Cerpen : Sang Jurnalis
Sementara itu, di sebuah rumah mewah dengan arsitektur terkini, seorang lelaki setengah baya sedang asyik membaca koran lokal. Dahinya berkerut. Sesekali wajahnya tampak memerah. Dan tiba-tiba, koran yang dibacanya langsung dihempaskan di meja. "Sial. Belum tahu siapa aku," umpat lelaki yang dikenal dengan julukan Pak Besar. Dalam hitungan detik, diraihnya sebuah handphone merek terkini. Beberapa digit nomor terpencet. Tut...tut...tut... Tersambung.
"Saya Pak Besar. Bisa bicara dengan Pak Liluk," jawabnya dengan suara sangat keras.
"Maaf Pak. Beliau belum di tempat. Ada pesan?" ujar wanita itu.
"Sampaikan kepada Pak Liluk. Perjanjian hari ini batal. Batal," kata Pak Besar langsung mematikan telepon.
"Iya. Sebentar," ujar lelaki yang bernama Remi.
Dengan langkah penuh keterpaksaan, Remi menuju ruangan Pak Liluk yang merupakan pimpinan perusahaan sekaligus pemimpin redaksi Suratkabar Mingguan Kabar Burung. Tok...tok.. tangannya mengetuk pintu.
"Bapak memanggil saya," ujar Remi.
"Iya. Hari ini headline koran kita jadi perbincangan di mana-mana. Berita yang kamu tulis menggegerkan jagad daerah ini. Banyak tanggapan berdatangan. Ratusan sms mengalir ke HP saya. Itu sangat bagus. Dan yang mengejutkan juga, Pak besar, konglomerat terbesar di daerah kita ini juga membatalkan kerjasamanya dengan koran kita. Jadi skornya satu-satu," jelas Pak Liluk sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.
"Iya. Tulisanmu benar dan akurat. Dan setiap berita ada konsekuwensinya. Bagi koran kita ini, yang hidupnya senin-kamis, upaya untuk mendapatkan suntikan dana dari Pak Besar sudah tertutup. Jadi kita harus siap menerima konsekuwensinya," ujar Pak Liluk.
"Kita kan sudah terbiasa dengan style seperti ini Pak. Jadi kenapa kita harus mengorban idealisme kita hanya untuk sesuatu yang belum tentu bermanfaat bagi kehidupan orang ramai," kata Remi. Keduanya terdiam. Ruangan pun sunyi. Cecak pun enggan bergerak.
***
Sudah dua minggu. Remi tak menampakkan batang hidungnya di kantor. Kabarnya pun tak ada. HP pun sulit dihubungi. Bahkan pesan lewat sms tak dijawab. Sejuta tanya mengelantung dalam hati rekan sekantornya. Segudang pertanyaan pun terlintas dalam pikiran sahabat-sahabatnya. Bahkan terlintas pikiran nakal, jangan-jangan Remi diculik kelompok Pak Besar. Maklum kelompok Besar dikenal sebagai pengusaha yang tak mengenal etika haram dan halal dalam berbisnis. Prinsif yang teranutpun sangat tegas dan jelas. Hantam dulu. Urusan belakangan. Kan segala sesuatunya bisa diatur dan diatur. Yang penting pelicinnya besar dan menggoda para pembuat keputusan dan pemegang kekuasaan untuk berpihak dan mengabdi kepada mareka.
Bahkan terkadang suara sumbang menggema dari rekan-rekan seprofesinya terhadap dirinya yang dianggap sok idealis dan pahlawan kesiangan.
"Benar Pak. Keahlian kami hanya bertani dan bersawah. Nah kalau sawah kami dijadikan areal pertambangan, kami ini kerja apa? Penambang? Kami ndak paham. Ndak paham," sambung Mbah Culun.
"Tapi kata bapak-bapak yang di atas, kami ini pembangkang karena menolak pembangunan. Apakah pembangunan harus merugikan rakyat?. Apa memang pembangunan harus mengorban rakyat kecil? Duh gusti, gusti. Memang begini toh nasib jadi wong cilik dan orang susah. Selalu tersusahkan dan disusahkan. Paling dihargai saat musim kampanye saja," sela Pak Bimbang.
Hal senada juga terlontar dari mulut berbisa Pak Besar. "Kehadiran kami di sini untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk kepentingan rakyat daerah ini. Hanya itu niat saya. Tidak lebih dan tidak kurang," ujar Pak Besar dengan intonasi suara penuh senyum kemenangan.
***
Remi baru saja usai mandi. Ketukan pintu di rumah kontrakannya di gang sempit membatalkan niatnya untuk berganti pakaian. Pintu terbuka. Terlihat wajah Rifo teman sekantornya dengan senyum penuh sukacita.
"Masuk, Ndan. Tumben pagi-pagi udah bertamu. Kayaknya ada info terhebat ya," sapa Remi yang memanggil Rifo dengan sebutan komandan.
"Aku bawa kabar besar dan maha dahsyat untuk kau. Semalam Pak Besar, konglomerat yang katanya kebal hukum dan kebal segala macam itu ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan," jelas Rifo.
"Kok ditangkap," tanya Remi heran.
"Iya, ternyata selama ini Pak besar itu melakukan kegiatan yang illegal. Bukan cuma merusak lingkungan tapi juga merusak mental dan moral masyarakat. Bahkan aparat KPK kini terus mengusut keterlibatan petinggi daerah dalam kegiatan Pak Besar," ungkap Rifo.
"Kalau itu mah, bukan merusak mental dan moral. Tapi merusak kantong Pak Besar," jawab Remi sekenanya. Keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Sementara di surat kabar, berita tentang tertangkap tangannya Pak Besar menjadi headline koran-koran dan media massa.
Ikuti tulisan menarik Rusmin Sopian lainnya di sini.