Aroma Persekongkolan Besar di Balik Agenda Amendemen UUD 1945

Kamis, 16 September 2021 06:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penolakan banyak unsur masyarakat terhadap rencana amendemen Konstitusi berakar pada masalah kepercayaan rakyat yang rendah terhadap niat politisi. Kepentingan politik berpotensi mendorong elite politik dan penyambung lidahnya di MPR melakukan perubahan pasal tentang pemilihan prseiden. Mereka tinggal menyusun argumentasi untuk kebutuhan komunikasi ke rakyat. Tidak ada kekuatan politik yang akan sanggup membendung persekongkolan besar elite kekuasaan untuk mewujudkan agenda amendemen mereka.

Penolakan banyak unsur masyarakat terhadap rencana amendemen Konstitusi yang diulang-ulang oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo maupun elite politik lain sesungguhnya berakar pada masalah kepercayaan rakyat yang rendah terhadap niat politisi. Misalnya saja, Ketua MPR berulang kali mengatakan bahwa amendemen akan bersifat terbatas, hanya memasukkan pasal mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Rakyat bertanya: siapa yang menjamin bahwa tidak akan muncul pasal-pasal baru  di luar PPHN?

Keraguan itu wajar, sebab apabila ada pasal tentang PPHN, pertanyaannya: bagaimana jika Presiden tidak menjalankan PPHN yang disusun oleh MPR? Apa konsekuensi konstitusionalnya? Apakah Presiden akan dicopot? Mestinya tidak bisa, sebab Presiden dipilih oleh rakyat, bukan oleh MPR, sehingga MPR tidak memiliki wewenang untuk menghentikan Presiden seandainya Presiden tidak menjalankan PPHN.

Karena mengantisipasi kemungkinan itu, para politisi di MPR berpotensi memunculkan wacana tambahan yang tidak diungkap di publik ataupun dibantah saat ini. Para politisi akan berpikir: kalau begitu, Presiden harus dipilih oleh MPR agar Presiden bisa dimintai pertanggungjawaban bila tidak menjalankan PPHN yang disusun MPR. Dalam sidang-sidang MPR yang relatif singkat pelaksanaannya, lobi-lobi di antara elite politik akan cenderung berlangsung intensif, sehingga terbuka peluang amendemen akan melebar ke berbagai hal.

Apabila pasal tentang hal ini diwujudkan, artinya Presiden tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Maknanya, kita diajak kembali ke masa Orde Baru. Amanat reformasi berpotensi akan dibalikkan ke masa-masa di mana rakyat hanya menjadi penonton pemilihan presiden. Elite-elite kekuasaan akan semakin mudah menentukan pilihan siapa orang yang tepat menurut mereka untuk jadi presiden dan wakilnya. Oligarki akan semakin leluasa memainkan pengaruhnya.

Bila kemudian pemilihan langsung ini hendak dikembalikan seperti pada masa Orde Baru, apa alasannya? Politisi punya seribu alasan untuk membenarkan keputusan mereka bila perubahan itu benar-benar ingin mereka wujudkan. Inilah yang membuat rakyat sangat ragu bahwa politisi akan konsisten pada ucapannya bahwa amendemen hanya akan membicarakan PPHN. Inilah yang membuat para akademisi dan cendekiawan khawatir bahwa amendemen itu akan seperti membuka kotak pandora, karena perubahan akan merembet ke mana-mana.

Tidak ada jaminan bahwa politisi akan hanya menggodog PPHN tanpa mengusik pasal-pasal lain, seperti pertanggungjawaban Presiden dan pemilihan Presiden. Bila kemudian itu terjadi, siapa yang dapat menghentikan langkah MPR berikutnya, misalnya memilih presiden pengganti Presiden Jokowi. Siapa pengganti pilihan MPR? Bukan tidak mungkin pilihan elite politik yang mengendalikan MPR akan jatuh kepada Pak Jokowi.

Bukankah Presiden Jokowi sudah beberapa kali mengatakan tidak berminat untuk menjadi presiden lagi. Nah, bisa saja politisi lain berdalih, ini pemilihan presiden oleh MPR, bukan oleh rakyat; memang Pak Jokowi sudah dua kali dipilih oleh rakyat, tapi Pak Jokowi kan belum pernah dipilih oleh MPR. Jadilah silat lidah.

Kepentingan politik berpotensi mendorong elite dan penyambung lidahnya di MPR untuk melakukan perubahan yang diperlukan manakala pintu amendemen sudah dibuka. Mereka tinggal menyusun argumentasi untuk kebutuhan komunikasi ke rakyat. Tidak ada kekuatan politik yang akan sanggup membendung persekongkolan besar elite kekuasaan untuk mewujudkan agenda amendemen mereka, karena mereka mayoritas. Pada tingkat DPR, pengalaman berbagai penyusunan undang-undang baru maupun revisi telah memperlihatkan bahwa kekuatan mayoritas mereka tidak terbendung, bahkan suara rakyatpun diabaikan.

Inilah yang membuat rakyat sukar mempercayai ucapan para politisi, termasuk elitenya, manakala ucapan dan janji mereka tidak dapat dipegang, dan manakala mereka menyukai ungkapan-ungkapan bersayap yang lentur untuk ditafsirkan apapun sekehendak mereka hingga seolah-olah mereka tidak mengingkari janji. Itulah alasan mengapa rakyat sukar memercayai politisi, oleh sebab pengalaman traumatis menahun yang tidak kunjung terobati. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler