Bekas layang-layang rusak itu selalu dibawa pulang oleh Riski. Mulai dari benang, kerangka, hingga kain, kertas dibawa ke dalam pojokan rumah-rumahnya yang dianggapnya pas dan aman. Pating slengkrah, (berserakan) begitu ibu Riski menyebutnya setiap membersihkan rumah. Riski tetap ngeyel bahwa yang tidak pengertian adalah ibunya dan ibunya sebaliknya menyarankan satu tempat yang menurutnya sudah pas dan tidak mengganggu kebersihan rumah.
“Riski. sudah berapa kali ibu bilang”. Kalau meletakan barang-barang ini jangan di sini! (Tangan ibu Riski sambil memunguti barang-barang yang berserakan di dalam rumah itu)
“Ahhh. Ibuk jangan digitukan barang-barang itu, sini buk tak bereskan sendiri.
“Lagian buat apa juga kamu bawa bangkai-bangkai layang-layang ini?”
“Ya buat mainan!”
“Mainan kok bangkai layang-layang, mengotori rumah saja kamu ini!”
Riski hanya diam tidak menjawab pertanyaan ibunya dan pergi ke tempat yang sudah direkomendasikan ibunya dengan membawa bangkai layang-layang. Bangkai layang-layang itu dibawanya dari lapangan yang ada di dekat Sekolahnya. Selain dekat lapangan Sekolahnya dekat juga dengan area persawahan.
Sepulangnya dari sekolah ia memungut beberapa bangkai layang-layang ketika melewati sawah dan lapangan itu. Entah apa yang ada dipikiran anak kelas empat SD itu. Baik teman sejawat maupun orang dewasa sampai ibunya sendiri juga mengherankan sikap Riski.
“Kau ini lo Ris, musim layangan kau main layangan, musim kembang api kau uang jajan kau belikan kembang api, musim balon udara kau habiskan waktumu untuk balon, kapan kau ini akan belajar?”
Gumaman ibunya di atas seringkali dilayangkan dalam setiap momen-momen keluarga. Baik di depan televisi maupun di teras rumah, ataupun di depan rumah bersama dengan ibu-ibu tetangga ketika membeli sayur.
“Ris. Riski ayok buat layangan yok?” Panggilan terdengar dari luar rumah Riski siang-siang yang cukup terik. Di mana semua orang tua mengharapkan anak-anaknya tidur di siang hari dan belajar di malam hari.
“Oek. Ayok rul!” Secara otomatis Riski berlari keluar rumah dan menanggapi ajakan Fahrul. Sandal yang dipakai Riskipun sampai terbalik, sendal bagian kanan dipakaikan ke kaki bagian kiri dan begitu juga sebaliknya. Bentuk sendal dan kaki tidak berubah. Sandal tetap jadi sandal dan kaki tetap menjadi kaki. Tetapi jika dipakai tidak pas dilihat dan dirasa.
“Kamu ini kan bisa buat layangan Ris, kenapa kok masih saja memunguti bangkai-bangkai layang itu?” Tanya Fahrul kepada Riski sambil berjalan menuju rumah Dimas.
“Ya karena aku ini senang aja itu ngumpulkan bangkai-bangkai itu, aku mengurai semua bangkai itu di rumah. Mulai dari benang, kerangka, hingga kain atau kertas yang dipakai untuk bahan layang-layang itu Rul!”
“Oh. jadi kamu melakukan itu karena senang gitu aja ya?”
“Iya, aku senang dan aku bahagia maka aku melakukan itu.” (Jawab Riski sambil menendang-nendang plastik ataupun kerikil berbentuk bola yang berpotensi untuk ditendang)
“Tapi kok ibu kamu nggak galak kayak ibu aku ya Ris? Ibu aku itu kalau marah kayak monster di youtube-youtube itu Ris.”
“hehe, ibuku juga marah tapi nggak tau kenapa ibuku selalu memberikan aku pengertian meskipun sambil nggremeng Rul.”
Dua anak itu berjalan dan berlari. Ada kegembiraan dalam perjalanan itu. Pikiran-pikiran usil, permainan-permainan dadakan seakan tercipta dalam setiap perjalanan mereka. Ada permainan siapa yang melempar tiang listrik dan mengenainya lebih dulu, maka ia yang menang. Beberapa ide permainan itu seringkali muncul dari sosok Riski. Sehingga Riski dikenal sebagai anak yang suka rame dan bikin seru.
Singkat cerita tibalah Riski dan Fahrul di rumah Dimas.
“Mas..Dimas..Mas!” (mereka berdua memanggil-manggil Dimas dari luar rumah karena pintu rumah Dimas siang itu tertutup)
“Dimas sedang tidur!” (Suara Ibu Dimas dalam rumah)
Ternyata Riski dan Fahrul tidak bisa mengajak Dimas untuk membuat layangan. Secara otomatis ketika Dimas tidak ada maka gagal untuk membuat layang-layang, karena secara alat dan bahan semua yang punya hanya Dimas.
“Eh Ris, gimana kalau membuat layangan pakai bangkai layang-layang di rumahmu saja?”
“Nggak bisa dipakai kalau bangkai layang-layangku, semuanya rusak Rul!”
“Yah gimana dong Ris?”
“Ya sudah, gimana kalau kita hari ini nggak usah buat layang-layang tapi lihat orang menerbangkan layang-layang saja Rul?”
“Wah boleh itu Ris, eh tapi sebentar deh Ris, ini jam berapa ya? Aku jam dua soalnya ada ini sekolah sore!”
“Aduh.. ya sudah kalau gitu Rul, kamu lebih baik pulang saja, nanti malah kena marah ibu mu kalau nggak pulang.”
Akhirnya mereka berdua berjalan menuju rumah masing-masing. Riski sampai di rumah langsung di sambut oleh ibunya dan berkata, “makan dulu, nanti main lagi Ris!
“Lauknya apa buk?”
“Itu ada sayur sama tempe goreng!”
“Kok tempe lagi buk?”
“Ya gapapa tempe itu kan menyehatkan!”
“Oh begitu ya buk? Jadi tempe itu menyehatkan ya!”
“Iya, buruan sana ke dapur!”
Ibu Riski sambil memencet-mencet remot TV memberikan pengertian kepada anaknya yang biasanya dengan nada keras tapi kali ini dengan tutur kata yang lembut. Tetapi dengan tutur kata yang lembut itu Riski menjadi menurut dengan sendirinya.
Ikuti tulisan menarik Predianto lainnya di sini.