Dari Keluarga Menopang Kesehatan Mental Remaja

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Transformasi Peran Keluarga dalam Menopang Kesehatan Mental Remaja: Suatu Analisis Dialektis
Iklan

Kadang saya merasa orang tua tidak paham dengan perasaan saya

Oleh Naila Al Madina, Universitas Islam Sumatera Utara

Wacana ini ditulis oleh Naila Al Madina, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kadang saya merasa orang tua tidak paham dengan perasaan saya. Mereka hanya menyuruh saya belajar, tetapi tidak pernah bertanya bagaimana kondisi hati saya,” ungkap seorang remaja perempuan dalam wawancara lapangan di Medan pada tahun 2023. Pernyataan sederhana ini mencerminkan kenyataan bahwa peran keluarga dalam menopang kesehatan mental remaja masih kerap diabaikan.

Padahal, menurut WHO (2017), masalah kesehatan mental di Indonesia belum memperoleh perhatian yang memadai. Individu yang mengalami gangguan jiwa masih kerap diberi label stigmatis seperti “gila,” dan keluarga sering kali tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk merespons kebutuhan psikologis anggotanya.

Kesehatan mental remaja sejatinya merupakan fondasi yang menopang tumbuh kembang mereka, baik secara kognitif, emosional, maupun sosial. Masa remaja adalah fase kritis yang membutuhkan nutrisi psikologis setara dengan kebutuhan biologis. Penelitian Mardhiyah (2019) menunjukkan bahwa tingkat stres berlebih lebih banyak ditemukan di kalangan mahasiswa dibandingkan masyarakat umum, memperlihatkan bagaimana tekanan akademik dan lingkungan sosial dapat memperburuk kondisi mental generasi muda.

Definisi kesehatan mental menurut Suwijik dan Qurrota A’yun (2022) tidak sekadar ketiadaan gangguan jiwa, tetapi lebih pada kapasitas individu untuk mengelola emosi, menghadapi tantangan, serta tetap berfungsi secara optimal dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kesehatan mental bukanlah kondisi pasif, melainkan suatu proses aktif yang dipengaruhi oleh lingkungan, terutama keluarga.

Keluarga, khususnya orang tua, berperan vital sebagai pendamping emosi anak. Santrock (2007) mengemukakan adanya dua pola utama dalam pengasuhan emosional: emotion coaching dan emotion dismissing. Orang tua yang memilih emotion coaching akan menjadikan momen emosi negatif sebagai peluang pendidikan, membantu anak mengenali dan menamai perasaannya, serta melatih keterampilan menghadapi emosi. Sebaliknya, pola emotion dismissing cenderung menolak atau mengabaikan ekspresi emosi anak, sehingga anak tidak mendapatkan ruang aman untuk menyalurkan keresahannya.

Pola komunikasi dalam keluarga yang hangat, konsisten, dan terbuka terbukti menjadi benteng pelindung bagi kesehatan mental remaja. Penelitian Cahyanti (2020) menekankan pentingnya lingkungan rumah yang damai, penuh kasih sayang, dan edukatif. Tanpa itu, remaja rentan mencari pelarian di luar keluarga yang justru dapat menyeret mereka pada pengaruh lingkungan negatif. Santi dan Fithria (2017) juga menambahkan bahwa komunikasi yang jujur dalam keluarga menciptakan rasa aman sekaligus menumbuhkan resiliensi pada anak untuk menghadapi tekanan eksternal.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak keluarga yang gagal menyediakan ruang dialog yang sehat. Nugraha dan Maemunah (2023) mencatat adanya kecenderungan egoisme antar anggota keluarga, di mana kepentingan pribadi lebih dominan daripada kepentingan kolektif. Ketidakseimbangan peran dan kurangnya empati ini berkontribusi terhadap meningkatnya keresahan emosional remaja.

Remaja yang tumbuh dalam keluarga suportif memiliki daya adaptasi yang lebih baik ketika menghadapi problematika hidup. Sebaliknya, minimnya dukungan keluarga akan memperbesar kerentanan mereka terhadap stres, depresi, maupun gangguan emosional lainnya. Oleh karena itu, keluarga bukan hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga sebagai ruang dialektika emosional yang memungkinkan remaja mengembangkan identitas diri dengan lebih sehat.

Kebijakan publik juga telah menempatkan kesehatan mental dalam kerangka hak asasi manusia. UU No. 18 Tahun 2014 menegaskan bahwa upaya promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif harus dijalankan secara berkeadilan, transparan, dan non-diskriminatif. Dalam konteks keluarga, hal ini dapat diwujudkan melalui pola asuh yang suportif, komunikasi yang menenangkan, serta pendidikan emosional yang konsisten sejak dini.

Dengan demikian, transformasi peran keluarga dalam menjaga kesehatan mental remaja merupakan keniscayaan. Jika keluarga gagal menjalankan fungsinya, maka remaja akan kehilangan jangkar psikologis yang mereka butuhkan untuk menghadapi kompleksitas dunia modern. Sebagaimana ditegaskan oleh seorang informan dalam penelitian lapangan, “Saya tidak butuh banyak nasihat, saya hanya ingin didengar.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kunci utama keberhasilan keluarga dalam menopang kesehatan mental anak bukanlah sekadar pada banyaknya aturan, melainkan pada kehadiran yang penuh empati.

Pada akhirnya, keluarga harus dipahami bukan hanya sebagai institusi biologis, melainkan sebagai ruang kultural yang membentuk struktur batin remaja. Dialektika peran keluarga tidak berhenti pada tataran retorika, tetapi menuntut praksis nyata dalam keseharian. Bila keluarga mampu bertransformasi menjadi ruang kasih sayang, komunikasi yang sehat, dan pendidikan emosional, maka remaja akan tumbuh menjadi generasi dengan ketahanan mental yang lebih kuat. Namun jika keluarga abai, maka krisis kesehatan mental remaja hanya akan semakin menganga. Pilihan ada pada keluarga: menjadi benteng atau justru menjadi celah.

Naila Al Madina, penulis artikel ini
Email: [email protected]
Corresponding Author

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler