x

Ilustrasi Kecemasan

Iklan

Predianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Sabtu, 20 November 2021 11:46 WIB

Hajar

Cerpen ini berkisah tentang seorang laki-laki yang dikeroyok oleh masa yang mengamuk. Permintaan tolongnya tidak pernah digubris. Orang yang dimintai tolong selalu bilang, "Silahkan nanti dijelaskan di kantor"!. Selamat membaca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Segerombolan orang bahu-membahu melayangkan bogem mentah kepada orang yang di keroyok itu. Semangat membabi buta seakan menjadi simbol masa yang sedang murka. Jerit kesakitan dan darah bercucuran seakan tidak bisa lagi mewakili kata ampun!

“Ayo. Hajar orang ini biar kapok!”

Suara teriakan para pengeroyok itu bercampur dengan suara pukulan masa. Belum ada yang melerai, semua sudah beranggapan bahwa orang yang sedang dikeroyok adalah orang jahat sendiri. Sah untuk digebuki. Halal darahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Hoe, jangan main hakim sendiri!”

Teriakan sosok lelaki besar dengan pakaian kaos oblong itu menghentikan sejenak prosesi pengeroyokan sambil berusaha sebisa mungkin menghalangi setiap ayunan tangan para pemukul itu.

“Alah. Jangan dengarkan kata dia! Ayo kita keroyok orang ini sampai babak belur!”

Suara besar bernada sok paling tegas itu menimpali orang yang bermaksud menghentikan pengeroyokan.

Benar saja, pengeroyokan itu tetap dilanjutkan. Lelaki besar itu kemudian mempunyai cara lain agar pengeroyokan itu tidak dilanjutkan oleh masa yang terlanjur tersulut emosi. Segera saja lelaki besar itu bergegas ke tempat sepi dan merogoh handphone dari kantong celana sebelah kanan.

“Hallo selamat siang 110? Di jalan Soekarno Hatta di depan Indomart sedang terjadi pengeroyokan!”

Tidak butuh waktu lama, selang 1 menit sirine itu datang. Mulai mendekat dan keras terdengar di telinga masa yang sedang berkumpul di tempat kejadian perkara.

“Itu Pak! Tolong orang itu Pak!” ajakan lelaki berbadan besar dengan kaos oblong sambil menunjuk ke arah pengeroyokan itu.

“He! Berhenti semuanya!”.

Dengan seragam yang ketat dan body terlihat, akhirnya masa mundur dari orang yang dikeroyok itu.

“Dia pantas mendapatkan ini pak!”

Pembelaan dari salah satu pengeroyok itu sambil menendang korban yang sudah tergeletak lemas.

“Iya tapi semuanya kan bisa diselesaikan baik-baik! Tidak begini caranya!”

Masa terdiam dan tidak berkata apa-apa setelah salah satu polisi itu menjelaskan kepada masa yang habis mengamuk itu. Diamnya hanya dalam kata-kata, tanganya terlihat masih menggenggam erat dan siap memukul untuk ronde yang ke tiga.

“Jangan bawa saya pak! Saya tidak bersalah!”

Korban pengeroyokan itu memelas kepada polisi yang siap membawanya ke dalam mobil.

“Silahkan dijelaskan nanti di kantor!”

Lelaki yang usianya masih terlihat sekitar 35’an tahun itu ditenteng Polisi dengan tergopoh-gopoh. Baru selangkah ditenteng sudah ambruk, begitu juga langkah-langkah selanjutnya. Bisa jadi sepuluh kali ambruk untuk sampai ke dalam mobil kalau seperti ini.

Akhirnya polisi membawanya dengan menggotong di bagian kedua ujung tangan dan kedua kaki. Darah menetes dari bagian kepala ketika diangkat menuju mobil polisi. Sampai-sampai menjadi seperti peta berdarah yang terputus ketika orang itu berhasil dimasukan ke dalam mobil.

“Huu..!”

Suara sorak sorai menandakan masa mulai meninggalkan lokasi kejadian. Mobil polisi segera melarikan korban pengeroyokan ke Rumah Sakit (RS) untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sembari mengumpulkan beberapa keterangan dari kejadi tersebut Polisi memandangi wajah korban pengeroyokan yang bentuk suduh seperti bukan wajah lagi.

“Aduh! Tolong saya, aduh!”

Wajahnya melepuh dan bersimbah darah seperti sulit untuk terselamatkan. Ia merintih tak henti-hentinya. Ekspresi meringis kesakitan saja sampai-sampai tidak bisa tebaca di wajahnya akibat lebam yang terlanjut merata.

Beberapa menit kemudian sampailah di RS terdekat. Segera perawat dengan sigap mengambil kasur roda dan segera didorong mendekati mobil polisi yang lampunya masih kelap-kelip itu.

“Dok, tolong selamatkan saya!”

Lagi-lagi korban itu meminta tolong kepada siapa saja yang ia lihat sembari terus merintih. Hanya berbaring lemas dan tidak banyak bergerak.

“Kami perawat mas, silahkan nanti jelaskan di kantor saja!”

Para perawat itu membersihkan darah yang bersimbah di wajah, kaki dan setiap sudut mana saja yang sekiranya terluka. Suara alat-alat medis mulai terdengar di dekat telinga korban.

“Saya mau di apakan ini dok?”

“Ngikut  saja, nanti di jelaskan di kantor!”

Beberapa cairan dituangkan berkali-kali di setiap badan mana saja yang nampak luka. Bukan menambah dingin, tapi malah menambah perih yang semakin menjadi-jadi. Jarum suntikan ke bagian kulit yang akan dijahit karena robek.

“Saya suntik bius dulu ya!”

“Aduh dok, sakit!”

Ternyata bukan hanya orang yang baru saja mengeroyoknya saja yang membuat sakit. Seorang yang berusaha menyembuhkan diapun harus membuat pasien itu menahan rasa sakit terlebih dahulu untuk menuju sembuh.

“Saya tidak kuat lagi dok!”

Setelah terkena suntikan beberapa saat akhirnya matanya perlahan terpejam dan pingsan. Saat itulah beberapa benang dijahitkan pada kulit pasien itu. Jari-jari ahli itu menari bak merajut harapan yang sudah menanti di depan mata.

“Alhamdulillah akhirnya sudah selesai!”

Sekitar 15 menit kemudian pasien itu tersadar dan mendapati tubuhnya masih saja merasa sakit. Suara sepatu terdengar menapaki keramik ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Terlihat samar-samar seperti membawa kertas dan bolpin.

“Bagaimana keadaan bapak sekarang?”

Pasien yang baru saja digebuki itu tidak langsung menjawab. Ia pandangi dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ketika mau menjawab ternyata tenaga masih terlalu lemas hingga mengeluarkan suara saja tidak mampu.

“Ya sudah pak, nanti silahkan dijelaskan di kantor saja!”

Laki-laki itu pergi menjauh darinya. Tidak ada keluarga yang datang menjenguk atau setidaknya menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan lelaki yang habis dikeroyok itu. Pun seorang teman mana peduli dengan keadaanya kalau sedang menderita.

Sesekali datanglah perawat untuk sekedar mengecek laju infus. Menyuntikan obat atau mengantar makanan. Tetapi makanan itu nganggur, tidak ada yang menyuapi. Ia hanya makan dari infus. Hampir-hampir yang bisa bergerak hanya kedipan matanya saja.

Tiga hari kemudian keadaanya masih sama. Bukan semakin membaik malah semakin memburuk. Ditanya tidak lagi menjawab. Matanya hanya terpejam. Perawat, dokter dan polisi secara bersamaan kepada pasien itu.

“Nama bapak siapa?”

Tiba-tiba matanya terbuka lebar dan hampir seperti orang melotot. Kepalanya mendongak ke atas. Kemudian ia dengan lantang menjawab.

“Saya jelaskan nanti di kantor!”

Ikuti tulisan menarik Predianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler