x

cover buku Dalem Tawanan Djepang

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 13 Agustus 2021 14:14 WIB

Kisah Penangkapan Orang-orang Tionghoa di Jaman Penjajahan Jepang

Nio Joe Lan ditahan oleh Jepang bersama oleh ribuan orang Tionghoa yang diduga pro Kuo Ming Tang dan anti Jepang. Dalam buku ini Ni Joe Lan mengisahkan secara rinci kehidupan dia di dalam tahanan Jepang. Ternyata Jepang memperlakukan para tawanan Tionghoa dengan cukup baik. Jepang tidak kejam-kejam amat dalam memperlakukan tahanan politiknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Dalem Tawanan Djepang

Penulis: Nio Joe Lan

Tahun Terbit: 2008 (cetakan kedua)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Komunitas Bambu      

Tebal: xx + 356

ISBN: 979-3731-31-1

 

 

Buku Dalem Tawanan Djepang karya Nio Joe Lan ini sangat menarik. Menarik karena memberi informasi tentang penangkapan orang-orang Tionghoa di masa Jepang berkuasa di Indonesia. Buku ini juga menarik karena memaparkan secara detail tentang bagaimana Jepang memperlakukan para tahanan politik, khususnya orang-orang Tionghoa.

Sebelum membaca buku ini, saya telah membaca buku-buku tentang Jepang di Indonesia yang isinya menggambarkan perilaku peuh kekejaman. Jepang tak segan-segan memukul mereka yang dianggap bersalah dan merampas apa-apa yang mereka perlukan. Saya juga sudah membaca beberapa buku tentang kehidupan para tahanan politik. Buku Catatan Harian Mochtar Lubis saya baca saat saya masih kuliah dulu. Seingat saya karya Mochtar Lubis tersebut berjudul “Nirbaya – Catatan Harian Mochtar Lubis Dalam Penjara Orde Baru.” Sementara buku “Mutiara di Padang Ilalang” yang mengisahkan kehidupan tahanan G30S 1965 karya Tejabayu saya baca di awal tahun ini. Dua buku tersebut membantu saya dalam membaca buku karya Nio Joe Lan ini. Sebab saya bisa membandingkan bagaimana perlakuan sang penguasa kepada para tahanan politik dari tiga rezim yang berbeda.

Nio Joe Lan ditangkap oleh Jepang pada Hari Minggu tanggal 26 April 1942 di rumahnya (hal. 3). Saat itu dia sedang berada di rumah karena ia lima hari sebelumnya ia dikaruniai anak. Istrinya bahkan masih berbaring di tempat tidur karena baru saja melahirkan. Dia ditahan oleh Jepang sampai dengan tanggal 27 Agustus 1945 (hal. 347). Jadi Nio Joe Lan sepertinya selalu berada di dalam penjara selama Jepang berada di Indonesia.

Mula-mula Nio Joe Lan dibawa ke Penjara Bukit Duri (hal. 6). Kemudia pada tanggal 9 September 1943 ia dipindahkan ke Serang. Pada tanggal 16 Februari 1944 ia dipindahkan lagi ke Cimahi. Jadi Nio Joe Lan ditanah kira-kira 17 bulan di Bukit Duri, 5 bulan di Serang dan 16 bulan di Cimahi. Ia berkisah bahwa selama di Bukit Duri, Serang maupun di Cimahi, orang-orang Tionghoa ditahan dalam penjara dan ruang yang sama. Memang ada tahanan lain, yaitu orang-orang Belanda dan orang-orang bumi putera yang juga ditangkap dan ditahan oleh Jepang. Meski mereka ditahan di penjara yang sama, tetapi mereka tidak dicampur dengan tawanan dari etnis yang lain. Orang Belanda mendapatkan sel di sayap sendiri, orang bumi putera mendapat sel di sayap yang terpisah. Demikian juga orang-orang Tionghoa ditahan di sel di sayap yang berbeda.

Mengapa orang-orang Tionghoa ditangkap oleh Jepang? Nio tidak menjelaskan secara rinci alasan penagkapan orang-orang Tionghoa ini. Ia hanya menyinggung bahwa ada beberapa orang Tionghoa yang sudah terlebih dahulu ditangkap. Mereka-mereka ini adalah pendukung dan anggota Kuo Ming Tang (hal. 5 dan 11). Nio sendiri ditangkap karena profesinya sebagai wartawan. Jika mencermati para tahanan dari etnis Tionghoa ini sepertinya mereka adalah orang-orang yang pro nasionalisme Tiongkok.

Saya mendapat kesan bahwa Jepang menangkapi orang-orang Tionghoa di berbagai kota dan kemudian dikumpulkan menjadi satu di Serang. Nio menjelaskan bahwa di Bukit Duri ia bertemu dengan tawanan lain yang berasal dari sekitar Jakarta. Namun saat di Serang ia bertemu dengan para tawanan dari wilayah Bandung, Merang, Surabaya, Nganjuk bahkan Madura dan Teluk Betung (Lampung). Jumlah mereka sampai 10.000 orang. Mengapa para tawanan Tionghoa ini dikumpulkan jadi satu? Buku ini tidak memberi penjelasan.

Saya tidak menemukan bahwa selama Nio Joe Lan ditahan oleh Jepang, sempat mendapat kunjungan dari keluarganya. Demikian pun saya tidak menemukan ada tawanan yang mendapatkan kunjungan rutin dari keluarganya. Nio kehilangan papa mertuanya dan ibunya saat ia dipenjara. Berita kematian kedua orang yang dikasihinya itu baru diketahui saat ia sudah berada di luar tahanan. Tetapi banyak dari tawanan yang mendapatkan kiriman bahan makanan, pakaian dan uang dari keluarganya. Bahkan di beberapa peristiwa, para tahanan bisa melihat keluarganya dari pintu penjara. Anggota keluara, biasanya istri-istri tahanan itu mencoba untuk melihat suaminya melalui gedung yang ada di depan penjara atau di setasiun saat sang tawanan dipindahkan. Keterpisahan dari keluarga ini adalah hal yang paling berat dialami oleh para tahanan Jepang.

Jepang cukup baik dalam memperhatikan makanan para tawanan. Meski jumlahnya sedikit dan menunya tidak cukup bervariasi, tetapi masih cukup membuat para tawanan tidak sampai kelaparan. Saya membandingkan kualitas dan kuantitas makanan yang disediakan oleh Jepang ini denga napa yang diceritakan oleh Tejabayu saat dia menjadi tawanan peristiwa G30S 1965. Dari kisah Nio, tidak ada satu pun tawanan yang kelaparan. Bahkan mereka sering mendapatkan makanan ekstra, sepeti bubur kacang hijau. Mereka mendapatkan kopi atau bubur bagi yang tidak minum kopi. Sementara Tejabayu mengisahkan bahwa jumlah jagung yang diberikan semakin menyusut. Sampai-sampai ada tawanan yang harus mengumpulkan kecoa dari saluran tinja untuk memenuhi kebutuhan makan saat di penjara.

Hal menarik yang saya dapati dari kisah Nio adalah adanya perpustakaan yang bisa diakses oleh para tawanan. Meski buku-buku tersebut tetap disimpan oleh pengurus penjara, tetapi para tawanan bisa meminjamnya untuk dibaca. Para tawanan juga bisa belajar bahasa dari tawanan lain yang mahir bahasa tertentu. Bahkan ada juga kelompok-kelompok diskusi. Para tawanan juga bisa mengakses alat musik dan melakukan pesta saat perayaan hari besar seperti Tahun Baru Implek dan perayaan lainnya.

Dipenjara sebagai tawanan tentu sangat menderita. Sebab para tawanan jelas kehilangan kemerdekaannya. Mereka jadi terpisah dari keluarga dan masyarakat umum. Namun kalau melihat cara Jepang memperlakukan para tawanan Tionghoa, saya bisa menyimpulkan bahwa Jepang mematuhi aturan penahanan orang dengan alasan politik. Jepang memperlakukan para tawanannya dengan cukup baik. Bahkan tentara yang menangkan Nio Joe Lan di rumahnya menyampaikan permintaan maaf karena ketidak-nyamanan yang dialaminya (hal. 5). Ini jelas sangat berbeda denga napa yang dikisahkan oleh Tejabayu yang juga menjadi tawanan politik. 615

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu