x

cover

Iklan

yan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Rabu, 17 November 2021 06:00 WIB

Cerita Si Sulung

Shalyra Daniza, di mata orang-orang adalah sosok sempurna. Tapi ia tidak pernah berpikir demikian karena dirinya gagal mengabulkan keinginan terakhir dan ia bukanlah sosok tegar seperti sebagaimana seharusnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai si Anak Sulung, sudah seharusnya ia menjadi sosok yang sempurna. Yang tak ada celah. Yang pantas dibanggakan, yang bisa membanggakan. Dan hal tersebut lah yang ia lakukan selama ini; lulus dengan nilai terbaik di SMA ataupun universitas, menjadi sukses di usia muda, membangun butik impian Bunda dalam tiga tahun setelah ia bekerja, sopan serta santun, baik, pintar, anggun, pun menjadi anak yang bisa diandalkan oleh Bunda dan kedua adiknya.

Setidaknya, itu lah sosok ‘sempurna’ si Anak Sulung dalam perspektifnya. Bukan perspektif Bunda.

Bunda, di umurnya yang sudah kepala lima, terus mendesaknya perihal pernikahan. Contohnya saat ini, keduanya sedang duduk di ruang keluarga. Bunda duduk di atas sofa sembari menonton televisi dan ia duduk bersila di atas karpet dengan laptop di pangkuan, sedang menyelesaikan pekerjaan yang tidak kelar-kelar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Niatnya kamu mau nikah kapan?” Tiba-tiba, Bunda yang sejak tadi berfokus pada televisi yang menayangkan drama Korea, berceletuk.

Kepalanya terangkat menatap televisi, berusaha mencari tahu apakah pertanyaan Bunda disulut oleh apa yang ditayangkan televisi—tetapi tidak ada apa-apa yang berhubungan dengan pernikahan di sana. Kepalanya kembali tertunduk, melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda semenjak Bunda menanyakan hal yang sudah berulangkali didengarnya. “Belum ada calonnya, Bunda.”

Dan jawaban yang ia berikan selalu sama.

“Kamu, ya, setiap Bunda nanya kapan rencana menikah..., selalu jawab kayak gitu.” Sepertinya fokus Bunda sudah sepenuhnya teralihkan dari layar persegi di depan sana. “Kapan ada calonnya kalo kamu nggak pernah nyari?” lanjut beliau.

Ia berpaling dari layar laptop paa wajah Bunda yang mengerut, menuntut jawaban pasti yang sesuai dengan keinginannya. Tapi belum sempat ia buka suara, Bunda sudah bicara lagi, “Temen-temen kantormu, atau kenalanmu, nggak ada yang menarik gitu buat kamu?”

Bunda, harusnya Bunda yan paling tahu kalau perihal pernikahan tidak semudah mencari putih di antara hitam, batinnya. Ia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, “Bunda, selama ini aku cuma anggep mereka sekedar temen kerja, nggak lebih. Lagipula, kerjaan kantor kan banyak yang bikin aku nggak ada waktu buat cari calon pendamping.” Ia diam sebentar guna memperhatikan ekspresi Bunda yang sama sekali tidak berubah menunjukkan kepuasan atas jawaban yang ia berikan. “Tapi aku janji bakal lebih mikirin tentang hal ini, kok. Bunda nggak usah khawatir.”

Alis Bunda mengernyit begitu dengar kalimatnya. “Gimana dengan Mike? Kalian berdua, kan, udah lama kenal. Dari kecil.”

Hah? Ia bertanya, tanpa sadar mengucapkannya kencang-kencang yang makin membuat ekspresi Bunda heran, “Kamu nggak—”

“Kak Lyra!”

Seorang perempuan memanggil namanya kencang, disusul dengan suara derap kaki yang berlari dari arah tangga, lalu seseorang menubruk tubuhnya hingga mereka berdua terguling ke lantai. Untungnya, laptop sudah ia singkirkan ke pangkuan Bunda begitu dengar namanya dipanggil. Pelaku yang memeluk tubuhnya sampai keduanya berguling kini terpingkal-pingkal sampai matanya membentuk sabit.

“Kenapa, Luna?” tanyanya sambil mengusap-usap kepala si bungsu dalam keluarganya.

Pelaku yang dipanggil Luna masih tidak menjawab, justru makin mengeratkan kalungan tangannya di leher, tidak berniat untuk melepaskannya sampai-sampai ia merasa sedikit sulit untuk bernapas. Untungnya, Bunda sepertinya melihat ia yang kesusahan, karena langsung menarik si adik bungsu untuk segera menjauh. “Kasihan kakakmu itu lho sampai mukanya merah kamu peluk kenceng-kenceng.”

Ia bangkit duduk, memperhatikan Luna yang saat ini menatapnya dengan kepala sedikit dimiringkan ke kanan. Matanya bulat berkedip beberapa kali dengan mulutnya membentu huruf o.

“Kamu kenapa?” tanyanya lagi.

Luna yang sepertinya teringat sesuatu langsung menjentikkan jari dan meraih sesuatu di dalam saku celananya. Sebuah kertas kusut. Lantas menyerahkan kertas itu padanya.

“Luna dapet nilai A+ di ujian Matematika hari ini karena Kak Lyra ajarin Luna kemarin!” ceritanya menggebu-gebu.

Tangannya membuka lipatan kertas itu hingga memerlihatkan kumpulan soal-soal Matematika denan coretan A+ besar-besar di pojok kanan atasnya menggunakan bolpoin merah. Kini ia beralih pada adiknya yang sedang bercerita pada Bunda. “Luna pinter. Mau apa? Kak Lyra beliin sebagai perayaan Luna dapet nilai sempurna,” katanya.

Mata Luna langsung berbinar-binar mendengar ucapannya, kemudian menyebut berbagai makanan cepat saji, jenis es krim, sampai macam-macam rasa roti yang mau dimakannya.

Terkekeh ia dengar semua itu. Kemudian sekilat matanya menangkap figur seseorang berjalan ke arah luar, ia memanggi, “Leah! Sini, dong, siap-siap kita mau pergi jalan-jalan ke luar cari makan.”

Perempuan yang dipanggil Leah barusan berhenti sebentar, menoleh sedikit, sebelum mengangkat bahu dan lanjut berjalan ke luar rumah dengan kedua tangan masuk ke kantong hoodie yang dikenakan.

Ia terdiam melihat tingkah adik tertuanya yang satu itu.

Pagi itu, hari Senin, semuanya bangun terlambat.

Ia buru-buru memasukkan semua berkas ke dalam business file yang akan dibawa ke tempat kerja hari ini, lalu dengan gerakan tergesa keluar dari kamar dan mendapati belum ada yang sudah selesai bersiap selain diriya—dan Bunda yang ada di dapur.

“Bunda, liat dasi Leah di mana?” tanya Leah yang muncul tiba-tiba dari belakangnya, membuatnya sedikit terkejut.

“Bunda taruh di dalem lemari kamu! Kenapa ditaruh sembarangan, kalo hilang gimana?” Bunda berteriak dari dalam dapur.

“Yaa.”

“Bunda!” Ini suara yang lain yang terdengar, “Liat buku LKS IPS punya Luna nggak?”

“Enggak. Coba cari sendiri di kamar kamu, atau kolong kasur.”

“Bundaa bantu cari!”

Ia langsung berjalan ke asal suara setelah bicara pada Bunda akan membantu Luna mencari LKS-nya yang hilang.

“Ini sarapan kalian, makan di kantor atau sekolah masing-masing aja,” titah Bunda seraya menutup masing-masing kotak bekal yang sudah tersedia. Pandangannya mengedar pada ketiga anaknya yang sudah berdiri dengan pakaian rapi membungkus kulit. “Berangkat sama Kak Lyra, biar cepet sampai.”

Sorenya, ia duduk di kursi salah satu kafe yang ada di kota, dengan secangkir caffe latte dan sepotong cheesecake di atas meja menemani ia yang sibuk memperhatikan sekeliling seperti sedang mencari seseorang. Ketika tidak menemukan orang yang ia cari, helaan napas berat terdengar darinya.

Seseorang yang baru sampai di hadapannya langsung berjongkok, berhadapan dengan wajahnya yang kini melotot karena orang itu muncul tiba-tiba. Refleks tangannya memukul kepala orang itu sambil menjerit kaget, cukup menarik perhatian pengunjung kafe yang lain. “Aduh,” ucap laki-laki itu. “Nona Shalyra Daniza, kenapa kasar sekali?”

Ia makin melotot. “Siapa suruh ngagetin?” ketusnya, “dan jangan sok formal begitu.”

Laki-laki itu mendengus seraya menarik kursi di hadapannya dan duduk di sana. Dengan tidak sopan mengambil cheesecake miliknya dan memakan kue itu seakan-akan tidak memiliki rasa bersalah. “Oke jadi, gue manggil lo buat ketemu hari ini adalah,” bukanya. Dengan dramatis menarik napas panjang dan mengembuskannya penuh perasaan. “Sebagai asisten merangkap editor lo, gue udah diteror penerbit sampe gumoh ditanyain kapan lo selesaiin buku kedua kali ini?”

On progress,” balasnya seakan tidak minat seraya menyeruput caffe latte yang dipesan.

“Jawaban lo begitu mulu.” Mike—nama laki-laki itu—mendecak kesal. Matanya yang beriris hijau karena gen ayahnya yang kuat melebar seakan-akan ingin memarahinya. “Tapi kapan rampungnya? Gue harus kasih kepastian ke mereka, nih.”

“Secepatnya,” jawabnya dengan mata melirik ponsel yang bergetar di atas meja menampilkan satu panggilan masuk. Ia meraih benda pipih itu, menggumamkan, “Leah.” Yang mampu membuat Mike ikut penasaran.

“Halo, Leah?” sapanya. Tak kunjung ia dapat balasan sehingga ia mengira kalau Leah mungkin saja salah pencet. Tapi suara tangisan yang sangat ia kenal mampu membuatnya panik. “Halo, Leah? Kamu nangis? Kenapa? Leah, jawab Kakak!”

Mike bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat dengan bibir yang bergerak bertanya ada apa tanpa suara. Ia menggeleng sambil terus bertanya.

“Ka-Kak Lyra....” Akhirnya terdengar suara Leah yang masih sesenggukan. “Bunda... Kak Lyra, Bunda... masuk rumah sakit.”

Shalyra Daniza langsung berdiri dari tempatnya, berjalan dengan terburu-buru dengan jantung yang berdegup kencang sambil terus bertanya tentang apa yang terjadi, sampai melupakan Mike yang kini mengejarnya ke luar kafe.

Langit yang tiba-tiba menjadi kelabu dan titik-titik hujan yang perlahan turun, seakan sedang ikut menangis atas berita yang diterimanya.

“Leah! Luna!”

Ia sampai. Tanpa rasa lelah sedikitpun dikarenakan berlarian ke sini. Melangkahkan kaki mendekati kedua adiknya yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembab akibat menangis.

“Bu-Bunda kenapa...?” Ia bertanya pelan.

Kedua adiknya yang berdiri ditarik ke dalam sebuah rengkuhan erat. Tangannya mengelus kedua kepala adiknya yang kembali menangis dalam pelukannya.

Sekuat tenaga, ia menahan diri untuk tidak meneteskan air mata sama sekali. Tidak di saan kedua adiknya membutuhkan sandaran saat ini.

Walau sebenarnya ia juga merasa butuh.

Tapi sebagai yang tertua, ia harus terlihat tegar untuk adik-adiknya.

“Bunda Kak...,” salah satu di antara kedua adiknya bersuara. Leah. “K-katanya Bunda jatuh dari tangga, Kak... kepala Bunda kebentur... b-berdarah.”

Sekuat tenaga ia menahan supaya liquid bening itu tidak jatuh mengalir dari pelupuk mata. Tangannya mengelus kedua punggung adiknya, sayang dan mencoba menenangkan.

“Ssssh..., percaya ke Kak Lyra kalo Bunda pasti baik-baik aja. Bunda bakal baik-baik aja,” katanya.

Terdengar jelas ucapannya, siapapun yang mendengar omongannya pasti sudah mengira itu bukanlah kepastian tentang apa yang akan terjadi di masa depan.

Melainkan sebuah harapan. Dari ketiganya.

Ketiga anak yang belum siap ditinggal sosok orangtua. Lagi.

Ini sudah hari ketujuh.

Semua orang terluka. Berduka. Terpuruk. Bersedih. Dan segala macam sebutan lainnya untuk mendeskripsikan perasaan orang yang ditinggal.

Ini sudah hari ketujuh.

Mereka ditinggalkan sosok yang amat mereka sayangi itu. Sosok Bunda.

Saat itu, setelah menunggu lama sampai akhirnya dokter keluar dari ruangan di mana Bunda berada, ruangan di mana Bunda sedang diberi pertolongan oleh dokter.

Ruangan di mana, ketiga anak itu berharap atas keselamatan Bunda mereka.

Dan dokter memberitahukan, bahwa... Bunda tidak dapat diselamatkan. Para tenaga medis yang katanya terhebat di kota, gagal menyelamatkan Bunda mereka.

Semua orang bersedih. Tidak ada yang tidak terpuruk dan terluka atas meninggalnya Bunda. Sosok Ibu terbaik mereka bertiga, dan sosok wanita paling kuat lagi hebat bagi siapapun yang mengenalnya.

Ucapan belasungkawa sudah didengarnya terucap berulang kali dari mulut-mulut yang berbeda. Ucapan ‘Turut berduka’ atau semacamnya pun, menghiasi telinga mereka selama tujuh hari ini.

Para tetangga, Mike, dan keluarganya turut membantu.

Tapi, setelah hari kedua kepergian Bunda, Lyra mengurung diri. Tidak berniat bertemu siapapun. Sampai hari ini.

Tidak peduli kalau ia adalah anak pertama. Tidak peduli kalau ia harus terlihat tegar di hadapan adik-adiknya dan mencoba mengikhlaskan Bunda. Ia tidak peduli. Ia sudah lelah berpura-pura tegar karena ia yang paling merasa kehilangan di sini. Bunda itu segalanya untuknya. Sosok yang sangat berarti. Ia tidak bisa menyembunyikan semua kesedihannya untuk membuat kedua adiknya tenang. Ia tidak bisa.

Karena setelah kepergian Ayah, hanya Bunda yang ia punya.

“B-Bunda..., maaf...,” cicitnya. Terdengar begitu pilu. “Maaf aku nggak bisa mengabulkan keinginan terakhir Bunda....”

Keinginan terakhir Bunda.

Ia menikah.

Bunda menggendong cucu.

Apakah ia sudah menjadi anak durhaka? Apakah Bunda membencinya di sana?

“Maafin Lyra, Bunda....”

Air mata itu kembali mengalir, melewati pipinya dan berakhir di atas lantai.

“Lyr....”

Lirihan itu terdengar. Berasal dari luar kamarnya, tepat di depan pintunya.

“Kak Lyra....”

Tubuhnya tersentak. Tapi ia bergeming, tidak beranjak dari tempatnya duduk sabil memeluk lutut, tidak ada keinginan sedikitpun untuk membuka pintu dan menyapa orang yang memanggilnya.

“Kak Lyra... ayo keluar. Kami nggak mau Kak Lyra sakit....”

Entah kenapa, saat kedua adiknya bicara seperti itu, membuatnya mengingat jelas apa yang diucapkan Mike kemarin.

“Mau sampai kapan lo ngurung diri, Lyr? Sampe kapan?”

“Apa dengan lo kayak begini, Bunda bakal balik ke dunia dan minta lo keluar? Enggak.”

“Lo bikin semua orang khawatir.”

“Bunda nggak bakal seneng di sana kalo tau anak sulungnya yang paling tegar, yang paling hebat, yang selalu bisa diandalkan, kayak begini saat Bunda pergi. Bunda bakal sedih, Lyr. Bunda bakal nangis liat lo, liat Leah, liat Luna yang kayak gini semenjak kepergiannya. Gue tau lo sedih, gue gak melarang kesedihan lo. Tapi gak boleh berlarut, Lyr.”

Saat mendengarnya kemarin, ia menggeleng kuat-kuat. Menangis.

Mike tidak mengerti. Keluarga Mike masih utuh. Orangtua Mike masih lengkap.

Mike tidak tau rasanya menjadi yatim piatu.

“Mungkin Bunda di atas sana seneng, Lyr, ketemu Ayah lo.”

“Dan lo harus bangkit. Perjalanan lo masih panjang.”

“Lo masih punya Leah dan Luna. Mereka masih butuh lo.”

“Kalau lo sakit, atau lo ngelakuin hal aneh, dan lo pergi siapa yang mereka punya lagi?”

Lyra masih menangis dalam diam. Suara yang memanggilnya dari luar sudah tidak kedengaran.

“Mereka gak punya siapa-siapa lagi selain lo. Begitupun dengan lo. Kalian masih saling memiliki dan membutuhkan. Lo nggak sendirian di sini, Lyr.”

Ia masih menangisi Bunda.

Ia menyayangi Bunda.

Ia masih membutuhkan—

“Kak Lyra....”

—keluarganya.

Pintu itu terbuka.

Dan hal yang muncul pertama kali adalah wajah sedih dan putus asa kedua adiknya. Yang langsung ia tarik ke dalam sebuah rengkuhan erat. Dengan air mata yang masih mengalir.

“Maafin Kakak....”

Ikuti tulisan menarik yan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan