x

Iklan

Saiful An. Gayas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 17 November 2021 05:56 WIB

Jenang Cethil Dihirup Baunya Pukul 5 Pagi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prosesi memasak jenang cethil di dapur itu diabadikan sebelum akhirnya dikirim adikku ke ponsel pintarku. Klunting. Beberapa menit sebelum Maghrib. Adikku mengirim foto itu, sedangkan aku masih belum yakin apakah hari itu akan pulang atau tidak. Mengapa aku berkata begitu? Karena bersamaan dengan foto itu dikirim, teks di bawahnya berbunyi begini: Mas, kapan pulang?

Setiap akhir pekan aku selalu pulang. Entah, Jumat malam atau Sabtu pagi. Menempuh perjalanan 105 kilometer selama dua setengah jam, sebenarnya badan dan pikiranku pegal-pegal sepanjang perjalanan. Tetapi entah, pulang ke rumah, meskipun mesti selalu harus rela menerima semburan-semburan hangat soal peringatan sholat dari ibu dan adik-adik, tetap menjadi ritual sunah muakad yang sayang ditinggalkan.

Tentu saja sebenarnya ada banyak sekali alasan yang bisa kudaftar dan kukirimkan satu-satu tiap pekan untuk alasan tidak pulang. Ada acara liputan ke sini lah, ada acara ke situ lah. Mau main ke rumah teman lah. Dan seribu alasan lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sialnya, wajah lugu ibu selalu terbayang dan tangannya bagai melambai-lambai memintaku untuk pulang. Lalu atas nama anak yang baik dan penurut, tubuhku tergerak begitu saja menuju motor, menungganginya, dan meluncur ke barat. Kembali ke huma, menemui ibu yang tetap kurus bagai putri kerajaan yang selalu sedih.

Aku sudah sempat menghubungi Cahyo, seorang teman yang bekerja di pengawasan pemilu, bahwa aku ingin main ke rumahnya di Cepu. Semenjak dipindah ke Blora, nyaris aku belum menginjakkan kaki di kecamatan terujung di Jateng itu. Kupikir pekan ini waktu yang tepat untuk melepas dahaga itu. Ternyata harus tertunda lagi.

Tahun ini bulan Muharram jatuh di pekan akhir Agustus. Bulan yang sama dengan awal kemerdekaan negara ini. Kau ingin tahu apa harapanku? Aku ingin segera mengakhiri masa orang-orang bertanya: kapan bawa anak gadis pulang buat dikawin? Ya, melepas kemerdekaan yang sudah kumiliki seperempat abad.

Pukul 8 malam aku masih saling mengirim pesan ke gadis yang kutaksir. Aku tak yakin gadis ini nanti hatinya benar-benar bisa kumiliki, tapi aku tahu ini gadis yang baik. Aku masih enggan beranjak karena mendapatkan momentum dia membalas terus pesanku cukup sulit. Entah, dia dingin dan tampak lugu.

Tujuh belas menit kemudian, dia baru menghentikan chat. Dia tak membalas lagi. Entah sedang apa. Aku pun pamitan, meminta doa, dan dia masih tak membalas. Dua menit kemudian, bokongku sudah ada di jok Supra 125 tahun 2014 dan meluncurlah moncong motor itu di kegelapan malam.

Jaket yang kupakai tak cukup tebal untuk menghalau dingin, meski sudah ada sarung tangan dan masker. Saat dingin benar-benar mendekati tulang sum-sum, kupelankan laju motorku agar tetap bisa berkonsentrasi. Dengan laju pelan, pikiranku juga bisa lebih santai memikirkan dunia yang semakin absurd ini.

Saat adikku, Kinan, bilang bahwa ibu bikin jenang cethil, sebenarnya aku merasa ini memang ritual tahunan. Tetapi sekali lagi, wajah ibu selalu terbayang-bayang setiap kali aku ragu apakah akan pulang atau tidak.

Setiap kali 10 Muharram memang masyarakat kami membuat jenang yang terdapat penthol sebesar penthol bakso, kira-kira seibu jari orang dewasa. Aku pernah bertanya soal mengapa di dalam jenang itu ada penthol ketika kecil kepada ibu, tetapi aku lupa jawaban ibu. Sekira yang kuingat, sepertinya ibu juga tidak memiliki jawaban yang memuaskanku sebagaimana jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku yang lain. Kupikir nanti aku akan bertanya lagi entah kepada ibu atau bapak, mengapa ada penthol di jenang cethil.

Menurut beberapa literatur sejarah, adanya budaya membuat jenang cethil ini untuk memperingati peristiwa Karbala, ketika cucu Nabi Muhammad, Husein bin Ali kepalanya dipenggal dan kemudian dibuat sepakbola. (Ada yang mengklaim peristiwa Karbala sebagai asal-usul permainan sepakbola). Karena itulah, pada hari yang disebut Asyura tersebut orang-orang berpuasa.

Aku tidak tahu apakah itu benar apa tidak, tetapi di dunia ini memang ada banyak kejadian sedih yang dengan sendirinya terawat di ingatan. Sebelum aku memutuskan akan bermain ke rumah Cahyo, dia sempat bercerita bahwa keluarganya punya trauma kepada aparat. Setiap kali mendengar mobil meraung-raung, meski sebenarnya mobil pemadam kebakaran atau ambulan, seluruh keluarganya akan tetap menutup kuping.

”Dulu simbah hilang setelah beberapa hari sebelumnya memimpin demo perlawanan kepada perusahaan yang mengambil tanah warga sewenang-sewenang. Malam ketika ada mobil meraung-raung, simbah diambil dari rumahnya dan tak pernah kembali,” cerita Cahyo.

Aku semakin tertarik ke rumah Cahyo karena ada tetangganya yang juga mengalami trauma kepada aparat. Katanya, setiap kali tetangganya melihat seragam cokelat atau loreng langsung menutup mata dan baru membuka mata setelah sosok berseragam itu berlalu.

Sandal gunung belelku menyentuh teras rumah menjelang dini hari. Molor satu jam dari prediksiku karena terlalu lama mampir di kucingan. Aku agak terkejut karena ternyata pintu depan belum dikunci. Biasanya, meskipun Kinan belum tidur, pintu selalu sudah dikunci dan aku akan mengetuk pintu itu sebelum akhirnya orang rumah membukanya.

Kutarik nafas panjang sebelum memejamkan mata. Ada banyak sekali trauma yang tak bisa disembuhkan. Tiba-tiba aku teringat seorang teman yang juga punya kenangan buruk dengan sosok berseragam loreng.

”Waktu itu kan aku pulang malam-malam dari Semarang. Aku sudah bilang ke ibu, tapi dia nyuruh bilang lagi ke ibu kalau aku tak jadi pulang. Padahal tinggal dua kilometer lagi sampai rumah,” kata gadis itu kepadaku.

Lalu gadis itu diajak makan di kucingan sekitar satu jam. Menjelang pukul 10 malam, si pria yang baru empat bulan diterima jadi anggota seragam loreng itu mengajak si gadis ke sebuah penginapan. Si gadis masih polos, dia bersedia masuk kamar, lalu berteriak, tetapi kau tahu, kamar itu lumayan kedap suara, dan kesuciannya lepas malam itu.

Aku menarik nafas panjang. Entah ada berapa banyak lagi cerita pilu tentang sisi gelap sosok cokelat dan loreng yang pernah dibisikkan ke telingaku. Cerita-cerita yang membuatku lupa aku tertidur jam berapa malam itu.

Pukul setengah lima, ponsel pintarku berdering. 15 menit kemudian, suara adikku muncul dari ruang tengah, memanggil namaku. Lima menit kemudian, adikku yang lain membuka pintu kamar, katanya tinggal aku yang belum sholat.

Aku membuka mata, menarik sarung, dan duduk. Kulihat jam di ponsel, hampir pukul 5 pagi. Aku beranjak, membuka pintu kamar. Menuju kamar mandi mesti melewati dapur, dan aroma harum segera menyerang hidungku.

“Tadi malam sampai jam berapa?” tanya ibu yang sedang mengiris tempe.

Aku menjawab sembari menuju kendhil ukuran agak besar yang tampak masih panas, masih berasap. Aku membuka tutup kendhil, dan harum yang menusuk hidungku tadi menemui sumbernya. Begitulah pertemuanku dengan jenang chethil tahun ini. Aroma yang tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Harum pandan yang menyeruak, yang khas menempel di jenang cethil.

Tumben, aku tidak begitu kebelet. Lalu kuambil piring plastic dan sendok, dan kucicipi jenang itu.

“Sholat dulu, keburu mataharinya kelihatan,” kata ibu.

Tetapi piring plastikku sudah terisi jenang chethil khas 10 Muharram di kampungku. Jenang Asyura. Aku meniupi jenang di sendok, sebelum menempelkannya di lidahku. Masih legit, dengan rasa manis gula merah campur kelapa yang khas.

“Udah, nanti dilanjut habis sholat,” ibu menyembur lagi.

Kuhirup aroma jenang itu sekali lagi sebelum meletakkannya. Kudorong tubuhku ke kamar mandi, wudhu, lalu kembali ke kamarku untuk sholat Subuh. Usai sholat, kuambil ponsel, lalu menuju dapur.

Sebagaimana biasa, aku mematikan data service, layanan internet sebelum tidur dan baru mengaktifkannya lagi setelah sholat. Sembari duduk di ruang tamu, kutunggu satu-satu teks yang masuk.

Di suapan ketiga, aku menghela nafas panjang mendapati salah satu teks di aplikasi pesan. Anak pakdeku yang seorang tentara sedang bertugas di daerah konflik kini dirawat di rumah sakit. Kabarnya sempat terkena serangan oleh kelompok yang dikatakan pemerintah sebagai ekstremis.

Saat itu juga aku ingat, kakak gebetanku yang baru kukirimi “Selamat pagi, Dik..” juga seorang polisi yang sedang bertugas di Semarang. Kata gebetanku, kakaknya boros tapi penyayang.

 

Ikuti tulisan menarik Saiful An. Gayas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu