x

Ilustrasi Kepemimpinan. Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 30 September 2021 16:47 WIB

Republik Tanpa Negarawan

Negarawan itu orang merdeka bukan karena jabatannya, melainkan karena pikiran, hati nurani, pilihan hidup, dan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai negarawan, ia akan menjalankan tugas pertama nan terpenting: mendengarkan keinginan, harapan, dan cita-cita rakyat dengan telinganya sendiri. Ia tidak akan membiarkan orang-orang sekelilingnya menjadi penghalang baginya untuk berbicara dengan rakyat—berbicara jujur, tanpa siasat, tanpa telikung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Setiap bangsa butuh kehadiran negarawan agar rakyatnya tetap hidup sehat badan, sehat pikiran, serta sehat jiwa. Manakala hati rakyat pengap dan pikiran tertekan, tugas negarawan untuk mencerahkan: membuka jendela agar cahaya menerangi, membuka pintu agar udara segar mengalir, serta memastikan janji agar harapan tidak sia-sia. Negarawan tidak akan membiarkan rakyat menunggu tanpa kepastian dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Manakala berpolitik, negarawan menepati janjinya sebab ia tidak terbebani oleh kepentingan pribadi. Sebagai pemimpin, ia merdeka dan—dalam kata-kata yang sudah sering diucapkan banyak orang—berdiri atas semua golongan. Ketika ia masih partisan atau berkubu pada kelompok tertentu dan enggan mendengarkan suara kelompok lain, ia belum lagi naik kelas menjadi negarawan. Ia masih seperti politisi pada umumnya, yang belum merdeka dari kepentingan terbatas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai pemimpin bagi rakyatnya, negarawan tidak akan berdalih, mencari alibi, membangun argumen kepura-puraan, dan tidak akan membelakangi rakyatnya. Negarawan tahu, dari rakyatlah ia berasal dan ia akan selalu mengingat hal itu setiap kali muncul godaan dan bisikan untuk membelakangi rakyat. Ia tidak akan menghilang, berkata sibuk, banyak urusan, serta dalih-dalih lain manakala rakyat ingin menjumpainya atau membutuhkan pertolongannya.

Pemimpin tentu saja sibuk, tapi ia tahu siapa orang yang tidak boleh ia tolak bila ingin menemuinya. Mereka itu bukan sejawat elite politik, bukan pejabat tinggi, bukan pencari muka dan perhatian, melainkan rakyat yang suaranya tersekat di tenggorokan, yang hanya bersuara lirih karena cemas, yang hanya ingin menyampaikan sejujurnya. Ia bukan berpihak pada yang kuat untuk menindas yang lemah, sebaliknya ia menekan yang kuat dan menguatkan yang lemah. Negarawan itu orang merdeka bukan karena jabatannya, melainkan karena pikirannya, hati nuraninya, pilihan hidupnya, dan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagai negarawan, ia akan menjalankan tugas pertama nan terpenting: mendengarkan keinginan, harapan, dan cita-cita rakyat dengan telinganya sendiri, bukan melalui telinga dan mulut orang lain; sebab ia tahu benar, terlalu banyak orang yang berbisik hanya untuk menyenangkan hatinya. Negarawan adalah pemimpin yang tidak menarik batas dengan yang dipimpin. Ia tidak akan membiarkan orang-orang sekelilingnya menjadi penghalang baginya untuk berbicara dengan rakyat—berbicara jujur, tanpa siasat, tanpa telikung.

Sebagai pemimpin berhati kesatria, negarawan tidak merasa malu untuk mengaku keliru, yang tidak takut akan diserang lawan politik, yang tidak gusar dikritik rakyat. Ketika ia jujur mengatakan apa yang kurang dan tidak menonjol-nonjolkan apa yang lebih, ia telah menempatkan diri sebagai pemimpin yang mengerti benar bahwa dirinya bukan apa-apa dibandingkan dengan tugas yang diamanahkan kepadanya: tugas sejarah menjadi negarawan, bukan sekedar menjadi politisi.

Negarawan tidak akan sibuk dengan urusan jangka pendek tanpa memikirkan pengaruh dan dampaknya bagi generasi mendatang. Ketika, misalnya, ia berhasrat hendak mencalonkan anaknya agar menempati jabatan publik tertentu selagi ia menjabat jabatan publik juga, maka ia akan memikirkan bahwa itu akan menjadi contoh yang buruk untuk diteladani generasi mendatang. Ia berpikir tentang mewariskan contoh yang baik tentang hidup bernegara dan berbangsa sebagai pemimpin, sebagai negarawan, dengan mengesampingkan hasrat kuasa yang selalu menghampiri dari arah manapun.

Negarawan sudah selesai dengan urusan pribadi, keluarga, dan kerabatnya. Ia mampu dan sanggup menyingkirkan urusan pribadi, keluarga, dan kerabatnya dari tugasnya mengurus negara, sekalipun keluarganya masih membutuhkan. Negawaran tidak akan sibuk memikirkan masa depan politik anak-anaknya, kerabatnya, tapi masa depan bangsanya. Ia menjauhi konflik kepentingan yang mungkin terjadi. Negarawan tidak akan berdiri di wilayah abu-abu, sebab itu boleh jadi merupakan kepura-puraan dan dalih yang sangat buruk bagi negarawan serta jadi contoh yang buruk bagi generasi mendatang. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler