x

Iklan

Apri Yogi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Kamis, 11 November 2021 13:42 WIB

Berdiri di Ujung Senja

Pria tua itu berdiri dengan satu kaki sambil menggenggam bara api. Satu tungkai kaki rentanya menuntunnya pada sebuah persimpangan jalan. Bahu bungkuk yang tak dapat lagi menopang beban sepanjang jalan. Sepasang bola mata yang lelah dan sedikit rabun, menerawang langit penuh ketidak pastian. Dalam gelap ia berdoa, "Tuhan, aku tak ingin menua dan mati kesepian."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pijar mentari pagi menembus jendela tak bertirai. Sinar kemerahan mulai merangkak naik menyinari sudut ruangan yang sempit. Kokokan ayam jantan milik tetangga kanan kiri saling bersahutan tak putus-putus. Di dalam ruangan yang sempit dan remang, Pak Odoh terbangun dari tidur malamnya. Terduduk di lantai beralas tikar tipis yang menjadi tempat tidurnya. Ia menggulung sarung sampai ke atas lutut dan berdiri memegangi pinggangnya yang linu menuju teras depan.

Sambil menyesap kretek dan menyeruput kopi hitam, Pak Odoh mulai mengamati hilir mudik tetangga yang melewati rumahnya sambil mendorong gerobak atau mengayuh sepeda.

"Bubur Ayam!" Pekik salah satu tetangga yang baru keluar rumah, lalu menyapa Pak Odoh yang tak lepas mengamatinya. "Pagi Pak Odoh belum berangkat ngajar nih."

Pak Odoh membalas dengan mengangguk sambil menyeruput gelas yang hampir kering.

Setelah kurang lebih 30 menit ia duduk-duduk santai di depan teras, Pak Odoh kembali masuk ke dalam rumah untuk mandi pagi. Hari ini ia harus kembali mengajar. Rutinitas yang telah menyita seluruh waktu di usia senjanya.

Rambut putih yang hanya sisa beberapa helai ia sisir ke belakang, klimis. Di depan cermin yang retak bagian atasnya, ia menatap dalam kedua bola tuanya yang lelah.

"Mengapa aku masih harus menjalani pekerjaan ini lagi?" keluhnya dalam hati. "40 tahun sudah aku menjadi guru honorer, tanpa menerima upah yang pantas, Oh Gusti."

Keluar rumah dengan batik lecek yang tak pernah tersentuh besi setrikaan dan hanya dicuci tiga hari sekali, Pak Odoh mulai menginjak keras-keras engkol vespanya. Badannya yang ringkih kehilangan keseimbangan tiap kali ia menyela motor vespa tua bututnya. Setelah hampir sepuluh kali percobaan yang hampir membuatnya terguling ke tanah, akhirnya motor bisa dihidupkan.

Motor tuanya menyusuri gang-gang sempit perkampungan tempatnya tinggal menuju SMP swasta tempatnya mengajar. Hari ini ia harus merangkap menjadi guru Bahasa Indonesia, karna guru yang harusnya mengajar tidak masuk lantaran terkena demam berdarah. Sekolah itu memang sudah lama kekurangan guru, maka tak heran bila banyak guru yang rangkap jabatan.

Tidak ada satu murid pun yang mengucap salam saat ia masuk ke dalam kelas. Di atas meja miliknya berserakan kertas dan botol plastik. Dengan sabar Pak Odoh memungut satu per satu sampah dari mejanya lalu membuangnya keluar. Tak ada satu murid pun yang peduli.

Suara paraunya tak pernah mampu mengimbangi berisiknya suasana kelas yang seperti kebun binatang. Sekelompok anak laki-laki berlarian di dalam kelas bagai kumpulan monyet berebut pisang. Di kursi barisan belakang bahkan ada yang tertidur pulas di lantai tanpa memedulikan Pak Odoh yang sedang mengajar. Memang tingkah laku anak-anak ini sudah seperti binatang liar, kesalnya dalam hati. Orang tua mereka pastinya tak mampu mengajar mereka di rumah. Maklum kebanyakan dari mereka cuma anak tukang cuci atau anak supir mikrolet.

Selesai mengajar Pak Odoh memarkirkan si vespa di bawah pohon nangka belakang rumahnya dan berjalan kaki menyusuri persawahan hijau. Untuk menenangkan diri hiruk pikuknya kehidupan, begitulah Pak Odoh menyebutnya.

Di balik semak belukar lebat yang tinggi menjuntai, terdapat tanah lapang yang luas. Bocah-bocah kampung berlarian mengejar bola plastik tanpa alas kaki. Salah seorang bocah berlari kencang melewati semua lawan dan menyeploskan bola ke tiang gawang yang terbuat dari dua bilah bambu. Bocah itu adalah Mamat, anak tetangga samping rumah Pak Odoh.

Mamat melambaikan tangan ke arah Pak Odoh yang baru saja menyaksikan aksi solo run dari pinggir lapangan. Dan Pak Odoh membalasnya dengan senyum lebar dan tepuk tangan.

"Hebat kamu Mat," puji Pak Odoh selepas pertandingan. "Kalau kamu terus berlatih kamu bisa sehebat Andik Vermansah."

"Enggak mau," tuturnya sambil menggaruk gudik di pahanya. "Mamat mau jadi kayak Pak Odoh aja."

Pak Odoh terkejut mendengar jawaban bocah sebelas tahun yang putus sekolah sejak kelas dua SD lantaran tak ada biaya ini.

"Jangan jadi seperti saya, cuma sampah masyarakat... gak berguna."

"Tapi Pak Odoh orang baik," balas si bocah mendongakkan wajah menatapnya.

Pak Odoh dibuat terenyuh mendapat pujian dari seorang bocah yang bahkan tak mengenal baca tulis.

"Bapakmu masih suka main judi, Mat?" tanya Pak Odoh mengganti topik pembicaraan.

"Kadang-kadang, tapi udah gak sesering dulu. Tapi kalau hobinya mulai kumat lagi, Ibu sering ngumpetin barang-barang di lemari biar gak ketahuan Bapak."

"Kasian ibu kamu itu Mat."

"Ya Mamat kasian sama Ibu, apalagi kalau Bapak pulang main judi sambil mabuk, pasti Ibu yang jadi pelampiasan dia pukulin."

Pak Odoh dapat melihat ketegaran dalam diri bocah itu saat bercerita tentang ibunya.

"Mamat mau nanya," sambungnya lagi. "Dosa gak sih kalo kita ngelawan bapak kita sendiri?"

"Jangan Mat kamu masih kecil, belom bisa belain ibu sama adik-adikmu."

"Tapi sampai kapan Mamat harus liat Ibu dipukulin sama Bapak? Sampe kapan barang-barang di rumah habis dijualin sama Bapak?"

Pak Odoh terdiam. Hatinya tersayat mendengar cerita memilukan yang keluar dari mulut seorang bocah. Di usia semuda itu, dia sudah banyak menelan pahitnya kehidupan. Tanpa berbicara digandengnya tangan bocah tersebut pulang. Hari sudah gelap.

***

Kalau bukan karena ajakan kawan lamanya tak mungkin Pak Odoh pernah sudi menginjakkan kakinya kembali di rumah itu lagi. Rumah yang banyak menyimpan cerita kelam masa lalunya.

"Apa maumu ngajak aku ke rumah ini lagi?" ketus Pak Odoh gusar.

"Anak-anakmu loh yang nyuruh," jelas Tedjo sambil mematikan mesin mobilnya, "Ayo kita turun dulu."

"Gak sudi!" Mata Pak Odoh memancarkan kemarahan pada kawan baiknya itu. "Kamu turun saja sendiri, aku tunggu di sini."

Tedjo menjadi tak enak hati pada kawannya itu karena telah membawanya ke tempat ini tanpa sepengetahuannya. Dia melakukan ini semata karena permintaan dari anak-anak Pak Odoh yang sudah bertahun-tahun tak pernah ia sanggupi.

"Udah hampir 20 tahun loh kamu gak pernah pulang, udah banyak yang berubah gak kayak dulu."

"Waktu emang berubah, tapi manusia enggak," Pak Odoh bersikeras dan mulai memikirkan cara agar ia tak menginjakkan kaki di tempat itu. "Kalau udah gak ada urusan lagi di sini mending buruan anter aku pulang, aku mau tidur."

"Kamu masih keras kepala Doh," Tedjo mencoba memaklumi sifat kawannya itu. "Kalau kamu gak mau turun gak apa-apa, tapi kamu harus tetep ketemu sama anak-anakmu."

Pak Odoh memalingkan wajahnya memandangi jalanan sekitar. Ada sedikit getaran di hatinya begitu mendengar tentang anak-anaknya. Masih terdapat cinta yang selalu ia tutupi.

"Aku turun ya, kamu tunggu sini biar kupanggil mereka ke mari."

Tedjo turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Dan tak berselang lama dia kembali bersama kedua anaknya: Ridwan dan Ulfah. Kedua kakak beradik itu berjalan menghampiri mobil yang terparkir di depan rumah. Pak Odoh berusaha tak menatap wajah anak-anaknya, meskipun ingin sekali ia memeluk mereka.

"Pak, masuk yuk ke dalam," Ulfah anak sulungnya mengetuk kaca jendela mobil dari luar.

Pak Odoh bergeming, menghindari wajah anak perempuannya.

Si bungsu Ridwan membuka pintu mobil dan duduk di kursi kemudi, tepat di samping bapaknya.

"Aku kangen sama Bapak," suaranya bergetar dan meraih tangan bapaknya lalu menciumnya.

Tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun Pak Odoh membiarkan tangannya diraih oleh anaknya.

"Bapak udah makan?" Tanya Ulfah yang ikut merangsek masuk ke kursi kemudi. Mereka bertiga duduk berdesak-desakkan di kursi depan, persis seperti saat mereka kecil dulu yang selalu memaksa duduk bersama bapaknya di kursi depan.

Pak Odoh hanya menjawab dengan menggeram singkat.

"Ibu ada di dalem, nunggu Bapak," timpal Ridwan.

Pak Odoh langsung memalingkan wajah ke anak-anaknya tersebut, namun dengan tatapan marah.

"Jangan pernah sebut-sebut ibumu di depan Bapak," tegas Pak Odoh sambil melotot. "Bapak ke sini bukan karena keinginan Bapak sendiri jadi jangan salah paham."

Kedua anak itu terdiam melihat air wajah penuh luka yang tergambar di wajah bapaknya. Persaan sedih sekaligus bersalah menyelimuti mereka.

"Tapi Pak semuanya udah berubah, Bapak mau sampai kapan terus begini."

"Sampe Bapak mati!" suara Pak Odoh meninggi.

Seketika air mata membasahi wajah kedua anaknya, mengingat kembali kejadian 20 tahun silam yang membuat bapaknya pergi dari rumah dan tak pernah kembali.

"Kasian Ibu kalo Bapak terus begini..." tangis si sulung sesunggukkan. "Tujuan kami ajak Bapak ke sini biar bisa damai sama Ibu."

"Kamu kasian sama ibumu tapi enggak pernah mikirin perasaan Bapak," terang Pak Odoh menatap tajam kedua anaknya. "Kamu tahu betapa hancurnya Bapak ketika Ibu kalian lebih memilih laki-laki lain ketimbang Bapak? Tahu gimana rasanya menggelandang seorang diri di usia setua Bapak ini?"

"Semua orang pernah bikin salah dalam hidup, bukan cuma Ibu," ratap Ridwan mengusap air mata yang jatuh di pipinya. "Kami cuma pengen ngeliat Bapak sama Ibu akur itu aja."

"Pandai kamu Ridwan nasehatin Bapak sekarang," ketus Pak Odoh. "Padahal kalian dulu membela ibu kalian mati-matian, dan seneng waktu Bapak terusir dari rumah."

"Jangan ngomong gitu Pak, justru kita selama ini nyari Bapak gak pernah ketemu. Cuma Pak Tedjo yang tau di mana Bapak tinggal," bela Ulfah.

"Ke mana Bapak baru kalian? Sudah puas dia makan semua harta yang Bapak tinggal?"

"Pak Suhendar udah lama meninggal, jangan dibahas-bahas lagi."

"Oh, sampaikan rasa belasungkawa Bapak sama ibu kalian, dia pasti merasa kehilangan lelaki yang amat dicintainya."

Kedua kakak beradik itu akhirnya menyerah. Hati bapaknya sudah sekeras batu, sekeras apapun mereka mencoba dan sebanyak apapun mereka meminta, pendirian bapaknya tetap tak dapat diubah. Oleh waktu sekalipun.

"Maafkan kami berdua, Pak. Kami cuma pengen Bapak tahu kalau kami masih anak-anak Bapak yang dulu... yang akan selalu sayang sama Bapak." Keduanya lantas memeluk erat Pak Odoh, seolah hari itu adalah hari terakhir mereka bertemu, tak akan ada lagi bujukan untuk bertemu di kemudian hari.

Badan Pak Odoh bergetar menahan tangis, namun rasa gengsi dan harga diri seorang lelaki yang terluka mampu menyingkirkan kesedihan itu dari hatinya.

"Djo, ayo antar aku pulang, aku ngantuk mau tidur," dalih Pak Odoh sambil melepaskan pelukan kedua anaknya.

Kedua anaknya lalu keluar dari mobil tanpa mengucap sepatah kata apapun. Tedjo memberi gestur mohon maaf atas apa yang ia saksikan dari luar mobil. Dan mobil pun perlahan pergi melaju meninggalkan rumah itu.

"Tega kamu Doh, sama anak-anakmu," ujar Tedjo sesaat sebelum mobil masuk ke gang-gang kecil yang tak bisa dimasuki. "Mereka masih gak tau-tau apa saat kejadian itu."

"Iya, aku tau," balas Pak Odoh dingin.

"Yang harusnya salah itu mantan istrimu, mereka gak ada sangkut pautnya sama masalah ini. Justru merekalah korban sebenarnya dari perceraian kalian berdua."

Mobil pun berhenti di ujung gang masuk perkampungan kumuh. Pak Odoh turun sambil menahan pintu dengan satu tangannya dan memberi pesan terakhir. 

"Mulai dari sekarang dan seterusnya, jangan pernah hubungin aku lagi Djo. Aku mau tinggal seorang diri di sini tanpa gangguan dari dunia luar. Biarin aku menua dan mati di tempat ini dengan tenang."

***

"Ini mah akiknya udah soak, businya juga harus diganti. Masih bisa nyala udah syukur," jelas tukang ojek pangkalan memeriksa vespa tua Pak Odoh yang tiba-tiba mogok di jalan sehabis mengajar.

"Coba sela lagi, biasanya juga bisa," Pak Odoh bersikukuh.

"Ah, Bapak sendiri ajadah yang nyela, mau disela seratus kali juga gak bakal idup ini motor butut, penyakitnya udah kronis ini mah udah waktunya dimuseumin."

Pak Odoh melirik tajam ke tukang ojek tersebut, tak terima motor kesayangannya dihina. Dia lalu mendorong sendiri motor tuanya itu sampai ke rumah. Hari berat lainnya yang harus ia lalui untuk orang seusianya. Di usianya yang sudah 68 tahun, saat ini harusnya dia tengah menikmati hidup bersama cucu-cucunya. Tapi Pak Odoh memilih jalannya sendiri.

Tanpa simpati dari orang-orang sekitarnya, Pak Odoh terus mendorong besi rongsok itu sampai ke depan rumah. Dengan gaya sempoyongan seperti orang mabuk dibiarkannya badannya jatuh ke kursi depan teras. Keringat bercucuran membasahi kemeja kucelnya. Napasnya pun tersenggal-senggal tak beraturan. Dia sedang memikirkan bagaimana cara pergi ke sekolah besok tanpa motor tuanya.

Baru saja ia hendak bangun dari kursi malasnya, tiba-tiba terdengar suara makian diiringi suara perabotan yang dibanting dari rumah tetangga sebelah. Keributan yang kerap terjadi saat hari mulai gelap. Pak Odoh tak ambil pusing, ia memilih tak ikut campur dan masuk ke dalam. Namun suara Mamat yang memanggil-manggil namanya menghentikan langkahnya.

"Pak Odoh, saya minta tolong titipin adik-adik saya di rumah Bapak," pekik Mamat berlari mengendong adiknya yang paling kecil dan adiknya yang lain berlari menyusulnya di belakang.

"Ada apa Mat?" tanya Pak Odoh panik melihat ketiga anak kecil di depan rumahnya.

"Bapak ngamuk lagi!"

Belom selesai masalah sakit pinggang yang tak kunjung reda dan motor tuanya, kini masalah baru datang lagi. Husein, bapaknya Mamat pasti baru pulang kalah judi lagi.

"Kamu jangan ke sana Mat, bahaya," larang Pak Odoh agar Mamat mau tinggal di rumahnya dulu.

"Gak bisa, aku harus nyelamtin Ibu."

Mamat berlari sekuat tenaga kembali ke rumah meninggalkan kedua adiknya di rumah Pak Odoh. Di dalam rumah Pak Odoh berpikir keras, apa yang harus ia lakukan. Menjaga anak-anak ini tetap aman di rumahnya atau menyelamatkan Mamat dan ibunya.

Suara pukulan dan tangisan makin jelas terdengar. Ia tak sanggup lagi mendengar suara Mamat yang menangis agar ibunya tak dipukuli. Ah, setan apa yang hidup di sebelah rumahku, gumam Pak Odoh membayangkan seorang pria yang tega memukuli anak kecil dan perempuan lemah tak berdaya.

Akhirnya ia putuskan untuk keluar rumah dan menuju rumah Mamat. Di depan rumah tetangga-tentangga tengah berkumpul menyaksikan persitiwa keji itu tanpa ada niatan menolong. Mereka hanya berbisik-bisik tiap kali Husein membanting piring atau memukul lemari kayu.

Pak Odoh memaksa masuk ke dalam, menerobos kumpulan orang tak punya nurani di depan rumah itu. Pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah sesosok wanita yang lebam seluruh wajahnya sedang duduk tersungkur di lantai, dan Mamat yang terus memeluk ibunya sambil menangis. Sementara Husein keluar dari dalam kamar sambil membanting pintu dan membawa sebilah paralon di tangannya.

"Hentikan Bang, sadar itu anak dan istrimu sendiri," sela Pak Odoh buru-buru menghalangi Husein memukuli anak istrinya.

"Eh, siapa yang suruh sampean masuk ke rumah gue?" pekik Husein dengan suaranya yang tinggi.

"Udah Bang jangan saya mohon hentikan," Pak Odoh mencoba meraih paralon dari tangan Husein, namun tanpa disangka dia malah mengibaskan paralon itu arah wajah Pak Odoh.

"Lu jangan ikut campur ya, ini masalah rumah tangga gue!"

Pak Odoh terhuyung ke belakang menghindari sabetan paralon yang diarahkan padanya.

"Abang tenang dulu, jangan emosi," Pak Odoh maju perlahan mencoba bersikap bersahabat dengannya. "Semuanya bisa dibicarain baik-baik. Abang butuh apa."

Namun rupanya kehadian Pak Odoh justru memantik emosi Husein lebih parah. Dia berteriak memaki orang tua yang uzur di hadapannya.

"Eh aki-aki sialan lu gak usah sok nasehatin gue, kalo lu mau tetep idup sekarang keluar dari rumah gue sebelom lu juga gua tusuk!"

Pak Odoh tak gentar sama sekali dengan ancaman itu.

"Coba pikir lagi apa untungnya kalo Abang nusuk saya?"

Perkataan Pak Odoh makin membuat Husein tertantang, dia meraih bahu Pak Odoh dan mendorongnya ke pintu. Tubuh tua dan kurus tak berisi itu dengan mudah terlempar seperti kapas. Pak Odoh jatuh tersunkur ke depan teras. Para tetangga yang menyaksikan dari luar rumah berteriak histeris saat tubuh tuanya terlempar keluar.

Pak Odoh mengalami guncangan hebat, detak jantungnya berdegup kencang namun napasnya melambat. Melihat Pak Odoh jatuh tak berdaya, Mamat segara berlari menghampiri.

"Kan udah Mamat bilang Pak Odoh di rumah aja, jangan ke sini," ucap Mamat sambil membantu Pak Odoh berdiri.

Pak Odoh berdiri kembali meskipun sempoyongan. Orang tak punya hati mana yang tega membanting lelaki tua tak berdaya ini hingga terpental membentur lantai.

"Mat, bawa ibumu ke rumah saya," perintah Pak Odoh dengan napasnya yang sesak.

"Oh, si aki-aki ini rupanya mau nyulik keluarga gue ya?" Husein tiba-tiba keluar menghampiri.

"Pak Odoh gak salah, Mamat yang bawa adik-adik ke rumah Pak Odoh!" Mamat berdiri melindungi Pak Odoh yang masih sempoyongan, menatang bapaknya.

"Ini anak gak tau diuntung, harus dikasih pelajaran biar gak ngelawan."

Husein menjambak rambut Mamat hingga leher anak itu terpelintir ke belakang. Mamat menjerit kesakitan, tapi bukannya malah berhenti Husein malah menampar pipi Mamat di hadapan para tetangganya.

"Anak anjing lu ya mending tinggal sana sama aki-aki ini, gue udah gak mau ngusurin lu lagi, pergi lu bawa pakean lu semua."

Mata Pak Odoh seketika dibanjiri air mata melihat tubuh kecil Mamat bergetar sekuat tenaga menahan tiap pukulan yang dilontarkan ke badannya. Darahnya mendidih.

Dengan satu gerakan cepat Pak Odoh menerjang Husein hingga mereka berdua terpental ke dalam. Keduanya lalu saling berguling di lantai. Namun perbedaan kekuatan mereka tak sebanding. Husein yang usianya lebih muda dari setengah usia Pak Odoh dengan mudah menindih tubuhnya. Tangan kekarnya mencekik leher kurus tua Pak Odoh dengan kuat.

"Mampus lu aki-aki tua tukang culik anak orang."

Wajah Pak Odoh pucat kemerahan. Aliran darah ke kepala mulai berhenti. Pak Odoh menggelinjang mencoba melepaskan cengkaraman kuat Husein. Sampai akhirnya segalanya mulai gelap dan Pak Odoh tak sadarkan diri.

***

Matanya perlahan terbuka dan melayangkan pandang ke sekelilingnya. Di rabanya tikar dan bantal yang menyangga kepalanya. Tanpa sadar ia sudah berada di rumahnya sendiri.

"Pak Odoh udah sadar Bu," seru Mamat pada ibunya.

Pak Odoh menoleh ke samping, Mamat dan ibunya beserta kedua adiknya berada di sisinya.

"Bapakmu udah gak ngamuk, Mat?" tanya Pak Odoh lemah.

"Bapak udah diamanin warga dan sekarang lagi dibawa ke kantor polisi."

"Ah, syukurlah," Pak Odoh mengela napas lega. "Kalo gitu kamu bawa ibu sama adik-adikmu pulang ke rumah Mat."

"Tapi Pak Odoh sendirian, biar Mamat yang jaga Pak Odoh di sini."

"Udah Mat, Bapak baik-baik saja kalian pulanglah ini udah malem."

Pak Odoh kembali kesepian saat Mamat dan ibunya pulang. Air matanya jatuh tak terbendung membasahi bantal. Tatapannya kosong memandangi langit-langit yang penuh sarang laba-laba.

"Ulfah... Ridwan..." rintihnya pelan.

Pak Odoh menangis sesenggukan. Ingatannya terbang ke suatu masa di mana kedua anaknya suka bermanja-manja dengannya. Kedua anak manis yang ingin sekali ia rasakan kehadirannya sekarang.

"Sini Nak, naik ke punggung Bapak, kalo besok cerah kita semua jalan-jalan ke kebun binatang..."

Tetap sunyi tak ada suara apapun kecuali nyanyian jangkrik di luar.

"Sini Nak, tengok Bapak di sini... bapakmu ini kesepian, bapakmu udah gak kuat lagi..."

Sebelum ia memejamkan mata ia berdoa semoga kedua anaknya ada di sampingnya saat ini. Karna sejujurnya ia takut, ia takut akan kesendirian. Di lubuk hati terdalamnya ia tak mau menua dan mati kesepian. –Tamat

Ikuti tulisan menarik Apri Yogi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu