x

Cover buku Masalah Tionghoa

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 8 Oktober 2020 20:27 WIB

Masalah Tionghoa - Antara Asimilasi dan Integrasi

Polemik panjang tentang Asimilasi dan Integrasi di tahun 1960-an

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Masalah Tionghoa di Indonesia – Asimilasi vs Integrasi

Penulis: H. Junus Jahja

Tahun Terbit: 1999

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran                                       

Tebal: 153

ISBN:

 

Buku ini merupakan kumpulan artikel polemik antara kelompok pro asimilasi dan kelompok pro integrasi yang dimuat di harian “Star Weekly” dari tanggal 6 Februari – 25 Juni 1960. Melalui artikel-artikel yang didokumentasikan oleh Junus Jahja ini kita bisa melihat bahwa ada dua aliran utama bagi orang Tionghoa Indonesia yang merasa dirinya adalah Indonesia. Polemik yang terjadi di Harian Star Weekly ini tidak lagi membahas apakah orang Tionghoa harus pro Belanda, pro Tiongkok atau Republik? Mereka-mereka yang terlibat dalam polemik adalah mereka yang sudah memutuskan dirinya menjadi bagian dari Indonesia. Hanya bagaimana caranya menjadi Indonesia itulah yang didiskusikan secara mendalam.

Junus Jahja adalah salah seorang penggagas gerakan asimilasi atau pembauran masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Harus diakui bahwa gagasan untuk membentuk bangsa Indonesia telah dipelopori oleh Bung Karno. Bung Karno yang saat itu menjadi Presiden Republik Indonesia selalu mendorong pernikahan antarsuku yang ada di Indonesia, termasuk orang-orang Tionghoa. Bahkan Sukarno tidak segan menunjukkan bahwa beliau bukan keturunan dari salah satu suku. Sebab dalam darahnya mengalir darah suku Bali dari ibunya dan suku Jawa dari bapaknya. Sukarno membayangkan bahwa kalau semua orang dari satu suku mau mengambil pasangan dari suku lainnya, maka bangsa Indonesia akan terbentuk dengan sempurna.

Gagasan Bung Karno yang beberapa kali disampaikan juga saat bertemu dengan kelompok etnis Tionghoa, setidaknya mempengaruhi cara berfikir orang Tionghoa yang telah mengidentifikasi dirinya sebagai Indonesia. Dua gagasan besar tentang bagaimana menjadi bangsa Indonesia di kalangan Tionghoa adalah melakukan asimilasi, seperti yang didengungkan oleh Sukarno untuk membentuk bangsa Indonesia yang sempurna. Sedangkan satunya adalah integrasi, yaitu orang tionghoa hendaknya dimasukkan sebagaimana adanya sebagai etnis dalam keragaman suku/etnis yang membentuk Indonesia.

Pergulatan ide tentang bagaimana menjadi Indonesia ini tidak hanya terjadi di surat khabar dalam bentuk polemik, tetapi masing-masing kelompok mendirikan organisasi untuk memperjuangkannya. Kelompok asimilasi membentuk Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), dan kelompok integrasi mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Baperki ini sangat menarik karena pada awalnya didirikan oleh kebanyakan orang Tionghoa. Namun menjelang Pemilu 1955, banyak anggotanya yang keluar karena menganggap Baperki kekiri-kirian dan cenderung komunis.

Dari kelompok asimilasi, sepertinya menyepakati cara “asimilasi yang wajar.” Artinya sebuah asimilasi yang dilakukan karena kesadaran diri dan bukan karena dipaksa oleh pihak tertentu. Para tokoh yang menyepakati gagasan ini, dan bahkan membubuhkan tanda-tangannya dalam statemen “Asimilasi yang Wajar” adalah Tjung Tin Jan. Injo Beng Goat, Tjia Dji Siong, Lo Siang Hien, Tan Bian Seng, Ong Hok Ham, Lauwshuantho, Tantekhian, Kwee What Djien dan Aujong Peng Koen. Mereka-mereka ini ada yang menyetujui untuk mengganti nama tionghanya menjadi nama Indonesia, seperti Aujong Peng Koen menjadi Petrus Kanisius (P.K) Ojong, atau sekadar menyatukan tiga suku kata yang membentuk namanya menjadi satu, seperti misalnya Ong Hok Ham menjado Onghokham.

Sementara kelompok integrasi disokong oleh Siauw Giok Tjhan, Lie Gwie Siang dan Yap Thiam Hien. Para penganjur integrasi ini sebenarnya tetap memberi peluang asimilasi atas kehendak pribadi. Tetapi orang Tionghoa sebagai sebuah entitas etnis, hendaknya diakui sebagai bagian dari Indonesia, seperti suku-suku lain yang membentuk Indonesia. Dalam perjalanannya kelompok integrasi ini terpecah menjadi integrasi yang pro komunis dan integrasi anti komunis yang menyebabkan perpecahan dalam organisasi BAPERKI.

Membaca kembali perang opini dalam polemik bagaimana warga Tionghoa menjadi Indonesia di tahun 1960 ini membuat saya tahu bahwa sebenarnya ide asimilasi bukanlah dari negara. Jauh sebelaum negara mendukung gerakan asimilasi dan Orde Baru “menganjurkan” orang Tionghoa mengganti nama, gagasan untuk melakukan asimilasi dan mengganti nama menjadi nama yang lebih Indonesia sudah muncul di kalangan orang Tionghoa.

Di era Orde baru, aliran asimilasi mendapatkan dukungan yang kuat dari negara. Sementara kelompok integrasi malah diidentikkan dengan kelompok yang pro Beijing atau dekat dengan komunisme. Negara ikut campur dalam menggencet kelompok integrasi ini dengan pelarangan bahasa dan budaya Cina digunakan di ruang publik. Padahal salah satu ciri dari integrasi adalah dibebaskannya suatu tenis/suku untuk menggunakan budaya dan bahasanya di ruang publik.

Kondisi sedikit berbalik saat era Reformasi. Di era Reformasi, kebebasan orang Tionghoa untuk menggunakan bahasa dan memperagakan budayanya di ruang publik kembali dibuka. Itulah sebabnya banyak dari orang Tionghoa Indonesia kembali mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Indonesia beretnis/suku Tionghoa. Banyak orang Tionghoa yang lahir di masa Orde Baru mengalami keguncangan identitas karena dibesarkan dalam lingkungan nir-budaya Tionghoa dan tidak lagi memahami bahasa serta sudah tak lagi punya nama tionghoa.

Memang asimilasi yang dipaksanakan atau dianjurkan tidaklah manjur. Bukan hanya orang Tionghoa yang kurang berhasil dalam berasimilasi, gagasan Sukarno untuk membentuk bangsa Indonesia melalui pernikahan antarsuku pun tidak terlalu kelihatan hasilnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler