Unexpected Lover
Kamis, 11 November 2021 13:39 WIBRara telah melewati usia emas pernikahan bagi seorang perempuan. Kala seluruh teman-teman disibukkan dengan urusan mengurus anak dan suami, Rara masih terus mengayuh perahunya menuju sebuah pulau dimana hatinya bertambat kelak. Sampai pada suatu kesempatan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu, Fahri. Lelaki yang jauh dari kriteria yang ia cari selama ini, namun dapat merubah hidupnya. Untuk selamanya.
"Pokoknya, apapun yang terjadi gue gak akan pernah nikah. Biar dijodohin sama anaknya Raja Salman sekalipun kek, N-E-V-E-R," tegas Rara pada dua teman sekolahnya dulu di sebuah cafe di Jakarta.
"Terus gimana sama rencana perjodohan lu yang kemaren itu?" tanya Selly sambil memainkan cold foam di cangkirnya dengan ujung sendok.
"Dion maksud lu? Udah bubar. Apaan baru kenal dua hari udah langsung ngajak tidur bareng, emangnya gue cewek bispak kali, fu*kin' pervert!"
Selly dan Vina tetawa geli melihat ekspresi kesal sahabatnya itu ketika bercerita tentang Dion, seorang eksekutif muda kenalan ayah Rara yang dijodohkan dengannya.
"Terus Ra, bokap lu gimana dong?" kali ini giliran Vina bertanya.
"Taulah, Vin bete gue juga ama bokap gue, maksa banget supaya gue cepet-cepet married."
"Emang udah waktunya lu nikah Ra," sahut Vina.
"Maksud lu, supaya gue juga kemana-mana harus bawa baby kek lu gitu? Hell no," ketus Rara sambil menunjuk bayi yang duduk di baby stroller samping kursi Vina.
Vina meraih bayi laki-lakinya dan menaikkannya ke atas meja—menunjukkan bayi lucunya kepada dua temannya yang belum menikah. "Punya anak tuh enak tau, tiap perempuan pasti pengen yang namanya jadi ibu. Gak usah munafik lu Ra."
"Oh, jadi gue harus gantiin popoknya waktu dia pup; kebangun tengah malem waktu dia nangis; nyuapin makan; mandiin; nyebokin gitu? Ih, males banget."
"Mungkin Rara maunya ngeadopsi... bayi robot, jadi apa-apa tinggal dikendaliin pake remot, gak perlu ribet," timpal Selly sambil meraih bayi itu dan mendudukannya di pangkuannya.
"Lu sendiri juga belom kawin, Bambang!" lirih Rara melempar gumpalan tisu ke arah Selly.
"Eh, napa bapak gue lu bawa-bawa," protes Selly. "Kalo gue mah gampang, tinggal cari duda kaya anak dua kek jadi, yang penting bisa temenin gua shoping tiap weekend."
"Tapi gue serius loh Ra," Vina tiba-tiba memotong. "Kita tuh udah bukan anak SMA lagi, umur kita udah mau 35, masa lu gak ada keinginan buat nikah."
Rara temenung panjang, tatapannya jauh memandang keluar. Mungkin ada benarnya yang diucapkan sahabatnya itu. Dia sudah terlalu lama menyandang gelar sebagai perempuan yang hobi mempermainkan hati pria sejak SMA sampai sekarang.
"Belom ada yang pas aja kali," ujar Selly memainkan tangan mungil bayi Vina yang menggenggam erat jari telunjuknya.
"Udah deh gak usah bahas soal pernikahan gue, rempong juga lu kek bokap gue," gugat Rara mengakhiri lamunan panjangnya. "Kita ke sini kan mau bahas reuni SMA minggu depan."
"Udah gak sabar deh gue ketemu ama mantan-mantan gebetan gue dulu," seru Selly bersemangat.
"Oh ya, siapa Sel? Rio? Deva apa Axel?"
"Masa lu gak tau sih Ra, gebetan dia dulu kan si Hendra yang kacamatanya tebel terus tai laletnya kayak chocochip di bibir," ejek Vina sambil terkekeh.
"Jangan salah, justru tai laletnya itu yang ngebuat gue kesemsem sama dia."
Ketiga sahabat itu tertawa lepas hingga seluruh pelanggan cafe melirik jengkel ke arah mereka.
"Eh iya, lu masih inget Fahri gak Ra?"
Rara menggelengkan kepala. Tapi hati kecilnya berbisik ia seperti pernah ingat nama itu, nama yang penah tersimpan di hatinya dahulu.
"Gifahri masa lu lupa sih?! Yang pernah nembak lu di lapangan pas jam olah raga dulu terus lu tolak itu."
"Oh, Fahri anak Rohis yang kerjaannya tidur di mesjid doang," Rara mengingat. "Emangnya kenapa?"
"Tega banget lu Ra!" ketus Selly. "Anak baik-baik gitu lu tolak mentah-mentah mana di depan banyak orang lagi, kan kasian tau."
"Abis mau gimana lagi," Rara tersenyum getir dan agak dipaksakan. "Model Rio yang punya sedan Corolla atau Axel yang blasteran Jawa-Swiss aja gue tolak, apalagi yang cuman remaja mesjid yang kerjaannya tidur di mesjid doang."
"Tapi kan Ra, kalo aja lu jadian ama dia dulu lu gak akan kek gini sekarang."
"Maksudnya, Sel?" tanya Vina usil.
"Rara gak akan nongkrong ama kita di sini, dia ngumpulnya ama ibu-ibu pengajian di majelis ta'lim."
"Bener banget, dandannya juga gak heboh kayak sekarang. Pake kerudung terus cadaran," tambah Vina dan mereka berdua tertawa tekekeh.
"Udah ah gue gak mau ngomongin dia lagi!" bentak Rara dengan nada tinggi.
Entah mengapa perasaannya jadi tak enak saat nama itu disebut. Fahri bukanlah siapa-siapa bagi Rara dan bukan apa-apa bila dibandingkan dengan deretan pria yang pernah ia patahkan hatinya.
"Lu kenapa sih Ra, daritadi marah-marah terus bawaannya," ketus Selly sedikit tersentak dengan sikap sahabatnya itu.
"Eh guys, gue mesti cabut dulu nih. Suami gue dikit lagi pulang, gue belom masak ama beres-beres rumah."
"Bye bye little boy, sorry ya tante yang itu galak suka marah-marah," Selly menyerahkan bayi di pangkuannya ke Vina.
Sebelum Vina pamit ia sempat mengingatkan, "Pokoknya jangan lupa ya hari Sabtu jam tujuh malem di restorannya Alvi, alamatnya udah gue send ke WA grup. Inget jangan sampe gak dateng lu Ra, Sel."
"Iya emak-emak bawel!" sahut Rara dan Selly bersamaan.
Keesokan harinya di kantor Rara bekerja seperti biasa. Kakinya lincah kesana-kemari hinggap dari satu meja creative team ke meja yang lain. Rara adalah seorang supervisor di kantor ayahnya yang bergerak di bidang advertising. Meskipun bekerja di perusahaan milik ayahnya sendiri, dia tak mendapat perlakuan khusus, setara dengan karyawan yang lain.
Rara menyebut dirinya seorang workaholic. Dia takkan mau pekerjaannya diganggu atau menyetop pekerjaan yang belum rampung. Hal itulah yang membuatnya dipercaya menjabat supervisor, bukan karena ada unsur nepotisme. Rara juga tak mau hanya setor muka ke ayahnya tanpa melakukan apa-apa, sehingga menimbulkan anggapan miring dari rekan sekantornya. Setiap detil konsep yang sedang digarap pasti ada campur tangan Rara di sana. Termasuk hari ini saat dia harus mempresentasikan sendiri konsep iklan pada kliennya sehabis makan siang.
Sehabis pulang kantor Rara pulang ke kamar apartemennya. Mandi air hangat dan membersihkan seluruh riasan wajah, lalu melemparkan tubuhnya ke atas kasur sambil terus men-scroll layar smartphonenya ke segala arah. Ia tak sabar menantikan hari Sabtu, sudah hampir tujuh belas tahun dia tak pernah kumpul bersama teman-teman SMAnya dulu, kecuali Selly dan Vina yang juga merupakan teman sewaktu kuliah.
Ia sedang asyik membaca satu per satu chat yang ada di grup WA alumni SMA. Canda tawa dan hinaan khas anak sekolah yang masih belum berubah meskipun mereka sudah dewasa. Sudah menikah dan punya anak. Bukan anak-anak berseragam putih abu-abu lagi.
Rara pun tak mau ketinggalan ikut nimbrung di tengah obrolan yang makin seru di WA grup itu. Ia mengetik singkat, "Hai semuanya masih pada inget sama gue gak?"
Sepersekian detik kemudian grup itu heboh dan semua orang membalas chatnya.
"Ini Rara? Cewek terfavorit satu angkatan dulu?"
"Rara masih inget gue gak yang dulu pernah ngenterin lu pulang ujan-ujan."
"Rara sekarang udah punya suami belom?"
"Gue dulu yang nulis puisi buat lu di sampul belakang buku lu, Ra!"
"Rara yuk kapan-kapan kita hangout bareng."
"Rara sekarang pasti nambah cantik, jangan lupa dateng ya besok."
Rara tergelitik sendiri di tepi ranjangnya membaca satu per satu chat balasan untuknya. Ternyata ia masih populer seperti tujuh belas tahun silam. Cewek manis yang terkenal jago memainkan hati anak laki-laki di sekolahnya dulu, itulah dia—dan masih belum berubah hingga saat ini.
***
"Menurut lu yang ini cocok gak, Vin?"
"Ya ampun Ra, lu pake apa cocok-cocok aja kok," jawab Vina. "Ayo buruan ntar kita telat nih gara-gara lu kelamaan dandan."
"Tau lu Ra, kayak mau ketemu siapa aja," timpal Selly. "Liat nih gue, cuman pake kaos polo ama jins aja jadi."
Sudah tiga puluh menit Rara sibuk mengacak-ngacak lemarinya. Mengeluarkan seluruh isi lemari dan melemparkannya ke atas kasur hingga penuh dengan tumpukan pakaian.
"Oke ini aja ya?" Rara mengambil short dress berwarna biru cerah lalu mengenakannya. Dipadu padankan dengan kalung liontin hati dan anting perak yang melekat indah di telinganya yang mungil.
"Asli deh Ra, tampilan lu itu jauh banget ama gue yang cuman pake kaos oblong," keluh Selly sambil bercermin di depan kaca.
Mereka bertiga lalu bergegas ke mobil dan segara pergi ke restoran milik Alvi tempat reuni berlangsung. Di halaman parkir restoran itu tertulis, "Parkiran khusus reuni SMAN 378 Jakarta" dan sudah penuh dengan deretan mobil di dalamnya.
Setelah memarkirkan mobil mereka buru-buru masuk ke dalam karena sudah telat setengah jam.
"Gara-gara lu nih kelamaan dandan kita jadi telat kan," sindir Selly saat mereka berlari tergesa-gesa memasuki pintu utama restoran.
"Gue disalahin, udah tau jalanan macet!"
Di dalam restoran meja-meja sudah disusun sedemikian rupa. Tiga meja panjang dihubungkan jadi satu, sehingga membentang panjang di sudut ruangan dan membentuk tiga baris dengan deretan kursi di tiap sisinya. Sudah hampir terisi penuh oleh peserta reuni yang berjumlah lima puluh orang lebih.
"Vina! Sebelah sini!" salah seorang memanggil mereka yang daritadi hanya berdiri di depan pintu memandangi keramaian orang.
"Alvi!" seru Vina membalas lambaian tangan Alvi di kejauhan.
Mereka berjalan menuju meja yang sudah disiapkan untuk mereka, melewati barisan peserta reuni lainnya yang menyaksikan mereka berjalan dari pintu masuk ke dalam. Tidak, mereka tidak sedang memandangi ketiga perempuan itu, tapi satu di antaranya yaitu, Rara.
Rara yang tampil amat cantik malam itu menyita seluruh mata di restoran itu. Rambut panjangnya yang dicat cokelat dibiarkan terurai indah jatuh ke bahu, serta poni yang diroll ke depan menjadi tirai yang menutupi keningnya yang halus. Dia masih tetap seperti dulu, simbol kecantikan di sekolahnya yang masih tetap terjaga.
"Kalian kok telat? Kalian gak nyasar kan?" tanya Alvi cemas dan menyilakan mereka duduk di kursin yang sudah disiapkan.
"Nyasar sih enggak, cuma ribet nungguin tuan ratu dandan," balas Selly tersenyum sambil melirik ke Rara.
Rara tak menggubris sindiran Selly. Ia tengah sibuk tebar pesona pada semua orang yang masih belum bisa melepaskan tatapan kagum ke arahnya.
"Makin cantik aja bro," bisik salah seorang dari ujung meja yang lain.
Lalu dibalas oleh yang lain, "Nyesel dulu gue putusin doi."
Semua orang larut pada obrolannya masing-masing, membagi cerita kenangan mereka dulu di tengah suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu tak putus-putus. Dan setiap saat pandangan semua orang selalu tertuju pada Rara yang dengan anggun menyantap potongan sirloin medium rare di tempatnya. Sebagai orang yang sudah biasa menjadi pusat perhatian dan pemikat hati pria, dia tahu apa yang harus dilakukannya: menatap balik lalu tersenyum tipis. Dua hal yang mampu membuat pria-pria tak berdaya dan salah tingkah dibuatnya.
"Eh liat deh itu kan si Rio," bisik Selly sambil menunjuk ke seseorang di ujung meja. "Berubah banget dia, gak kayak dulu. Sekarang udah jadi om-om perut buncit punya dua anak pula," tutupnya disertai pekikan tawa.
"Untung gue dulu nolak dia," balas Rara.
Tepukan kecil di bahu Rara memutus obrolan mereka. Selly yang menoleh lebih dulu tak kuasa menahan jerit histeris. "Axel! Oh my gosh, look at you man, you're still perfect as you were used to be!"
Rara ikut menoleh ke belakang—ke orang yang menepuk pundaknya dari belakang. Axel, seorang pria blasteran Jawa-Swiss bermata biru yang dulu digilai oleh semua anak perempuan itu tepat berada di belakangnya dan tersenyum.
"Hallo Sel, hallo Ra, lama kita gak ketemu."
Sosok tinggi jangkung yang menjulang itu masih menaruh telapak tangannya di bahu Rara dan tersenyum padanya. Bola matanya yang biru terbesit terkena pantulan cahaya.
"Boleh aku duduk Ra?" tanpa dipersilakan Axel menarik kursi, lalu duduk di samping Rara sehingga Vina yang ada di sebelahnya terpaksa menggeser sedikit tempat duduknya.
"Kerja apa sekarang?" tanya Rara basa-basi yang sebenarnya risi dengan kehadirannya yang tiba-tiba duduk di sebelahnya itu.
"Aku kerja di agensi model, beberapa kali pernah muncul di majalah fashion sama pernah casting model iklan di tv."
"Oh," balas Rara tak bersemangat.
"Axel, kita dulu pernah sekelas kan ya?" Selly ikut menyela dan Rara menghela napas lega karena akhirnya Axel melepaskan tatapannya itu darinya.
Rara lalu meminta diri ke kamar mandi di tengah obrolan Axel dan Selly. Ia beranjak pergi dari kursinya menuju arah pintu keluar untuk menenangkan diri dari kebisingan di dalam ruangan. Namun langkahnya terhenti seketika saat melihat pria yang berada tepat di hadapannya—sedang berdiri dengan dua orang temannya. Seorang pria yang datang ke acara reuni mengenakan baju koko dan celana bahan hitam. Siapa lagi kalau bukan si anak Rohis: Fahri.
Sepintas ia ingin berputar arah dan duduk kembali ke kursinya, tapi wajah Fahri yang sendu dan menyejukan itu memaksanya untuk terus memandanginya. Pandangannya lekat menatap orang aneh yang datang ke restoran mewah seperti orang yang baru selesai sholat Jum'at di mesjid. Tanpa terduga Fahri melemparkan pandangannya ke arahnya, dan mereka bertemu pandang. Jurus maut andalan Rara yaitu balik menatap dan tersenyum tipis tak berlaku di hadapan Fahri. Wajah Rara memerah dan segera membuang muka.
Rara berlari bersungut-sungut ke kamar mandi. Tubuhnya bersandar lemas di tembok, kedua tangannya gemetar menahan debar jantung yang semakin cepat.
"What's wrong with me?" ujarnya dalam hati. "Calm down Rara, nothing's happen there..." ia berkata pada dirinya sendiri sambil mencuci wajahnya dan bercermin di depan kaca wastafel.
Dia menarik napas panjang dan membuka pintu kamar mandi, seolah tak melihat apa-apa sebelumnya. Pada saat kakinya beranjak keluar, ia kembali berpapasan dengan Fahri yang juga baru keluar dari toilet pria di depannya.
"He is not real, cannot be real." Rara memejamkan matanya lalu membukanya perlahan, dan saat ia membuka mata Fahri sudah tidak ada.
"Thanks god," ia menghela napas lega.
Rara segera kembali duduk di kursinya yang sudah kosong tak ada Axel, hanya ada Vina dan Selly. Saat melihat Rara kembali Vina bertanya, "Dari mana aja sih lu? Lama bener."
"Axel ampe pergi nungguin lu balik," tambah Selly.
Peduli setan dengan Axel, ketusnya dalam hati. Dia tak pernah jatuh hati pada pria setengah bule itu. Walaupun kalau mereka pacaran, mereka akan jadi pasangan sempurna dan membuat iri seluruh pasangan di dunia ini. Tetapi bukan Axel orang yang ada di kepalanya saat ini, melainkan Fahri, cowok Rohis yang pernah dipermalukannya di depan umum dulu.
Setelah santap malam dan sesi temu kangen berakhir, acara selanjutnya adalah sesi foto bersama, puncak dari acara ini. Semua orang maju ke depan pelataran restoran, seorang fotografer handal siap mengabadikan momen penuh kenangan itu. Sang juru foto mengatur tiap barisan dan pose sesuai keinginannya. Barisan depan diisi oleh para pria yang berpose setangah duduk dan di barisan belakang para wanita yang berpose menopang dagu sambil tersenyum.
Tiga jepretan foto berhasil diabadikan. Sesi selanjutnya adalah foto terakhir, yaitu foto berpasang-pasangan. Semua orang meneriaki nama Rara dan Axel. Tapi Rara sama sekali tidak tertarik untuk maju ke depan, foto bersanding dengan Axel yang sudah kege-eran bersama sesungging senyum merekah di wajahnya. Menghasilkan sepasang lesung pipit lucu di pipinya.
"Gak ah gue gak mau apaan sih lu, Vin," sanggah Rara waktu dipaksa maju oleh teman-temannya.
"Cuman buat seru-seruan doang kok."
Rara tetap bersikukuh menolak, ia tambah sebal dengan kedua temannya yang masih terus menarik-narik tangannya itu.
Semua orang sudah tak sabar melihat kedua pasangan serasi itu berfoto bersama di depan, mereka memanggil-manggil nama keduanya. Namun, suara bising itu seketika terhenti oleh celetukan Selly.
"Eh, gimana kalo Rara sama Gifahri, setuju?"
Seisi ruangan itu bergemuruh dengan gema tawa mendengarnya. Mereka setuju dengan ide Selly, dan mengganti nama Axel menjadi Fahri untuk diteriakkan bersama-sama.
"Sikat Pak Ustad!!" seru salah seorang dan diikuti oleh gemuruh tawa.
"Selly awas lu ya nanti pulang jalan kaki lu, gak bareng gue!" ancam Rara. Namun kekesalan Rara tak berlangsung lama saat melihat Fahri dengan setelan baju koko dan celana bahan hitam itu maju ke depan tanpa memedulikan tawa semua orang yang ditujukan padanya.
Sang juru keker mengisyaratkan agar Rara maju, berdiri di samping Fahri yang sudah menunggunya di depan. Dengan perasaan jengkel dan terpaksa akhirnya Rara maju ke depan, membuat semua orang heboh. Rara gadis primadona sekolah incaran satu angkatan bersanding dengan Fahri, tukang adzan di mesjid sekolah dulu.
"Assalamu'alaikum, Ra." sapa Fahri begitu Rara mendekat dan berdiri di sampingnya.
Rara tak membalas salamnya, ia malah memasang wajah jutek di depan Fahri. Tapi itu semua hanya sebuah kepalsuan yang dibuatnya untuk membohongi dirinya sendiri—membohongi hati kecilnya. Dalam lubuk hati yang terdalam, ia merasa sangat bahagia mendengar salam Fahri hingga jantungnya berdebar dan bulir-bulir keringat membasahi wajahnya.
Dan acara reuni SMA itupun berakhir. Setelah hampir tujuh belas tahun tak pernah bertemu satu sama lain, melalui acara itu mereka kembali menorehkan cerita baru. Banyak cerita baru yang terungkap setelah reuni itu. Seperti Rio cowok cool dengan sedan Corolla legendnya, kini tak lebih dari om-om biasa dengan perut buncit yang menggelambir. Atau Hendra gebetan Selly dulu, cowok culun berkacamata, yang datang ke acara itu mengenakan seragam perwira Angkatan Laut, begitu gagah. Membuat hati Selly patah saat mengetahui dia telah menikah.
***
Seminggu berlalu setelah acara reuni itu, Rara masih tak bisa lepas memandangi foto di layar smartphonenya. Foto yang diambil di penghujung acara. Foto yang menampilkan dirinya berdiri bersebelahan dengan Fahri yang sedang tersenyum kaku.
"Gue gak ngerti, apa sih yang ngebuat lu begitu spesial? Secara tampang ama kantong jauhlah kalo dibanding ama mantan-mantan gue dulu. Lu tuh gak ada apa-apanya kalo dibandingin ama mereka, tapi gak tau kenapa lu tuh beda," Rara mulai mengoceh sendiri di atas kasur sambil berguling memandangi foto itu. "Tiap kali gue ngeliat lu, hati gue bawaannya sejuk; adem bener tiap kali denger suara lu."
Rara lalu tertidur lelap setelah puas memandangi foto itu untuk hari ini. Hari Minggu berikutnya ketiga sahabat itu kembali nongkrong di cafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Vina kembali membawa si kecil bersamanya, tertidur pulas di pangkuan Selly.
"Lu seriusan? Gak boong kan Ra?" Vina terkejut mendengar pengakuan Rara tentang Fahri yang menghantuinya seminggu belakangan ini.
"Gak abis pikir gue, dulu lu yang buat dia malu setengah mati di depan semua orang, sekarang lu ngejar-ngejar dia, mungkin karma tuh namanya." Selly ikut menimpali cerita sahabatnya yang tampak sedang gelisah itu.
"Ini serius guys, gue juga gak tau kenapa," Rara berujar lemas. "Seminggu ini yang ada di kepala gue cuma dia, ampe semua kerjaan gue keganggu gara-gara mikirin dia terus."
Vina dan Selly merangkul Rara erat, merasakan nada kesedihan yang terpancar dari suaranya itu. "Kita pasti bantuin lu apa aja sebisa kita."
"Plis banget ya kalo lu punya kontaknya dia kirim ke gue, atau gak lu coba tanya ama temen-temen cowok yang laen deh."
"Iya Ra, pasti," ujar dua sahabat itu sebelum mereka berpisah.
Hari-hari berikutnya Rara masih bekerja seperti biasa, namun tak segesit biasanya. Dia lebih banyak melamun di mejanya memperhatikan lalu lalang orang di sekitarnya tanpa melakukan apapun. Saat malam tiba, dia masih terus meratapi foto di layar smartphonenya sampai akhirnya jatuh tertidur.
Gelisah tak menentu, itulah yang ia rasakan sehari-hari. Sampai tiba pesan dari Selly yang mengakhiri malam-malam panjangnya yang penuh penantian.
"Hallo, Ra lu di mana?" suara Selly terdengar memekik di ujung telepon.
"Masih di kantor Sel, masih banyak kerjaan."
"Gue punya kabar gembira buat lu, Ra!"
Rara bingung namun seolah tahu kata yang bakal terucap dari mulut Selly selanjutnya, tangannya gemetar menahan smartphonenya agar tak jatuh dari genggaman.
"Jadi gini Ra, si Fahri itu ternyata punya semacam yayasan panti asuhan atau penampungan anak jalanan gitulah Ra," jelas Selly cepat.
"Eh-eh di mana Sel lokasinya?" tanya Rara tak sabar.
Selly tertawa cekikikan mendengar suara sahabatnya itu. Selama berteman dengannya dari jaman SMA sampai kuliah tak pernah Rara bersikap seperti ini dalam hal mengejar cowok. Apalagi Selly tahu, Fahri bukanlah tipe cowok Rara yang ia kenal.
"Pekayon, Bekasi Selatan," terangnya. "Lu seneng gak Ra?"
"Of course my girl. Gue gak tau gimana caranya terima kasih ama lu, Sel."
"Cukup kirimin martabak manis seloyang ke kantor gue, Ra," serunya. "Oh, ya alamatnya nanti gue share ke lu, oke? Sekarang gue mau lanjutin kerjaan gue juga nih."
"Makasih banyak Sel. Jangankan seloyang, ama tukang-tukangnya gue kirimin ke kantor lu."
Setelah jam makan siang, Rara segera meluncur meninggalkan kantor dan berpesan pada ayahnya, "Pap, aku mau pergi sebentar ketemu temen dulu ya, sisa kerjaanku biar aja nanti aku selesain pas lembur."
BMW Seri 5 berwarna merah mengilap milik Rara menepi di pinggir jalan. Di sebuah sudut kota yang kumuh, di balik gang-gang sempit. Rara turun dengan setelan blazer dan miniskirt melewati tatapan warga sekitar yang terpukau menyaksikannya. Hak high heel yang menunjang sepasang tungkai kakinya yang jenjang hampir patah saat menginjak lubang becek di jalanan sempit menuju yayasan milik Fahri berada.
Dia menghentikan langkah di depan gerbang panti asuhan yang berplang: "Panti Asuhan Al-Ikhlas." Mengedarkan pandang ke dalam tanpa mengucap salam. Lalu seorang bocah kurang lebih berusia sembilan tahun datang menghampirinya.
"Kakak nyari siapa?" tanya bocah itu mengintip dari balik sela-sela terali pagar.
Rara tersenyum tulus membalas pertanyaan bocah itu, "Pak Ustad Fahrinya ada?"
"Pak Ustad lagi keluar sebentar, sebelum adzan Ashar biasanya udah pulang. Kakak masuk aja dulu," ujar bocah itu sambil tangan mungilnya menggeser pintu gerbang dan menyilakan Rara masuk ke dalam.
"Oh, gak usah, Kakak nunggu di luar aja biarin."
"Kata Pak Ustad tamu harus dilayani seperti raja, apalagi yang dateng temennya Pak Ustad sendiri."
Rara kembali tersenyum pada bocah itu, ia lalu duduk di teras mushola menunggu Fahri kembali. Sementara si bocah masuk ke dalam dan kembali keluar menemui Rara dengan membawa segelas air putih.
"Adek kelas berapa?" tanya Rara saat meraih gelas yang diberikan padanya.
"Saya gak sekolah kak, cuman mondok di sini," jawab bocah itu. "Kakak temennya Pak Ustad Fahri?"
Rara hanya membalas dengan senyum kecil dan mengangguk. Bocah itu kembali masuk ke dalam. Selang beberapa saat kemudian Fahri muncul dari balik pintu pagar dan disambut tiga orang bocah lainnya yang berlari begitu melihatnya datang, mereka melompat ke arahnya sambil menarik-narik tangan Fahri ke dalam.
Gemetar. Adalah sesuatu yang dirasakan Rara begitu melihat Fahri datang. Andai bisa ia ingin menyapa Fahri lebih dulu, namun mulutnya malah terkatup rapat tak mampu mengucap sepatah kata pun. Sehingga yang keluar dari mulutnya hanya sebuah dehaman kecil yang cukup membuat Fahri melirik ke arahnya.
Fahri terkesiap melihat Rara sedang duduk di depan teras mushola kecil itu, masih dengan setelan kantornya yang menor. "Assalamu'alaikum, Ra. Kok kamu bisa ada di sini?"
Rara berusaha menenangkan dirinya sendiri kala Fahri benar-benar berada persis di hadapannya, lalu menjawab dengan terbata-bata. "W-wa'alaikum s-salam."
Fahri mengulangi pertanyaannya lagi, "Kok kamu bisa ada di sini?"
"Hmmm.. gimana ya.. gue juga gak tau kenapa gue ada di sini... pokoknya tiba-tiba gue nyampe aja di sini, terus lu dateng deh..."
Fahri mengerutkan alisnya mendengar penjelasan Rara.
Rara buru-buru memperbaiki perkataannya yang berantakan, "Gue denger lu punya panti asuhan, jadi gue dateng ke sini... niatnya sih mau ngobrol-ngobrol doang bentar."
"Oh, kirain ada apa." Fahri mengisyaratkan agar ketiga bocah itu melepas tangannya dan kembali masuk ke dalam, bermain dengan temannya yang lain. "Udah lama nunggu di sini? Kita ngobrolnya sambil keliling aja yuk."
Mereka berdua berjalan melewati lorong menuju lapangan olahraga panti asuhan itu. Jaring net voli terbentang di tengahnya dan dua tiang gawang dari bambu berada tepat di kedua sisi lapangan. Sekumpulan bocah laki-laki berlarian mengejar bola di tengah terik matahari sore yang menyemburatkan sinar merah. Sementara di pinggir lapangan anak-anak perempuan sedang bermain lompat tali dan memanggil-manggil nama Fahri begitu mereka berjalan melewatinya.
Fahri menjelaskan satu per satu ruangan panti miliknya beserta seluruh anak yatim dan anak jalanan yang tinggal di sini. "Gak luas sih Ra, cuma sekitar seribu meter persegi, tapi lumayan bisa nampung sekitar 50 anak-anak yatim di sini."
Rara berjalan lebih cepat mengejar Fahri yang selangkah di depannya. "Mereka yang dateng sendiri ke sini, apa lu yang bawa?"
"Kebanyakan 'hibah' dari Dinas Sosial, tapi ada juga yang dateng sendiri ke sini," balasnya. "Mereka semua udah gak punya orangtua, gak sekolah dan tinggal di jalan."
"Terus buat ngejalanin ini semua pasti butuh dana operasional dong? Dapet semacam bantuan dari Dinas Sosial or what?"
"Sebagian besar dari kantong pribadi aku sendiri, sisanya dari donatur."
"Duit pribadi lu sendiri? Apa gak rugi tuh?" tanya Rara kaget sekaligus kagum. "Oh ya bukannya lu dulu itu kuliah arsitektur ya? Kok gak lanjutin kerja aja?"
Fahri menoleh padanya lalu tersenyum, membuat wajah Rara memerah. "Aku dulu sempet kerja sebagai kontraktor di Jepang selama lima setengah tahun."
"Terus kenapa gak dilanjutin? Gajinya kecil ya, Ri?"
"Hahaha, ya enggaklah." Fahri tertawa lepas di samping Rara. "Aku udah punya kehidupan enak di sana. Rumah, mobil dan segala fasilitas udah disediain sama perusahaan. Kalo diukur dari standar mapan orang sini sih, aku udah jauh ngelewatin."
"Eh, terus apa yang ngebuat lu pulang, terus bisa ada di tempat ini?"
Fahri menghentikan langkahnya dan mengajak Rara duduk di bangku panjang di bawah pohon mangga yang rindang, bersama terpaan angin yang menggoyangkan ranting-rantingnya, menerbangkan daun-daun ke tanah.
"Aku pulang karena bapakku sakit keras, dan sebelum beliau wafat beliau sempat berpesan sama aku dan kakakku untuk ngelanjutin panti asuhan ini apapun yang terjadi. Beliau pernah bilang, 'selalu ingat pesan Nabi: sayangi anak-anak yatim dan fakir miskin.' Itulah yang ngebuat aku berhenti dari pekerjaanku dan ngejalanin amanat Almarhum bapakku."
Rara tak sanggup membendung rasa kekagumannya terhadap Fahri. "Tapi itukan harusnya tugas dan kewajiban pemerintah, bukan tanggung jawab kita."
"Ra, kalo kita bisa berbuat sesuatu kenapa harus nunggu orang lain buat ngelakuin duluan. Pesan Nabi itu untuk seluruh umatnya, bukan buat pemerintah doang. Kadang-kadang suatu hal kecil yang kita kerjain bisa berdampak besar loh buat kehidupan orang laen."
"Iya, gue paham sih maksudnya, but it's little bit weird to me. Lu udah keluar duit banyak terus sekarang udah gak kerja, apa lu gak kepikiran buat berhenti dan balikin masalah ini ke dinas sosial yang terkait?"
"Aku udah ngelakuin hal yang kayak kamu bilang," Fahri tersenyum pahit. "Tapi aku mikir lagi, kalo aku tutup tempat ini, anak-anak ini bakal balik ke jalan lagi—balik ngerasain kerasnya idup di jalan lagi. Aku gak akan tega ngebiarin hal itu terjadi, mereka semua sudah aku anggap adik-adikku sendiri."
Rara hendak meraih tangan Fahri dan menggenggamnya, namun Fahri mengelak halus seolah memberi gestur 'sorry, that is illegal to do here.'
Rara segera menyingkirkan tangannya dari pangkuan Fahri dan mencari topik obrolan lain untuk menutupi rasa malunya, "Emangnya anak sama istri lu enggak pernah protes?"
"Aku belom nikah kok, pacaran juga enggak."
"Loh lu belom nikah? Kirain gue doang yang belom." Rara agak salah tingkah. "Kenapa belum punya pacar, masa laki-laki sebaik lu gak ada yang mau sih."
"Di usia kita sekarang ini, udah bukan jamannya lagi pacar-pacaran kayak anak SMA. Kalo aku sih nyari yang sama-sama serius aja buat diajak nikah."
"Gak pacaran langsung nikah gitu? Emang bisa?"
"Gak taulah," ia tersenyum tipis. "Orang dari dulu juga aku gak pernah punya pacar."
"Lu tuh gak berubah ya, masih sama kek dulu," Rara tertawa. "Maafin gue ya, dulu pernah nyuruh lu boong di hadapan semua orang, gue bener-bener nyesel."
"Kejadian waktu jam olahraga itu? Ah, udah aku lupain kok, anggap aja cerita lucu di masa lalu."
"Maaf ya Fahri, maaf..."
Tidak seperti cerita Selly atau yang diketahui oleh semua orang mengenai kejadian yang sebenarnya pada saat jam olahraga waktu itu. Kejadian palsu yang sengaja dibuat oleh Rara untuk mempermalukan Fahri di hadapan semua orang. Yang sebenarnya terjadi adalah Rara menembak Fahri diam-diam, tapi Fahri menolak cinta Rara dan membuatnya sedih, kecewa, malu juga marah menjadi satu.
Seorang cewek tercantik dan primadona sekolah incaran satu angkatan ditolak mentah-mentah oleh murid tak populer dari golongan lower class, yang setiap hari kerjanya hanya mengurung diri di mesjid. Sungguh tak masuk akal. Hal itulah yang membuat Rara merasa frustrasi, ia menangis dan memohon pada Fahri agar ia bisa membalas perbuatannya itu. Agar reputasinya sebagai cewek idaman setiap cowok tidak runtuh. Maka dengan lugunya Fahri mengiyakan keinginan Rara.
Dan seperti yang semua orang tahu, bahwa Fahri adalah pecundang besar yang bermimpi terlalu tinggi. Namun yang tak diketahui semua orang, ternyata Rara lah pecundang sebenarnya. Rasa traumatis ditolak oleh Fahri perlahan berubah menjadi dendam pada setiap laki-laki. Mengubahnya menjadi perempuan berdarah dingin yang hobi mempermainkan perasaan laki-laki.
"Udah masuk adzan Ashar, kita sholat dulu yuk," Fahri melihat jam di tangannya lalu bangkit dari tempat duduknya.
"Tapi gue gak bawa mukena."
"Tenang aja ada kok di mushola."
Anak-anak kecil bersarung dan berkerudung berbondong-bondong keluar kamar menuju mushola begitu kepala mikrofon diketuk-ketuk oleh Fahri. Adzanpun dikumandangkan oleh Fahri, masih sama seperti kebiasaannya dulu di sekolah sebagai Muadzin. Hati Rara bergetar mendengar suara adzan itu, ia tergerak untuk mengambil wudhu dan sholat di barisan belakang—barisan shaf perempuan.
Terakhir kali Rara sholat adalah lebaran tahun lalu. Selebihnya tak pernah ia sholat lima waktu seperti sekarang ini, di sebuah mushola sempit yang sedikit kumuh. Diimami langsung oleh Fahri yang menuntunnya melakukan gerakan-gerakan sholat.
Seusai sholat empat rakaat, satu per satu anak meninggalkan mushola dengan tertib. Fahri masih duduk di depan mimbar memanjatkan doa dan dzikir. Kening Rara menyentuh karpet mushola yang sudah menipis dan bau kaki, di tempat itu ia tumpahkan semua air matanya. Air mata penyesalan dan luka yang selama ini ia pendam.
Mendengar suara tangis sesenggukan Rara di belakang, Fahri segera melompat dan berlari menghampiri. "Kamu kenapa Ra? Kamu gak apa-apa?"
Rara menengadahkan wajah dari sujud panjangnya, dan wajah yang berlinang air mata itu menatap Fahri dalam-dalam.
"Besok kamu mau gak ngomong sama papaku?"
"Ngomong soal apa Ra?" Fahri tambah panik juga bingung melihat Rara yang tiba-tiba menangis di hadapannya itu.
"Aku mau serius sama kamu."
"Maksudnya?"
"Besok kamu ngomong ke papaku untuk ngelamar aku."
Di sebuah mushola kecil, di sebuah panti asuhan yang ala kadarnya, di balik gang-gang sempit yang jalanannya rusak, di sudut kota yang kumuh, sepasang anak manusia itu menangis bersama. Melepas beban yang selama ini mendera dalam batin mereka.
Sebulan kemudian Fahri bersanding di pelaminan bersama Rara. Berawal dari foto di acara reuni, berakhir dengan janji sumpah sehidup semati. Penampilan Rara yang selalu modis dan trendi berubah menjadi lebih sederhana dan tertutup, terselubung kain kerudung panjang ke manapun ia pergi. Predikat penghancur hati laki-laki telah dilepasnya, berubah menjadi istri sholehah pengasuh panti asuhan. –Tamat.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Berdiri di Ujung Senja
Kamis, 11 November 2021 13:42 WIBUnexpected Lover
Kamis, 11 November 2021 13:39 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler