x

Hari Guru

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 25 November 2020 12:52 WIB

Guru adalah Ujung Tombak, Wajib Kompeten!

Bila di lapangan bola, dalam permainan normal, seorang striker/penyerang/ujung tombak tak perah mencetak gol, maka tim tidak pernah akan menang. (Supartono JW.25112020)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerdas akal dan pikiran, rendah hati, santun, berbudi pekerti luhur serta berkarakter dalam perilaku kehidupan adalah wujud dari manusia terdidik. (Supartono JW.25112020)

Tanpa mengurangi rasa hormat atas perjuangan guru, dan saya pun melihat berbagai keberhasilan yang telah dilakukan dan disumbangkan oleh guru, dalan artikel ini, saya hanya menyorot hal-hal yang membuat pendidikan di Indonesia terus terpuruk.

Siapa yang memiliki tanggungjawab menghasilkan manusia Indonesia cerdas akal dan pikiran, rendah hati, santun, berbudi pekerti luhur serta berkarakter dalam perilaku kehidupan? Satu di antara jawabnya adalah guru. Lebih tepatnya guru dalam arti denotatif dan guru dalam arti konotatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Guru denotatif adalah yang bertugas mendidik di sekolah, dan guru konotatif adalah berbentuk pengalaman, panutan, teladan, contoh dll.

Lalu, mengapa sudah 75 tahun Indonesia merdeka, pendidikan di Indonesia masih tertinggal? Bahkan bersaing di Asia Tenggara saja masih tercecer. 

Berdasarkan hasil penilaian Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah.

Dari hasil penilain PISA, dengan metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global, meyatakan bahwa nilai tingkat membaca siswa Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sementara nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Nilai tersebut cenderung stagnan dalam 10 - 15 tahun terakhir.

Selain hasil rapor penilain PISA yang cenderung stagnan dalam 10 -15 tahun terakhir, bangsa ini juga dapat melihat sekaligus merasakan, bagaimana sikap masyarakat Indonesia pada umumnya yang pernah terdidik dari wujud kecerdasan akal dan pikiranya, kerendahan hati, kesantunan, berbudi pekerti luhurnya, serta karakter dalam perilaku kehidupan sehari-harinya.

Bila melihat hasil rapor PISA dan sikap perilaku kehidupan sehari-hari, dari rakyat jelata hingga rakyat tak biasa, kini semakin nampak tak ada bedanya. Malah  para manusia terdidik yang kini duduk di kursi terhormat saja, banyak yang tak dapat menjadi panutan dan teladan.

Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga, itulah gambaran proses dan hasil pendidikan di Indonesia hingga berusia 75 tahun. Rapor pendidikan secara akademis selalu terpuruk, jatuh. Sudah begitu terus tertimpa tangga karena jauh dari suri teladan.

Semua akar masalah pendidikan ini, sumber dan benang kusutnya ada di pundak guru denotatif dan konotatif yang belum mampu bertanggungjawab duduk sesuai fungsi dan tugasnya.

Guru denotatif yang ada di kelas-kelas itu, bukan seperti perangkat komputer atau laptop yang sudah memiliki sistem dan dapat dioperasikan oleh siapa saja. Guru denotatif, sekurangnya wajib menyandang kata-kata cerdas, berkarakter, kompeten, berkualitas, berpengalaman, berwawasan, kreatif, imajinatif, inovatif, dan memiliki karya sesuai bidangnya atau bidang lain, sehingga dipercaya siswa di dalam maupun di luar kelas.

Saat siswa tidak percaya kepada gurunya di dalam kelas karena gurunya tak memiliki kualifikasi dan syarat kata-kata yang seharusnya ada di dalam diri seorang guru, maka siswa sudah mengabaikan guru di dalam kelas, kendati sang guru berijazah S1 atau S2 atau bahkan profesor sekali pun.

Di luar kelas siswa semakin tidak percaya. Saat siswa kemudian menjadi dewasa dan duduk bekerja serta menjadi orang tua, hasil pendidikan yang tidak matang pun terlanjur berbaur dengan kehidupan pada umumnya, sehingga sulit sekali lahir manusia-manusia yang dapat jadi suri teladan di Indonesia. Malah manusia Indonesia yang kini berebut duduk di kursi parlemen dan pemerintahan lebih nampak banyak "mengakali" dalam menjalankan pekerjaan yang seharusnya amanah untuk rakyat.

Semua drama kehidupan di Indonesia, satu di antara benang kusutnya, bersumber dari keberadaan guru denotatif dan guru konotatif.

Mereka berdua adalah ujung tombak yang sewajibnya dapat mengangkat keterpurukan pendidikan di Indonesia. Bagaimana pendidikan di Indonesia akan lepas landas, guru denotatif dan konotatif saja masih terpuruk.

Lihatlah rapor hasil tes Uji Kompetensi Guru (UKG)? Apakah dari sekian tahun diselenggarakan UKG, rapornya berhasil? Bila hasil tes UKG juga masih terus menjadi perdebatan karena tes UKG tidak mencerminkan peta di lapangan, bisa juga kita melihat berbagai tolok ukur lain, bahwa guru di Indonesia memang sangat banyak yang tak layak dan masuk kualifikasi menjadi guru. 

Bahkan, karena banyaknya guru yang belum berkualitas dan tidak berkompeten, tapi justru terus menjadi guru serta parahnya masih berparadigma guru itu mengajar, bukan mendidik, benang kusut ini entah sampai kapan akan terurai.

Artinya, hingga saat ini, guru denotatif ini masih belum tergarap, belum tertangani, belum terpecahkan, sehingga kesalahan proses pendidikan terus terjadi dan masif di seluruh Indonesia. Menjadi guru denotatif masih sangat mudah, meski si guru belum layak dan tak memiliki kualifikasi dan kompetensi menjadi guru.

Mengapa saya dapat mengungkap persoalan pebdidikan dan guru itu? Bahkan dapat saya simpulkan tentang keberadaan guru konitarif dan denotatif?

Rasanya berada langsung di tengah-tengah dunia pendidikan lebih dari 30 tahun, cukup bagi saya sedikit memahami mengapa pendidikan di Indonesia terpuruk. Saat saya di kelas dengan siswa, saat saya di ruang-ruang pelatihan, ruang seminar, dan di ruang-ruang kreatif dan inovatif bersama guru, saat saya mendampingi kepala sekolah dan guru, di situlah saya mencatat semua rapor tentang pergerakan pendidikan di Indonesia, yang dapat disumpulkan cenderung jalan di tempat.

Jadi, melalui artikel ini, di peringatan Hari Guru Nasional (HGN), saya kembali mengetuk dan menggedor pintu hati stakeholder terkait, agar benar-benar menggarap dan memproses ujung tombak pendidikan kita, yaitu guru benar-benar, benar.

Guru itu pendidik, guru cerdas dan berkualitas, guru itu kompeten di bidangnya dan berwawasan luas, guru itu kreatif dan inovatif, guru itu minimal memiliki karya sesuai bidangnya dll.

Miris rasanya bicara soal guru di Indonesia, padahal pnetapan HGN sendiri berkaitan dengan riwayat berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI berawal dari Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang telah berdiri sejak 1912.

Kemudian, pada 1932, PGHB berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).
Saat zaman kependudukan Jepang, PGI dilarang melakukan berbagai aktivitas karena segala jenis organisasi dilarang di saat itu.

Baru setelah Indonesia merdeka, pada 1945, Kongres Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 di Surakarta, terbentuklah organisasi PGRI untuk mewadahi semua guru di Indonesia. Dan,
pemerintah RI pun menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Keppres tersebut menetapkan berdirinya PGRI sekaligus sebagai Hari Guru Nasional, yaitu 25 November.

Jadi, sejak ditetapkan HGN, maka tahun ini adalah peringatan yang ke-26. Di peringatan ke-26, pemerintah memberikan tema HGN "Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar".

Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa tema itu terasa tak nyambung dengan esensi HGN dengan melihat fakta yang terjadi pada guru denotatif dan konotatif?
Mengapa temanya lebih terdengar seperti slogan?

Mas Nadiem, lihatlah fakta tentang keberadaan guru di Indonesia seutuhnya. Mereka itu ujung tombak untuk mengatasi semua keterpurukan pendidikan dan perikehidupan.

Bila di lapangan bola, dalam permainan normal, seorang striker/penyerang/ujung tombak tak perah mencetak gol, maka tim tidak pernah akan menang. (Supartono JW.25112020)

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB