x

Sumber gambar: Insetbom

Iklan

Suko Waspodo

... an ordinary man ...
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 5 Mei 2024 21:42 WIB

Dilema Seorang Kolektor: AI atau Seni Manusia?

Kritikus berpendapat bahwa esensi kreatifitas manusia tidak tergantikan oleh mesin. Kretaifitas menekankan pentingnya pengalaman manusia dalam penciptaan seni.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bisakah AI menggantikan kreativitas manusia di bidang seni?

Poin-Poin Penting

  • Dua penelitian menunjukkan preferensi pemirsa terhadap karya yang diberi label sebagai buatan manusia, namun sebenarnya dihasilkan oleh AI.
  • Orang-orang tampaknya lebih menghargai seni yang diciptakan dari pengalaman manusia.

Seni yang diciptakan oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence / AI) saat ini ditampilkan di Whitney Museum of American Art Biennial 2024 di New York City. Pameran bertajuk “Even Better Than the Real Thing” (20 Maret hingga 11 Agustus), menampilkan AI dalam tampilan pertamanya dan kemudian di pameran. Lebih banyak karya produksi AI yang dipamerkan di museum, namun bukan bagian dari Biennial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seni apa pun yang ditampilkan di Biennial, menurut definisinya, adalah baru dan mutakhir. Pilihan komite untuk menampilkan AI menempatkan AI pada tempatnya—baru, menarik, baru, dan, bagi banyak orang, tidak pasti. Hal ini karena kemajuan pesat dalam AI telah memicu perdebatan mengenai apakah AI dapat menggantikan kreativitas manusia dalam bidang seni. Kritikus berpendapat bahwa esensi kreativitas manusia tidak tergantikan oleh mesin, menekankan pentingnya pengalaman manusia dalam penciptaan seni.

Penelitian

Baru-baru ini, teka-teki tersebut telah dipelajari secara ilmiah oleh Lucas Bellaiche dan rekannya. Makalah mereka berjudul “Humans versus AI: Whether and Why We Prefer Human-Created Compared to AI-Created Artwork.” (“Manusia versus AI: Apakah dan Mengapa Kita Lebih Memilih Karya Seni Buatan Manusia Dibandingkan dengan Karya Seni Buatan AI.”) Bellaiche dan rekannya menyelidiki apakah ada preferensi terhadap karya seni buatan manusia dibandingkan karya seni buatan AI dan alasan yang mendasari preferensi tersebut.

Penelitian ini terdiri dari dua studi yang melibatkan partisipan yang mengevaluasi karya seni yang, tanpa sepengetahuan mereka, semuanya diciptakan oleh AI. Karya seni ini secara acak diberi label sebagai "ciptaan manusia" atau "ciptaan AI" untuk menilai dampak label terhadap penilaian estetika para peserta. Kriteria evaluasi meliputi kesukaan, keindahan, kedalaman, dan nilai.

Hasil dari studi pertama menunjukkan bahwa karya seni yang diberi label sebagai karya manusia secara konsisten mendapat peringkat lebih tinggi di semua kriteria dibandingkan karya seni yang diberi label sebagai karya AI, sehingga menunjukkan adanya bias terhadap karya seni yang dibuat oleh manusia. Untuk mengeksplorasi lebih lanjut bias ini, studi kedua memperluas kriteria evaluasi dengan memasukkan respons emosional, persepsi cerita, kebermaknaan yang dirasakan, upaya, dan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk membuat karya seni.

Temuan studi kedua mengkonfirmasi hasil awal, dengan karya seni berlabel manusia kembali mendapat peringkat lebih tinggi. Namun, studi kedua juga mengungkapkan bahwa narasi yang terkait dengan karya seni dan upaya yang dirasakan di baliknya memengaruhi rating secara signifikan. Secara khusus, karya seni yang dianggap melibatkan lebih banyak upaya manusia atau menyampaikan cerita yang menarik dinilai lebih tinggi dalam hal kesukaan dan keindahan. Selain itu, sikap peserta terhadap AI juga memengaruhi penilaian mereka, dengan sikap yang lebih positif terhadap AI akan menghasilkan rating yang lebih tinggi untuk karya seni yang diciptakan oleh AI, khususnya terkait kedalaman dan nilai.

Studi-studi ini menunjukkan bias yang jelas terhadap karya seni yang diciptakan oleh AI dibandingkan dengan karya yang diyakini dibuat oleh manusia, khususnya untuk penilaian di luar apresiasi estetika tingkat permukaan. Bias ini tidak terlalu terlihat dalam penilaian tingkat sensorik, seperti kesukaan dan keindahan, di mana karya seni yang diciptakan oleh AI dapat bersaing ketat dengan karya seni yang dibuat oleh manusia.

Dengan kata lain, penelitian menunjukkan bahwa meskipun AI dapat menghasilkan seni estetis pada tingkat sensorik, AI kesulitan untuk mereplikasi aspek komunikatif seni yang lebih dalam yang diperkaya oleh pengalaman manusia. Perbedaan antara penilaian sensorik dan komunikatif ini sejalan dengan teori proses ganda dalam estetika, yang membedakan antara pemrosesan sensorik langsung dalam sebuah karya seni dan evaluasi yang lebih reflektif dan berorientasi pada makna.

Selain itu, karya Bellaiche dan rekannya menyoroti bagaimana berbagai faktor, seperti narasi dan upaya yang dirasakan, dapat memodulasi dampak label pencipta terhadap penilaian estetika. Misalnya saja, ketika sebuah karya seni dianggap memiliki narasi yang kaya atau memerlukan upaya yang signifikan, karya tersebut akan lebih mungkin untuk diapresiasi, terlepas dari apakah karya tersebut dibuat oleh manusia atau AI. Namun, efek-efek ini dipengaruhi oleh sikap pemirsa terhadap AI, yang menunjukkan bahwa seiring dengan berkembangnya sikap masyarakat, persepsi terhadap karya seni yang diciptakan oleh AI juga ikut berkembang.

Dengan demikian, AI dapat meniru aspek-aspek tertentu dari kreativitas seni manusia, khususnya dalam menghasilkan karya seni yang menarik secara visual. Ia kurang berhasil mereplikasi unsur-unsur yang berpusat pada manusia yang berkontribusi terhadap kedalaman dan nilai seni.

Masa Depan

Implikasi penelitian ini signifikan untuk memahami masa depan seni di era AI. Ketika teknologi AI terus berkembang dan menjadi lebih terintegrasi ke dalam industri kreatif, penting untuk mempertimbangkan bagaimana persepsi mereka dan peran apa yang dapat mereka ambil. Meskipun AI mungkin tidak menggantikan seniman manusia, AI berpotensi berfungsi sebagai alat yang melengkapi kreativitas manusia, meningkatkan proses artistik, bukan menggantikannya.

Kesimpulan

Studi ini berkontribusi pada wacana yang sedang berlangsung tentang hubungan antara AI dan kreativitas manusia. Hal ini menggarisbawahi nilai abadi sentuhan manusia dalam seni, yang mencakup lebih dari sekedar produksi objek yang estetis tetapi juga melibatkan komunikasi pengalaman dan emosi manusia yang mendalam.

***

Solo, Minggu, 5 Mei 2024. 7:06 pm

Suko Waspodo

Ikuti tulisan menarik Suko Waspodo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler