Judul: Potret Pemenuhan Hak Sipil & Politik Etnik Tionghoa di Singkawang dan Tangerang
Penyunting: Lidya Christin Sinaga
Tahun Terbit: 2020
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tebal: xx + 202
ISBN: 978-602-433-921-0
Sejak kemunculan Ahok Basuki Cahaya Purnama menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta dan kemudian menjadi Gubernur, terlihat gairah anak-anak muda Tionghoa untuk masuk politik praktis. Mereka menjadi anggota partai, ikut pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif. Sepertinya generasi Tionghoa yang lahir setelah tahun 1970 sudah tidak terdampak lagi akan ketakutan masuk ke politik praktis. Kehadiran Ahok yang berani dan berhasil menjadi pemimpin membuktikab hawa Tionghoa mampu berkontribusi secara baik dalam urusan negara di bidang politik dan birokrasi. Namun harus diakui bahwa munculnya Ahok juga membuat sentiment terhadap golongan Tionghoa kembali marak di ranah publik. Dalam buku ini Lidya Christin Sinaga mengutip hasil survai LSI tahun 2017 dan 2018 yang menunjukkan sentimen lama tentang orang Tionghoa marak kembali. Asvi Warman Adam mengutip penelitian Laode yang menganggap bahwa Tjhai Chui Mie – Walikota Singkawang, sedang membawa misi untuk menganeksasi kekuasaan Pribumi atas NKRI bagaikan Cina Singapura menganeksasi kekuasaan Singapura dari pemiliknya kelompok etnis Melayu.
“Potret Pemenuhan Hak Sipil & Politik Etnik Tionghoa di Singkawan & Tangerang” adalah tulisan hasil penelitian di dua daerah yang memiliki populasi etnik Tionghoa yang signifikan. Buku ini membahas sejauhmana hak-hak sipil dan politik warga Tionghoa sudah dipulihkan sejak era Reformasi dan khususnya setelah Ahok memimpin Jakarta. Penelitiannya sendiri dilakukan pada tahun 2019 oleh para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kita semua tahu, dimasa Revormasi telah terjadi banyak perubahan peraturan perundangan yang memberi peluang kepada warga Tionghoa untuk menikmati haknya sebagai warga negara yang setara. Kebijakan tersebut dimulai dari era Presiden Habibie, yaitu dengan dikeluarkannya Inpres No. 26 Tahun 1998 yang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, dan Inpres No 4 Tahun 1999 tentang penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) sebagai syarat pembuatan dokumen kependudukan. Kebijakan yang memulihkan hak-hal sipil warga Tionghoa khususnya tersebut dilanjutkan di era Presiden Abdurrahman Wahid penerbitan Keppres No. 6 Tahun 2000 mengenai Pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Di era Presdien Abdurrahman Wahid inilah masyarakat Tionghoa mulai berani menunjukkan budaya leluhurnya di muka umum.
Penerbitan kebijakan yang mendukung penehuhan hak-hak sipil dan politik warga Tionghoa tidak berhenti di era Gus Dur. Di era Presiden Megawati, Imlek atau hari raya masyarakat Tionghoa ditetapkan sebagai hari libur nasional. Puncaknya, di era Presiden SBY, terbit Undang-Undang No 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraarn lain atas kehendak sendiri.
Apa yang dimaksud dengan Hak Sipil dan Hak Politik? Menurut International Convenant on Civil and Political Rights/ICCPR, dimana Indonesia telah ikut meratifikasnya pada tahun 2005, hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara (hal. 6). Ada 22 hal yang diatur dalam konvensi ini, namun dalam buku ini hanya dibahas 3 hal saja, yakni (1) kiprah di bidang politik untuk ikut memilih dan dipilih serta mempunyai akses ke penyelenggaraan urusan publik dengan syarat yang sama, (2) persamaan kedudukan di depan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dan (3) mendapat perlakuan setara meski sebagai minoritas dalam hal agama dan bahasa.
Singkawang dan Tangerang dipilih sebagai lokasi penelitian karena polulasi Tionghoa di kota ini cukup besar, yaitu 36,5% di Kota Singkawang dan 6,49% di Provinsi Banten yang sebagian besar tinggal di Tangerang. Kedua wilayah ini mempunyai warga Tionghoa yang sudah sangat lama tinggal dan populasi tionghoa miskinnya cukup besar. Baik Singkawang maupun Tangerang mempunyai trauma kekerasan di masa lampaunya. Meski memiliki kesamaan, kedua lokasi penelitian ini juga memiliki perbedaan. Jika kebanyakan Tionghoa di Tangerang sudah kehilangan kebudayaannya, sementara Tionghoa di Singkawang rata-rata masih memelihara budaya leluhurnya. Perbedaan lain adalah Tangerang sangat dipengaruhi oleh dinamika politik nasional karena sangat dekat dengan Jakarta, sementara di Singkawang pengaruh politik pusat kurang besar dibanding dengan Tangerang. Singkawang memiliki organisasi berbasis warga Tionghoa secara lokal, sementara di Tangerang tidak memiliki.
Dua pertanyaan pokok yang berusaha dijawab oleh LIPI dari penelitian ini adalah: (1) Bagaimana perubahan kebijakan terkait etnik Tionghoa di masa pasca Orde Baru ini telah mendorong penguatan hal sipil dan politik kelompok ini? (2) Bagaimana di tengah sentimen dan prasangka cukup kuat, partisipasi politik etnik Tionghoa terus dilakukan?
Masyarakat Tionghoa di Singkawang berasal dari migrasi atas permintaan Sultan Sambas untuk melakukan penambangan emas. Warga Tionghoa ini hidup dalam komunitas homogen dalam waktu yang cukup lama, sehingga mempunyai struktur sosial yang cukup kuat sebagai sebuah kesatuan masyarakat Tionghoa. Mereka pernah mengalami trauma pembunuhan masal di tahun 1967 dalam peristiwa PGRS/Paraku. Banyak dari mereka yang pindah dari pedalaman ke Kota Singkawang setelah peristiwa tersebut.
Kebersamaan dan pengalaman pahit yang dirasakan bersama ini telah membuat rasa solidaritas masyarakat Tionghoa di Singkawang besar. Mereka mempunyai organisasi sosial seperti organisasi Pemadam Kebakaran dan organisasi sosial lainnya secara lokal seperti misalnya Perkumpulan Masyarakat Singkawang dan Sekitarnya (Permasis).
Kehidupan masyarakat Tionghoa Singkawang pada umumnya miskin. Bahkan fenomena para anak gadisnya menjadi pengantin pesanan dari para lelaki Taiwan dan Hongkong terjadi di wilayah ini. Para Amoi – sebutan untuk anak gadis keturunan Tionghoa di Singkawang memilih untuk menikah dengan pria dari Taiwan atau Hongkong guna mendapatkan perbaikan hidup dan bisa menolong keluarganya yang sangat miskin.
Sejak era reformasi pemulihan hak-hak sipil masyarakat Tionghoa di Singkawang mulai terlihat. Perayaan Imlek dan Cap Go Meh dilakukan besar-besaran dan bahkan dijadikan kegiatan untuk menarik wisatawan. Kota Singkawang memilih untuk mendirikan Patung Naga sebagai salah satu simbol kota.
Di era reformasi, ternyata banyak orang Tionghoa di Singkawang yang berhasil masuk ke partai politik dan menjadi anggota DPR/D dan bahkan menjadi pejabat publik. Warga Tionghoa Singkawang masuk ke dunia politik tidak hanya dari partai-partai nasionalis, tetapi juga melalui partai-partai yang berlatar belakang Islam seperti PPP. Hasan Karman alias Bong Sau Fan memenangkan kontestasi pemilihan walikota Singkawang, disusul oleh Tjhai Cui Mie. Pencalonan wakilota periode 2017-2022 sangatlah menarik karena ada dua calon perempuan etnis Tionghoa yang saling berhadap-hadapan.
Masyarakat Tionghoa Tangerang lebih banyak dari kelompok yang disebut sebagai Cina Benteng. Mereka ini adalah para pelarian dari kerusuhan Tionghoa tahun 1740. Pekerjaan utama Cina Benteng adalah bertani. Kebanyakan dari mereka ini hidup dalam kesulitan ekonomi.
Di masa Orde Baru, banyak Cina Benteng yang tidak mempunyai dokumen kependudukan karena tidak mempunyai cukup uang untuk mengurusnya. Mereka kesulitan untuk mengurus SBKRI. Padahal SBKRI adalah syarat utama bagi warga Tionghoa untuk mengurus dokumen kependudukan lainnya di masa Orde Baru. Akibatnya banyak dari mereka yang tidak bisa menikah secara sah secara hukum. Akibatnya anak-anak yang dilahirkan juga tidak memiliki dokumen kependudukan yang menjadi syarat bagi akses ke sektor pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Di era Reformasi, Pemerintah telah melakukan beberapa tindakan untuk membantu warga Tionghoa Tangerang untuk memenuhi hak-hak sipil mereka. Salah satunya adalah pengurusan dokumen kependudukan secara gratis yang dilakukan oleh Kota Tangerang melalui Keputusan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tangerang No. KEP.13-Dukcapil/2018. Bukan saja dari pemerintah, organisasi Tionghoa dan berbagai pihak seperti PTMSI, LADI dan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) dan Koperasi Lentera Benteng Jaya ikut membantu masyarakat Cina Benteng untuk mendapatkan surat-surat kependudukan.
Dari sisi budaya, masyarakat Tionghoa Tangerang juga telah mendapat pengakuan dengan pengadaan perayaan Imlek secara meriah di Kecamatan Neglasari, dimana mayoritas warganya adalah warga Tionghoa. Festival Peh Cun yang dulu dilarang, sejak era Reformasi bisa dijalankan kembali dan bahkan menjadi ikon wisata.
Meski demikian warga Tionghoa di Tangerang masih berpotensi menghadapi kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif.
Dari segi partisipasi politik, warga Tionghoa Tangerang juga terlihat ada kemajuan. Sejak tahun 2014 partisipasi warga Tionghoa Tangerang dalam pemilihan anggota legislatif terus meningkat. Beberapa calon legislatif tersebut berhasil menduduki kursi DPR di Pemerintah Pusat dan di DPRD Kota Tangerang. Namun harus diakui bahwa belum ada etnis Tionghoa yang berhasil menduduki posisi kepala daerah di Provinsi Banten maupun di Tangerang.
Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa telah terjadi kemajuan dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politik warga Tionghoa di Singkawang dan di Tangerang sejak era reformasi. Namun pemenuhan hak sipil dan politik tersebut tidak terjadi secara homogen antara Singkawang dan Tangerang. Sejarah migrasi, pola relasi antaretnik sangat berpengaruh terhadap kemajuan pemenuhan hak-hak sipil dan politik warga Tionghoa.
Buku ini menyimpulkan bahwa meski secara peraturan perundangan warga Tionghoa sudah banyak mendapatkan kemajuan dalam hal menjamin hak-hak sipil dan politik, namun warga Tionghoa masih berhadapan dengan prasangka dan sentimen masyarakat serta elite politik yang belum bergerak dari warisan kolonial dan Orde Baru yang memandang etnis Tionghoa sebagai liyan/other.
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.