x

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Sabtu, 30 Oktober 2021 12:20 WIB

Belajar Perihal Malu dari Cara Kita Memperlakukan Sampah

Musim penghujan telah tiba. Beberapa daerah akan terendam banjir karena biasanya memang seperti itu, termasuk di Semarang. Tapi, tentunya bukan banjir yang akan dipersoalkan di artikel ini, melainkan sampah yang menjadi penyebab banjir tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 19 Februari 2021, Dinas Lingkungan Hidup kota Semarang mencatat bahwa volume sampah meningkat 10 persen. "Di Tanah Mas itu penanganan sampai dua hari baru selesai. Ada 20 truk yang mengangkut timbunan sampah seperti perabotan rumah tangga. Ada kursi, kasur, sofa yang sudah tidak terpakai karena basah dibuang begitu saja," kata salah seorang pekerja di dinas tersebut, mengutip dari laman Kompas.

Ada  pemandangan yang mungkin tak asing ketika berkunjung ke suatu tempat. Dengan mudah kita akan menjumpai jalan, parkiran, halaman tempat ibadah, diseraki sampah berupa putung rokok, plastik, koran bekas, dan botol-botol.

Sampah-sampah itu seringan kapas. Di lain hal, tempat sampah mudah kita temukan di mana saja. Apakah sesulit itu membuang sampah pada tempatnya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun benda kecil, tapi putung rokok bukan hal yang kecil. Kita bisa melihat gambaran yang lebih besar, sebab bila benda sekecil itu diabaikan, maka sampah lain pun senasib, kecuali ada kepentingan lain, semisal, malu kepada masyarakat.

Kita tahu, membuang sampah sembarangan bukanlah tabiat baik di lingkungan kita. Anda mungkin bertanya, lantas kenapa sampah tetap berlimpah? Jawabannya, karena seseorang tidak tinggal di satu lingkungan saja. Mereka terkadang melintasi lingkungan lain yang masyarakatnya tidak mengenalnya.

Bila begitu, seseorang memiliki kesempatan untuk tak tahu malu di tengah masyarakat yang tak mengenalnya. Itu menjadi alasan, kenapa kita sering melihat orang-orang dengan entengnya membuang sampah di jalan, pusat keramaian, parkiran, dan lainnya.

Di lain tempat, memang ada masyarakat yang tak malu-malu satu sama lain. Maka, yang terjadi sesuai dengan yang diungkit oleh pekerja dinas di atas. Di Tanah Mas, Semarang, 20 truk dikerahkan hanya untuk mengangkut timbunan sampah perabotan rumah tangga masyarakat sekitarnya. Masyarakatnya tidak saling menegur atau mengingatkan, melainkan berlomba-lomba membuang sampah sembarangan.

Yang jadi soal, banyak orang sejak kecil dididik untuk malu kepada masyarakat. Itu tidak keliru. Tetapi akibatnya, orang-orang tersebut bertingkah sesuai dengan tolok ukur masyarakat. Mereka akan berdandan demi memuaskan mata orang lain, bukan untuk kepuasan diri sendiri. Membangun citra yang megah demi diakui orang lain. Tentu itu soal lain. Namun, mengenai mental bagaimana mereka menyikapi sampah tentu tak jauh beda. Barangkali mereka akan membuang sampah-sampah pada tempatnya hanya saat semua mata yang mengenalnya melihat.

Lain halnya bila sedari kecil orang dididik untuk malu kepada diri sendiri. Di mana pun berada, kendati hanya dia dan Tuhan yang tahu, mustahil sampah dibuang begitu saja. Sebab ada dirinya sendiri yang merasa malu bila melakukan itu.

Tapi di Kabupaten Bangka, ada seorang anak muda yang melebihi dari sekadar malu kepada diri sendiri bila membuang sampah sembarangan. Pemuda itu bernama Orie Fachridho Hermawan. Dia lahir di tempilang, 22 September 1998.

Dilansir dari Berita.baca.co.id, Orie bukan hanya menjaga lingkungan agar terbebas dari sampah, melainkan juga mengajak pemuda-pemuda untuk bersama-sama merawat lingkungan. Niatnya dimulai saat dirinya kuliah Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka. Karena sepak terjangnya, Orie sempat menjadi Duta Pemuda Kabupaten Bangka pada 2018. Prestasi lainnya, dia juga tercatat sebagai Atlit Porprov Bulutangkis Provinsi Bangka Belitung 2018.

Selain itu, Tribunnews.com menulis bahwa Orie membangun Komunitas Recycling Generation. Bersama teman-temannya, dia membuat Desa Penyampak, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Belitung, sebagai desa binaan komunitas tersebut.

Mereka menjaga kelestarian Sungai Pengalen, mengolahnya sebagai sumber daya dan mengubah desa tersebut menjadi desa dengan konsep ekowisata, dan memberdayakan masyarakat sekitarnya.

"Kami ingin menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan mendorong program konservasi sungai. Karena keterlibatan masyarakat lokal merupakan kunci utama dalam pembangunan Ekowisata Sungai Pengalen yang sedang kita kembangkan saat ini. Kami berupaya menjaga sungai karena keanekaragaman hayati masih alami," ujar Orie.

Tentu saja akan muluk-muluk bila berharap setiap warga kita dapat menjadi Orie, Orie berikutnya. Tapi minimal, kita bisa mengurus sampah sendiri. Karena dengan cara itulah lingkungan terawat, saluran air tidak tersumbat, dan banjir teratasi.

Bila perlu, pemerintah dapat bekerja sama hingga tingkat kampung. Yaitu, dengan mewajibkan setiap RT memiliki seksi yang dapat memantau aktifitas warganya, dan mensosialisasikan, serta memberikan sanksi-sanksi kepada oknum pembuang sampah sembarangan secara tegas sesuai dengan yang tertulis pada perda. Dengan begitu, warga akan terhindar dari oknum yang gemar nyampah sembarangan.

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler