x

Pejuang Ciegon yang di tangkap

Iklan

Kang Nasir Rosyid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 8 Juli 2021 14:01 WIB

Kronik Perjuangan Geger Cilegon 1888 (Bagian 2)

Menghormati dan mengenang Pemberontakan Cilegon yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888 (Geger Cilegon 1888

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengantar :  

Dalam rangka menghormati dan mengenang para pejuang rakyat Cilegon dalam melawan Penjajah Belanda, dimotori oleh para Kyai (Ulama) yang terjadi di Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888, saya sajikan tulisan bersambung  yang disarikan dari buku karya Prof. Sartono Kartodirdjo "Pemberontakan Petani Banten 1888".

----------------------

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seminggu setelah pertemuan di Beji (rumah Ki Wasid), tepatnya tanggal 22 Juni, berbarengan dengan selamatan (haul) pendiri tarekat Qadiriyah Syeikh Abdul Qodir Jaelani, diadakan pertemuan besar di rumah Ki Wasid. Sebanyak 9 ekor kambing dipotong untuk jamuan makan. Para kiyai hadir baik yang dari Cilegon maupun dari Serang dan sekitarnya.

Dalam pertemuan yang membahas masalah waktu penyerangan terhadap pejabat kolonial, ada yang minta ditunda karena menurut mereka terlalu dini. Permintaan penundaan itu muncul dari pengikut H. Marjuki yang memang tidak setuju dengan tanggal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Atas adanya permintaan ini, H.Ishak meyakinkan dan mengatakan bahwa penundaan hanya akan merugikan perjuangan suci dan akan membahayakan anggota.

Ahirnya  pertemuan memutuskan tanggal pemberontakan akan dilaksanakan  tanggal 9 Juli 1888, sebab jika dilaksanakan tanggal 12 Juli dianggap terlalu lama dan hawatir tercium oleh pihak musuh. Selanjutnya tanggal 1 Juli 1888, diadakan pertemuan kembali di Beji, saat itulah  Ki Wasid diangkat menjadi panglima perang.

Pasca pertemuan itu, para pejuang terus konsolidasi mematangkan rencana. Ki Wasid dan H. Tubagus Ismail  mendatangi rumah H. Ishak di Seneja pada tanggal 7 Juli 1888 malam. Namun H. Ishak tidak ada dirumah,  sedang menghadiri undangan H. Akhiya di Jombang Wetan yang sedang melaksanakan selamatan hitananan anaknya.

Dirumah H. Akhiya  ini, hadir pula  --selain H.Ishak--  para  pejuang lain seperti H.Sangid Jaha, H.Safiudin Leuwi Beurem, H. Halim Cibeber, H. Madani Ciore, H. Mahmud Terate Udik,  H. Moch.Arsad (Serang) dan H.Tb. Kusen Penghulu Cilegon.

Sepertia biasanya,  acara selamatan seperti ini dijadikan sebagai ajang  konsolidasi, para kiyai yang hadir itu membicarakan masalah rencana pemberontakan sebagaimana telah dibicarakan dalam pertemuan pertemuan sebelumnya.

H. Akhiya (tengah) Pejuang yang dihukum gantung.

Bersamaan dengan itu, kira kira jam 11 malam, datang utusan – kurir — Nyi Kamsidah, istri H Ishak memberitahukan bahwa Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail ada di rumah H Ishak ingin bertemu dengan semua kiyai yang ada rumah H. Akhiya.

Tengah malam rombongan para kyai menemui Ki Wasid dan H. Tubagus Ismail di rumah H.Ishak. Selain Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail,  sudah hadir pula di rumah H.Ishak para kyai seperti H.Abubakar, H.Muhidin,H.Asnawi, H.Sarman dan H.Ahmad.  Malam itu dibicarakan tentang pemantapan rencana dan strategi  pemeberontakan  yang akan dilaksanakan dua hari lagi.

Keputusan yang diambil dalam pertemuan itu, akan disampaikan kepada para kyai yang tidak hadir seperti H.Mohamad Asik Bendung dan para kyai dari Trumbu.

Setelah pertemuan usai, para kyai kembali lagi ke rumah H. Akhiya. Beberapa pejuang kemudian  diutus ke wilayah  yang sudah ditentukan seperti Serang, Tirtayasa, Terumbu, Tanara untuk menyampaikan pemberontakan siap dimulai hari Senin tanggal 9 Juni 1888,  Ki Wasid dan H.Tubagus ismail memerintahkan kepada para pejuang yang ada di wilayah Cilegon dan sekitarnya  untuk bergerak ke Cilegon pada pagi harinya.

Sesuai dengan perintah Ki Wasid itu, maka pada pagi hari tanggal 8 Juli, terjadi arak arakan massa yang berangkat dari rumah H. Akhiya dan berahir di depan rumah H.Tubagus Kusen. Peserta arak arakan ini terdiri dari para kyai dan murid muridnya dengan mengenakan pakaian putih dan ikat kepala disertai dengan iringan takbir dan qosidah menggunaan rebana.

Pihak kolonial mengira bahwa arak arakan tersebut adalah massa yang sedang mengarak anaknya H.Akhiya yang akan dihitan karena sudah menjadi kebiasaan rakyat.

Sementara itu,  Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail, pergi ke Wanasaba menemui beberapa kyai dan para muridnya diantaranya ada Kyai dari kaloran Serang yakni H. Sangadeli. Setelah itu Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail meneruskan konsolidasi ke Gulacir dan Cibeber  menemui beberapa kyai diantaranya kyai H. Abdul Halim, H. Burak dan H. Abdulgani untuk membicarakan rencana final waktu dan teknis pemberontakan.

Malam harinya, Ki Wasid dan H.Ismail membawa pasukan bersenjata golok dan tombak bergerak dari cibeber menuju Seneja, tempat H.Ishak yang dijadikan markas perencanaan pemberontakan.

Tanggal 9 Juli 1888, merupakan  kronik perjuangan rakyat Cilegon melawan penjajah, Pusat pemerintahan di serbu dari berbagai penjuru, sasarannya rumah pejabat  Cilegon baik yang Belanda maupun yang bukan Belanda (pejabat pribumi).

Serangan awal dilaksanakan waktu sepertiga malam menjelang subuh, yang pertama jadi sasaran adalah rumah yang tidak jauh dari rumah H.Ishak ---markas pemberontakan-- yakni tempat tinggal F. Dumas juru tulis Asisten Residen, penyerbuan dipimpin H.Tubagus Ismail.

Dumas berhasil lolos , tapi ahirnya diburu dan di bunuh pagi harinya oleh H.Tubagus Ismail dan Kamidin. Berabarengan dengan itu satu pasukan juga menyerang Kepatihan untuk membunuh Patih, namun Raden Pena, Patih yang sangat di benci rakyat tidak ada di tempat.

Pagi hari  semua pasukan berkumpul di markas pemberontakan yakni Gardu Jombang Wetan, oleh Ki Wasid, H.Tubagus Ismail dan H.Ishak, dibentuk beberapa pasukan yang diberi tugas masing masing untuk menyerbu Kepatihan, Rumah Asisten Residen, Penjara dan rumah pejabat lain yang dianggap sebagai antek antek penjajah.

Gardu Jombag Wetan, Markas Pemberontakan 9 Juli 1888

Untuk kronologi dan bagaimana terjadinya penyerangan, secara umum, tidak saya utarakan disini, yang pasti  saat itu Cilegon  menjadi ajang pembantaian para pejabat yang dianggap sudah menyengsarakan rakyat.

Darah bercucuran, mayat bergelimpangan. Para pejabat ada yang dibunuh di tempat, ada yang melarikin diri  kemudian tertangkap lantas di bunuh dan banyak juga yang hanya terluka akibat serangan para pejuang yang meneriakkan perang sabil.

Intinya, hari itu Cilegon menjadi ajang pertumpahan darah hususnya dari para pejabat kolonial yang di ada di Cilegon.

Ikuti tulisan menarik Kang Nasir Rosyid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB