x

ilustr: Guayasamin Museum

Iklan

Rofi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Juni 2021

Selasa, 15 Juni 2021 06:36 WIB

Ketika Manusia Memonopoli Dosa dan Pahala

Tulisan ini fokus pada sikap manusia yang telah memonopli konsep dosa dan pahala. Manusia cenderung memperhitungkan keuntungan yang didapat atas perbuatannya. Mereka tidak bukan belajar memahami dampak yang ditimbulkan atas tindakan yang telah dilakukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampai detik ini banyak manusia beragama berupaya berlomba-lomba dalam menyempurnakan hidupnya untuk mencapai kedudukan yang agung di alam keabadian atau yang biasa kita sebut sebagai akhirat. Agama kemudian dijadikan tolok ukur dalam membangun standar lulus atau tidaknya manusia menuju alam tersebut. Dalil-dalil agama yang bersifat universal dibongkar sesuai kebutuhan zaman beserta konteks yang menyertainya. Tidak sedikit muncul perbedaan tafsir dalam memahami nilai agama yang tertuang di dalam kitab suci mereka. Dari sekian banyak nilai agama yang dijadikan pondasi oleh manusia, dapat dikerucutkan dalam dua hal yang biasa diperlakukan secara dikotomis. Sebut saja dosa dan pahala.

Konsep dosa dan pahala seakan diberikan pembatas oleh manusia untuk menunjukkan perbedaan yang tegas antara keduanya. Dosa seringkali diatribusikan pada tindakan manusia yang tidak terpuji, bentuk kebodohan, keserakahan, dan memberikan dampak pada keresahan jiwa maupun penyesalan. Berbanding terbalik dengan atribut yang disematkan pada kata pahala. Kriteria pahala dimaknai dalam bentuk kehormatan, sikap jujur, perbuatan yang terpuji, serta berbagai sikap yang membawa sugesti ketenangan.

Pandangan ini membawa manusia memaknai konsep “dosa dan pahala” dengan sangat hierarkis. Dosa seakan sebagai dianggap rapor merah bagi siapapun yang telah melakukan sebuah tindakan yang dinilai memenuhi kriteria tersebut untuk diberikan tuntunan, ditolong, ataupun diarahkan pada jalan yang benar sesuai tafsir yang dipahami manusia. Dosa juga dipercaya akan membawa manusia dalam kesengsaraan di alam keabadian, oleh karenanya layak untuk ditinggalkan atau dihindari. Di atas dosa, terdapat konsep pahala yang senantiasa diagungkan oleh manusia. Tindakan yang dianggap memenuhi kriteria mendapatkan pahala akan mudah untuk mendapatkan pujian, dijadikan panutan, serta dipercaya mampu membawa kenikmatan di alam keabadian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tafsir Quraish Shihab di dalam Kitab Tafsir Al-Misbah mengenai kandungan Surat An-Nisa’ Ayat 79 tentang tanggung jawab manusia atas tindakannya termasuk perbuatan dosa, bahwa dengan dampak baik dan buruk yang telah ditetapkan oleh Allah, manusia dapat memilah dan masing-masing memiliki hasil atas pilihannya. Hal ini menunjukkan bahwa dosa dan pahala sebenarnya adalah manifestasi pendidikan untuk melatih kedewasaan berpikir manusia dalam memahami dan mengukur dampak atas tindakan yang telah dilakukan. Sehingga dosa dan pahala dapat dipahami sebagai bentuk perpanjangan dampak dari perbuatan yang dilakukan, bukan sebagai sebuah tujuan. Lebih-lebih dijadikan ukuran untuk dimonopoli demi kepentingan pribadi.

Sebenarnya tidak akan menjadi masalah jika pahala dan dosa dipahami dan dijadikan guideline bagi manusia untuk mengukur perbuatannya sehari-hari. Akan tetapi yang menjadi problem ketika manusia membangun konsep dosa dan pahala secara hierarkis yang didasarkan pada besar kecilnya keuntungan atas dampak tindakan tersebut. Dengan perhitungan keuntungan yang mungkin didapat, dampak yang ditimbulkan pada konsep pahala akan tampak begitu menggiurkan bagi manusia. Namun sebaliknya, dampak yang ditimbulkan dari konsep dosa akan dianggap merugikan manusia.

Pola pikir inilah yang akhirnya membangun tembok tebal dalam memahami antara dosa dan pahala. Pada problem yang lebih serius, manusia akan cenderung menggebu-gebu dalam mengejar pahala karena ia mencintai pujian, penghormatan, atau sanjungan yang nantinya didapat secara langsung oleh lingkungan sekitarnya maupun di alam keabadian. Ketika manusia sudah masuk pada ranah tersebut, dosa dan pahala tak hanya dijadikan sebagai alat melakukan monopoli hasil tindakan yang telah dilakukan. Manusia berupaya mencari keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Dengan cara berpikir yang cenderung kapitalistik tersebut, manusia beragama akan disibukkan dalam menghadapi konsep dosa dan pahala. Mereka akan sibuk mencari “profit”pribadi dari tindakan yang dirasa paling menguntungkan pribadinya. Manusia kemudian dengan mudah dilalaikan dari substansi pahala dan dosa yang berupa guidance untuk memastikan bahwa “tindakan manusia minimal tidak berdampak buruk terhadap sekitar”. Bukan pada keuntungan yang akan didapat atas tindakan yang telah dilakukan.

Jika kita merujuk tafsir agama tentang dosa dan pahala mungkin kita memang akan menemukan bahwa di dalam kitab suci ada janji-janji atas dosa dan pahala yang didapat di alam keabadian. Akan tetapi, dosa dan pahala tidak dihadirkan untuk membuat manusia haus akan keuntungan pribadi yang didapat, melainkan memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan dampak bagi sekitarnya. Pada akhir tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa ada atau tidaknya dosa atau pahala, manusia akan terus melakukan monopoli atas setiap tindakan yang ia lakukan demi keuntungan pribadinya.

Ikuti tulisan menarik Rofi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler