin banyak orang  menggunakan WhatsApp atau Telegram daripada SMS, misalnya. Konten di Youtube milik para Youtuber juga semakin menarik, termasuk munculnya aneka “televisi” berbasis internet. Pada intinya, banyak tayangan yang menyajikan “informasi” kepada masyarakat melalui media baru itu.

Dengan tidak masuknya tayangan berbasis internet itu ke dalam ranah UU Penyairan, maka oleh pemohon  Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dirasa menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment). Hal itu juga dianggap sebagai tidak adanya kepastian hukum. Lalu, semua layanan OTT itu hingga kini tidak terikat dengan UU Penyiaran dengan segala konsekuensinya.

Sebagai contoh,  para pemohon sebelum melakukan aktivitas penyiaran harus memenuhi sejumlah persyaratan, misalnya, berbadan hukum Indonesia, memperoleh izin siaran, dan seterusnya. Sementara penyelenggara siaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi berbagai macam persyaratan dimaksud. Lalu, dalam penyelenggaraan penyiaran, para pemohon wajib tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) dalam membuat konten siaran. Jika  melanggar P3SPS, maka akan dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan untuk layanan OTT, tidak perlu tunduk pada peraturan KPI. Banyak konten berupa film juga tidak harus melalui Lembaga Sensor Film (LSF).

Bagaimana menurut Anda? Sudah tepat dan wajarkah jika penyelenggara siaran konvensional mengajukan permohonan uji materi UU Penyiaran? Sebelum lebih jauh, kita perhatikan dulu apa yang diminta para pemohon. Menurut saya, penambahan “frasa baru” dalam permohonan mereka sangat mungkin oleh MK akan dimaknai sebagai “penambahan norma baru” dalam UU penyiaran. Jika penambahan norma baru itu dianggap tidak mungkin atau tidak memenuhi syarat oleh MK, maka permohonan RCTI Group akan segera dotolak atau tidak dikabulkan.

Sebab penambahan norma baru dalam uji materi bukan hanya memiliki syarat yang sangat ketat, tetapi juga mempunyai implikasi yang jauh terhadap UU Penyiaran beserta peraturan pelaksanaannya. Penambahan itu akan menambah subyek dan obyek baru dalam UU. Maka, bisa jadi MK malah menganggap permohonan RCTI Group itu sebagai permohonan pembuatan UU baru tanpa melalui proses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pengaturan media atau media massa di Indonesia diatur secara sendiri-sendiri secara spesifik. Misalnya, dalam hal seni dan pertunjuukan, ada  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pengaturan media luar ruang, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkait iklan. Pengaturan media penyiaran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sedangkan pengaturan media internet, menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Setiap media itu memiliki aturan mainnya sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristik yang berbeda antara jenis-jenis media tersebut. Begitulah jalan pikiran DPR dan pemerintah. Maka, menjadi misleading atau salah persepsi apabila ingin menyeragamkan pengaturan atas aneka jenis media tersebut dalam satu peraturan. Dengan jalan pikiran DPR dan pemerintah semacam itu, maka pelanggaran konten oleh layanan OTT, misalnya, akan ditindak dengan UU ITE. Bukan dengan dengan UU Penyiaran. Pelanggaran terhadap hak cipta akan ditindak dengan UU Hak Cipta; Pelanggaran hak konsumen, akan ditundak dengan UU Perlindungan Konsumen, dan seterusnya.

Bagi masyarakat, marahnya layanan OTT ini jelas menguntungkan. Dari sisi kreator, mereka biosa mengembangkan bakatnya dan berpartisipasi dalam kemajuan bangsanya. Dari sisi penikmat, jelas makin banyak alternatif yang bisa dinikmati. Semua itu sejalas dengan Pasal 13 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.” Juga Pasal 14 yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Lalu disusul Pasal 15 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Saya percaya bahwa pemohon uji materi tidak bermaksud membatasi masyarakat dalam memperoleh informasi dan memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan diri. Hanya saja jalan yang ditempuh mungkin tidak tepat atau tidak sesuai dengan mekanisme yang ada. Apalagi –selain motif adanya ketidaksamaan perlakuan— beberapa orang mencium bahwa dalam uji materi ini motif  bisnisnya juga cukup terasa.....

 

                                                            (Bersambung)

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler