x

Iklan

Melvi Yendra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 November 2021

Rabu, 17 November 2021 10:45 WIB

Lelaki Muram dan Anjingnya

Apakah seekor anjing bisa merasakan kehilangan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ANJING BERNAMA BRUNO

Cerpen Melvi Yendra

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

LELAKI yang kusapa Pakde itu tinggal persis di sebelah rumahku, di rumah paling ujung. Rumahku dan rumahnya—yang sama-sama tipe 45—hanya dipisahkan teras samping yang cuma cukup untuk memarkir motor dan sebuah tembok pembatas setinggi bahu. Di teras samping itulah Pakde mengikat Bruno, anjing piaraannya, sehingga jika anjingnya menggonggong atau menyalak, suaranya terdengar berisik sampai ke rumahku. Bila itu terjadi, istriku akan langsung mengomel.

“Ayah ngomong dong sama Pakde atau Bude, anjingnya jangan tarok di situ.”

“Nggak enak, ah. Mereka narok anjing di rumah sendiri, kita nggak bisa protes, Bun.”

“Ya, tapi suara anjingnya itu berisik sekali. Sering bikin Farhan bangun.”

Ya, anakku Farhan, yang berumur lima tahun, sering terbangun dari tidur siangnya gara-gara suara anjing itu.

“Kita ini bertetangga. Udah, sabar aja,” bujukku.

Rumahku dan dan rumah Pakde berada di sudut sebuah kompleks perumahan yang cukup luas, jadi agak sepi dari orang dan kendaraan yang lalu-lalang. Biarpun begitu, setiap kali pengantar paket datang ke rumahku, anjing Pakde selalu menggonggong. Kuakui, anjing itu memang berisik, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.

 

PAKDE dan istrinya, Bude, membeli rumah di sebelah kami itu dua tahun yang lalu. Waktu aku membeli rumah yang kami tempati sekarang, rumah paling pojok itu sudah kosong dan terbengkalai. Rumput di halaman tumbuh tinggi dan bila malam tiba, terlihat seram karena tidak diterangi lampu. Aku sendiri tidak tahu siapa pemiliknya. Menurut Pak RT, pemiliknya pindah ke Papua, dan rumah itu sudah jarang dikunjungi.

Waktu Pakde dan istrinya menempati rumah itu, aku dan istriku lega. Selain punya tetangga baru, kami senang rumah kosong itu akhirnya ada yang menempati. Rumah itu diperbaiki dan catnya diganti. Kesan seram tak ada lagi. Saat berkenalan, mereka menyapa diri mereka sendiri dengan Pakde dan Bude, jadinya aku dan istriku ikut-ikutan memanggil mereka begitu.

Sebagai warga baru, Pakde dan Bude kurang bergaul dengan warga kompleks lainnya. Aku sering bertemu dengan Pakde saat salat subuh di masjid kompleks, tapi hanya itu. Dalam arisan kompleks dan acara kumpul-kumpul lainnya, dia tak pernah hadir. Kalau istrinya jauh lebih tertutup. Bahkan bisa dikatakan jarang keluar rumah. Ngobrol dengan istriku pun jarang. Istriku bilang, Bude sudah sering dia ajak ikut arisan dan pengajian ibu-ibu di kompleks, tapi tidak pernah hadir.

“Kayaknya Bude itu minderan orangnya, Yah,” kata istriku waktu itu.

“Minder kenapa?”

“Mungkin karena mereka belum punya anak.”

“Bunda tahu dari mana mereka nggak punya anak? Mungkin sudah besar-besar dan sudah di luar kota.”

“Ya, nggak mungkin. Aku kan pernah masuk ke rumah mereka, di dinding cuma ada foto mereka berdua, nggak ada anak-anak,” kata istriku lagi. Bisa jadi. Pakde dan Bude itu sepantaran dengan kakak sulungku yang berumur 50 tahun. Kalaupun mereka punya anak, pasti masih bersama mereka, seperti ponakanku yang paling besar, yang masih tinggal bersama kakak sulungku. Aku penasaran, tapi tidak pernah berani bertanya, takut Pakde tersinggung. Aku dan istriku sendiri baru dikaruniai Farhan, setahun sebelum pindah ke sini. Aku sendiri sangat jarang bertemu Bude, hanya sesekali saja, itu pun tak sempat bicara atau saling sapa. Kalau pas bertemu, dia seolah-olah tidak betah bicara denganku. Sepertinya Bude memang menutup diri dari kami. Aku tidak tahu alasannya.

 

SUATU hari, kami sekeluarga kaget mendengar suara gonggongan anjing dari sebelah. Aku keluar, mengira itu anjing liar, tapi kemudian aku lihat Bude dan Pakde sedang memeluk seekor anjing Labrador Retriever berbulu kuning dengan hidung merah jambu. Anjing itu tampak sangat bersih, sehat, dan terawat.

“Masa orang Islam miara anjing, sih? Kan haram, kan, ya?” Istriku langsung kumat rasa ingin tahunya.

“Biarin aja, Bun.”

“Tapi kan najis, Yah. Liat aja deh nanti, pasti ibu-ibu sini pada ngomongin juga.”

“Udah-udah, nggak baik ngomongin orang.”

Pakde dan Bude memanggil anjingnya itu Bruno. Ya, Bruno, seperti nama orang bule. Sejak ada Bruno, Bude mulai sering keluar rumah. Di hari libur, suami-istri itu jalan-jalan pagi bersama Bruno. Kalau hari biasa, mungkin karena Pakde bekerja, Bude jalan pagi berdua saja dengan Bruno.

Sejak ada Bruno, aku melihat keluarga itu tampak lebih bahagia dari sebelumnya. Sering kulihat Pakde dan Bude bermain-main di depan rumah mereka bersama Bruno, tampak sangat akrab dan bahagia. Sering kami dengar Pakde dan Bude bercanda dan “ngobrol” dengan Bruno. Suara gelak dan keriangan terdengar dari ruang tengah rumah itu. Mereka memperlakukan Bruno sangat istimewa, seperti anak sendiri. Dikasih makanan khusus untuk anjing yang pasti harganya nggak murah. Dibawa ke salon untuk perawatan badan dan dibawa ke dokter kalau Bruno terlihat kurang sehat. Bahkan, Bruno pernah diajak ikut jalan-jalan ke luar kota.

 

SUATU siang di hari Minggu, istriku menjerit-jerit memanggilku sambil menyebut nama Farhan, anak kami. Kutinggalkan laptopku dan aku menghambur keluar rumah. Dalam sepersekian detik, aku membayangkan Farhan tertabrak motor dan luka parah. Kalau tidak, tak mungkin Wikan sehisteris itu.

Sampai di depan rumah, aku menemukan istriku memanggil-manggil Farhan—waktu itu baru berumur 4 tahun—sedang duduk di teras rumah Pakde sambil mengelus-elus Bruno yang tidak terikat. Bruno tampak senang dielus-elus Farhan. Anjing itu berbaring di lantai sambil sesekali mendongakkan kepala melihat Farhan.

“Farhan, sini, Nak! Ngapain kamu main di situ? Nanti kamu digigit!” Istriku masih histeris.

“Bruno lucu, Bun! Tuh, dia senang aku elus-elus!” jawab Farhan, tampak santai dan tenang.

Istriku makin panik, “Yah, ambil anakmu, Yah! Kalau rabies gimana?”

Aku bermaksud memanggil Bude dan Pakde, tapi sebelum mulutku terbuka, Bude keluar dari rumah sambil tersenyum. “Maaf, Mas Adi, Mbak Wikan, saya lagi mandi, jadi nggak dengar suara Mbak Wikan.”

Saat melihat Farhan sedang mengelus Bruno, Bude tersenyum. “Nggak apa-apa, kok, Mas, Mbak. Bruno nggak akan menggigit. Bruno anjing baik,” katanya menenangkan aku dan istriku.

“Maaf, ya, Bude,” kataku merasa tidak enak.

“Nggak apa-apa, Mas Adi.”

“Yah, beliin aku anjing kayak Bruno dong!” rengek Farhan padaku.

“Farhan, ayo masuk!” Wikan nyaris teriak.

“Ssttt… Bunda…” Aku menegur Wikan dengan tatapan mataku lalu menuntun Farhan yang pasang muka cemberut pada istriku. Kulihat Bude hanya tersenyum melihat kepanikan Wikan.

Sejak hari itu, Farhan tidak pernah lagi diizinkan bermain di luar pagar rumah kami, apalagi sampai ke depan rumah Pakde. Sering kudengar Farhan merengek-rengek ingin bermain dengan Bruno saat ia mendengar suara Bude dan Pakde sedang bermain-main dengan Bruno, tapi istriku langsung bilang tidak.

 

SUATU pagi, beberapa minggu sejak kejadian itu, handphone-ku berdering. Telepon dari Pakde. Aku agak bingung. Selama kami bertetangga, tidak sekali pun Pakde meneleponku.

“Assalamualaikum, Pakde,” sapaku.

“Waalaikumsalam, Mas Adi. Maaf mengganggu pagi-pagi. Pakde cuma mau memberitahu, Bude, sudah berpulang semalam di rumah sakit.”

Aku kaget, karena tidak tahu Bude sakit. Kemarin pagi aku masih melihat perempuan itu keluar pagi-pagi mengajak Bruno jalan pagi seperti biasa.

“Semalam serangan jantung. Langsung Pakde bawa ke rumah sakit. Tapi dalam perjalanan sudah tak tertolong,” jelasnya. Saya minta maaf. Saya merasa bersalah, karena sebagai tetangga paling dekat, tidak tahu kejadian itu.

“Nggak apa-apa. Maafkan Bude kalau selama ini ada salah sama Mas Adi dan Mbak Wikan.”

Aku bertanya di mana Bude akan dimakamkan. Siapa keluarga terdekat Pakde yang bisa saya bantu kabari soal berita duka ini? Lelaki itu mengatakan, jenazah istrinya sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju Malang, kampung halaman mereka, Bude akan di makamkan di tanah kelahirannya. Ternyata Pakde meneleponku dari dalam ambulans, yang sedang meluncur di tol, di sebelah jenazah istrinya.

“Pakde mau minta tolong, Mas Adi, kalau boleh,” katanya dengan nada sungkan.

“Ya, Pakde?”

“Bruno pasti gelisah sekarang. Tolong Mas Adi bantu ngasih dia makan ya. Makanannya ada di lemari kecil di depan pintu dapur saya, dalam kantong warna orange. Ambil saja secukupnya. Setelah urusan pemakaman Bude selesai, Pakde akan segera kembali ke Jakarta.”

Saya menyanggupi permintaan itu. Setelah menutup telepon, saya memberi tahu istri saya tentang Bude. Istri saya kaget dan tampak menyesal.

“Aku selalu judes sama Bude, Yah,” kata istriku tampak berkaca-kaca. “Biarpun aku nggak suka dia miara anjing, aku merasa sedih dan kehilangan,” kata istriku.

Setelah mengabari Pak RT lewat telepon, aku diam-diam ke rumah Pakde, mau memberi makan Bruno. Saat melihat aku membuka pagar, Bruno hanya mengangkat kepalanya sedikit dan menatapku dari dalam kandangnya. Wajah Bruno tampak sedih. Mungkinkah seekor anjing bisa merasakan bahwa salah seorang tuannya sudah pergi untuk selama-lamanya? Apakah binatang punya firasat seperti manusia. Saat kulihat wajah Bruno yang tampak lesu, aku sudah tahu jawabannya.

Saat Pakde kembali ke rumah, lelaki itu menangis sambil memeluk Bruno. Bruno meraung-raung, seolah meneriakkan kesedihannya. Dua makhluk yang berlainan itu, sama-sama menumpahkan kesedihan mereka. Tiap kali Pakde mengajak Bruno jalan-jalan, Bruno pasti menolak. Anjing itu terus menatap pintu rumah, seolah berharap Bude akan muncul di sana, menyapa dan memeluknya seperti biasa. Untungnya, seminggu kemudian, Bruno sudah mau diajak lagi jalan pagi, meskipun, menurut cerita Pakde, Bruno tidak antusias seperti biasanya. “Di beberapa tempat, beberapa kali Bruno berhenti, lalu duduk atau berbaring, seolah mengenang tempat itu saat bersama Bude,” kata Pakde.

 

SEJAK istrinya meninggal, Pakde mencurahkan lebih banyak waktunya untuk Bruno. Bruno selalu diajak keluar berjalan-jalan pada pagi hari, tak pernah absen. Bahkan Pakde sengaja berangkat agak siang ke kantor agar kegiatan rutin itu tetap berjalan. Tiap sore, Pakde juga langsung pulang ke rumah seusai jam kantor, tak mampir ke mana pun agar bisa segera bertemu Bruno.

“Pakde dan Bude sangat menyayangi Bruno, begitu pula sebaliknya. Pakde dan Bude sudah menganggap Bruno seperti anak kami sendiri. Sejak istri saya meninggal, Bruno banyak murung dan tak ceria seperti dulu lagi,” kata Pakde suatu kali. Aku bingung memahami ucapannya itu. Sejak dulu, aku tak pernah punya hewan peliharaan, jadi tak bisa memahami perasaan sayang dan cinta antara hewan dan manusia yang  menjadi majikannya. Benarkah binatang juga merasakan kehilangan?

Pertanyaanku dijawab oleh waktu. Bruno yang dulu gagah dan lincah, dari hari ke hari berubah jadi anjing yang lebih banyak tidur dan mengurung diri di kandangnya. Bruno juga kehilangan nafsu makan, berat badannya turun drastis. Beberapa kali Pakde membawa Bruno ke dokter hewan, tapi situasi tak kunjung membaik. Hal ini berdampak pada Pakde. Pakde jadi ikut murung dan selalu tampak sedih.

Kegiatan jalan pagi masih terus berlangsung, tapi kulihat memang Bruno sudah seperti seekor anjing yang patah hati. Matanya yang dulu bersinar, kini redup. Sering pula kulihat, Pakde duduk di teras bersama Bruno, saling bertatapan sedih dengan anjing itu, seolah mereka dua makhluk yang sama-sama sudah kehilangan gairah untuk meneruskan hidup.

Lebih kurang setahun sejak Bude meninggal, Bruno menyusul tuannya itu. Suatu pagi, Pakde yang sudah bersiap mengajak Bruno jalan pagi, menangis di depan kandang Bruno. Mendengar isak tertahan, aku yang sedang mencuci mobil segera mengintip dari balik tembok. Kulihat Pakde menangis sambil memeluk Bruno yang matanya sudah tertutup dan tubuhnya sudah kaku. Entah apa yang kurasakan, tiba-tiba saat itu aku ikut menangis. Terasa olehku, sesaknya dada Pakde dihantam perasaan kehilangan dua sosok yang sangat dicintainya.

Belum sampai sebulan setelah Bruno pergi, Pakde berpamitan pada kami. Rumahnya itu akan dijualnya lagi dan dia akan pindah ke daerah lain tapi masih di Jakarta. Ketika kutanya kenapa tidak di situ saja, Pakde tidak menjawab. Namun, dari wajahnya yang muram dan matanya yang redup, aku tahu jawabannya.

Kini, rumah di ujung jalan buntu itu, kembali sepi dan terbengkalai, seperti dulu.[]

Ikuti tulisan menarik Melvi Yendra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu